Afirmasi Kegagalan Pemerintahan Bupati PPU
Sabtu 03-07-2021,16:35 WIB
Oleh: bayong
MENYOAL penyampaian (Bupati PPU) Abdul Gafur Mas’ud dalam Rapat Paripurna Penyampaian Raperda Pertanggung Jawaban APBD tahun anggaran 2020, yang mengatakan akan undur diri dari Ketua Satgas COVID-19, atau sudah tidak berkenan lagi untuk mengurusi penanganan Virus Corona dan menganggap kepengurusannya hanya akan menimbulkan masalah hukum. (nomorsatukaltim.com, Selasa 29/6/2021).
Hal tersebut bukan tanpa sebab. Melainkan karna pengadaan seratus bilik sterilisasi atau chamber dengan peruntukan 100 buah untuk manusia dan 4 untuk kendaraan pada 2020 lalu,masing-masing berharga Rp 27 Juta. Untuk bilik kecil total Rp 2,7 Miliar dan Rp.500 juta (unit) untuk bilik besar dengan total 2 Miliar. Direspons Gerakan Mahasiswa Peduli Pembangunan Kalimantan Timur (GMPPKT) menggelar aksi di Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim. Mereka mendesak agar Kejati mengusut dugaan korupsi pengadaan bilik sterilisasi sebanyak 100 unit senilai Rp4,7 miliiar yang diduga telah di-mark up. (Pusaramedia.com Kamis, 10/6/2021).
Sementara dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan ada lebih bayar dengan rincian: lebih bayar bilik manusia Rp 509 juta dan Lebih bayar bilik besar sekira Rp 1,2 miliar. Dan menurutnya (Bupati PPU) karena adanya Kepres 2020 tentang penetapan Bencana Non alam penyebaran COVID-19 sebagai bencana nasional, justru membuatnya terkena masalah serius. Sehingga mau dia statusnya warna hitam, mau ungu sekalian, saya selaku Bupati yang diperiksa dan di permasalahkan karena corona, pengadaan dan lain-lainnya ini, saya tidak mau ngurusin. Langsung saja pemerintah pusat yang urusin. (nomorsatukaltim.com,selasa 29/6/2021).
Baca juga: Praktik Terlarang Medsos Anakdi Bawah Umur
Penulis beranggapan, apa yang disampaikan oleh Bupati PPU adalah keliru karena kedudukannya sebagai seorang bupati menjadi suatu kewajaran ketika dilakukan pengawasan (internal/eksternal). Penyelenggaraan roda pemerintahan yang baik dan bersih adalah landasan bagi penyusunan dan penerapan kebijakan suatu negara yang demokratis dalam era globalisasi saat ini. Fenomena demokrasi ditandai dengan menguatnya kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan perubahan sistem demokrasi kerap kali dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan pejabat pemerintahan terkait, dalam hal in bupati.
Tepatkah pernyataan Bupati tidak akan mengurusi covid lagi?
Prinsip penyelenggaraan desentralisasi atau otonomi dalam arti daerah diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk memberikan pelayanan, peningkatan partisipasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat, yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. (Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah) pasal 11 dan 12 poin a UU a quo menjelaskan jika persoalan kesehatan merupakan pelayanan wajib dasar yang menjadi keharusan oleh pemerintah daerah. Secara prinsip pemerintah daerah, atau secara khusus bupati, bertanggungjawab dalam pemenuhan dan pemulihan kondisi kesehatan terlebih dalam kondisi COVID-19 sebagai bencana non alam.
Sebagaimana Keppres No 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional. Jadi tidak ada alasan dapat mendasari pemerintah daerah melakukan pembiaran terhadap penangan COVID-19. Karena kemunculan Keppres A quo lebih memberikan penegasan tentang arah pelaksanaanya.
Partisipasi masyarakat dalam mengontrol pemerintahan?
Demokrasi adalah sebuah tahapan atau sebuah proses yang harus dilalui oleh sebuah negara untuk mendapatkan kesejahteraan (Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social). Pernyataan Rousseau ini seakan mengatakan, bahwa demokrasi bagi sebuah negara adalah sebuah pembelajaran menuju ke arah perkembangan ketatanegaraan yang sempurna. Sedangkan ide demokrasi menurut Hans Kelsen adalah adanya ide kebebasan (penentuan kehendak sendiri dan pengecualian hak orang lain) yang berada dalam benak manusia.
Maka negara yang maju dan modern adalah saat masyarakat mendapatkan tempat untuk memberikan suatu sumbangsih pemikiran, baik melalui atau dengan sarana pendukung lainnya. Proses pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat melaului kritik dan pengaduaan terhadap lembaga negara adalah sejalan dengan ciri dan unsur-unsur terpenting negara hukum. Yaitu: 1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau perundang-undangan. 2. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara), 3. Adanya pembagian kekuasaan, 4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) (SriSoemantri,1992). Dengan demikian partisipasi masyarakat mendapatkan tempat dalam proses legislasi dan evaluasi kebijakan serta tidak dipandang sebagai formalitas bagi legitimasi kebijakan. Karena Selama ini, partisipasi cenderung dimaknai secara kuantitatif (hanya dihitung dari jumlah partisipan atau jumlah organisasi masyarakat yang dilibatkan).
Bagaimana seharusnya etika pemerintah ?
Secara etimologi, istilah etika berasal dari bahasa Yunani “ethos”. yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Etika adalah studi tentang yang benar dan yang salah, artinya bahwa yang dimaksud adalah benar atau salahnya tindakan manusia. Etika dalam studi ini masih terlalu sempit karena terlalu legalistik atau etika hanya memperhatikan benar atau salahnya tindakan manusia menurut peraturan yang berlaku. ((YP. Wisok, 2009: 15-16), Secara umum pemerintah merupakan organisasi, badan, lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu dan Menurut C.F Strong dalam bukunya Modern Political Constitutions menyebutkan bahwa “Government is therefore that organization in which is vested the rights to exercise sovereign powers”
Etika pemerintahan mencakup isu-isu kejujuran dan transparansi dalam pemerintahan, yang pada gilirannya berurusan dengan hal-hal seperti; penyuapan (bribery); korupsi politik (political corruption); korupsi polisi (police corruption); etika legislatif (legislatif ethics); etika peraturan (regulatory ethics); konflik kepentingan (conflict of interest); pemerintahan yang terbuka (open of government); etika hukum (legal ethics). Dan seharusnya dapat menerapkan Kekuasaan panutan (Referent power) Kekuasaan ini muncul didasarkan atas pemahaman secara kultural dari orang-orang dengan yang berstatus sebagai pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin itu sebagai panutan atau simbol dari perilaku mereka. Aspek kultural yang biasanya muncul dari pemahaman religiusitas direfleksikan pada kharisma pribadi, keberanian, sifat simpatik dan sifat-sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan orang. Hal ini menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaannya. (Wahidin (2007)
Sehingga sebagai pemerintah yang telah diberikan amanah dalam kepemimpinananya, seharusnya bupati PPU dapat bersikap, berpendapat dan memberikan solusi atas setiap realitas kehidupan masyarakat. Termasuk dalam upaya penanggulangan COVID-19.
Kesimpulan
Jika masayarakat mulai melakukan kritik terhadap pemerintah bisa jadi apa yang diharapkan belum tercapai di antaranya: cita-cita terbaik masyarakat dalam bernegara adalah terpenuhinya kesejahteraan, keamanan (ia securite) dan keteritban (I orde) sebagaimana menjadi tujuan negara Ibnu kaldun (haidar bammate,1947).
Sehingga ada tiga unsur pemerintahan berkonstitusi. Pertama, pemerintah dilaksanakan untuk kepentingan umum. Kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan ketentuan-ketentuan umum dan bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang. Ketiga, pemerintahan dilaksanakan atas kehendak rakyat ada tiga unsur pemerintahan berkonstitusi. (*/boy)
Tags :
Kategori :