Inpres Pak Harto

Sabtu 19-10-2019,00:58 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Presiden RI Ke-2, Soeharto. (int)

Oleh : R Rudi Agung P

Inpres Pak Harto. Instruksi Presiden, Soeharto. Berbicara soal Presiden kedua RI ini, banyak sekali cerita. Juga, tentang inpresnya. Sekilas kita menengok tentang hari-hari terakhirnya.

Kala detik-detik jelang ajalnya tiba. Dulu, berminggu-minggu para pewarta menunggu perkembangan kesehatan pak Harto saat dirawat di RSPP, Jakarta.

Ratusan wartawan menyemut. Memenuhi koridor rumah sakit tersebut. Baik media nasional maupun asing. Pak Harto dirawat sejak awal Januari 2008. Sosok yang dijuluki The Smiling General oleh media asing itu, sempat dikira bakal sembuh total.

Termasuk oleh tim kedokteran yang terus memantau kondisi Soeharto saat kritis. Tim medis mengira pak Harto akan sembuh dan bisa pulang. Lantaran kondisinya terus membaik.

Bahkan, sampai Sabtu 26 Januari 2008 malam, kondisi kesehatannya berangsur pulih. Tapi, nyawa tak ada yang menduga. Begitu juga kematian Pak Harto yang kala itu sangat mengejutkan pihak medis. Juga mengejutkan seisi bangsa.

Saat itu, komando keamanan dipegang AKP Dicky Sondani. Sebelas tahun silam, ia masih  menjabat sebagai Kapolsek Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dicky yang bertanggung jawab penuh atas keamanan kala Pak Harto dirawat.

Minggu, 28 Januari 2008, gelagat Dicky terlihat janggal. Seolah kebingungan menyiapkan hal yang besar. Sikapnya kala itu terendus awak media. Setelah diminta bicara, ia pun membawa kabar mengejutkan:

Presiden RI Ke-2 menutup mata, selamanya. Tepat siang hari pada Minggu, 28 Januari 2008, sekitar pukul 13.10 WIB. Pak Harto wafat di usianya yang ke-87.

Saat itu terpaksa, Dicky mengumumkan kabar duka tersebut lantaran desakan wartawan. Biasanya kematian seorang pejabat tinggi negara apalagi presiden, diumumkan minimal oleh sekelas Kombes atau oleh pihak keluarga.

Tapi, karena kondisi. Akhirnya seorang Kapolsek yang mengumumkan. Alhamdulillah, Dicky tidak disalahkan karena memang keadaan yang genting saat itu. Karirnya pun terbilang moncer sampai saat ini.

Kala Pak Harto dibawa ke rumah duka di Cendana, saya terkejut bukan kepalang. Begitu banyaknya manusia. Pun media massa. Ini lah liputan paling berkesan sepanjang karir menjadi pewarta.

Begitu juga saat mendiang dibawa menuju peristirahatan akhirnya di Astana Giribangun.  Sepanjang jalan di Jakarta, begitu banyak warga. Lautan manusia membanjiri jalanan Jakarta. Menyaksikan iring-iringan jenazah.

Saya masih ingat, saat itu, sebuah harian nasional di Jakarta, mengangkat judul headline: Jakarta Lumpuh. Ya, Jakarta memang benar-benar lumpuh, sepanjang jalan masyarakat menyemut. Hanya sekadar meilhat iring-iringan mendiang Pak Harto.

Sosok Pak Harto memang selalu memantik reaksi beragam. Ada yang mencintainya, merindunya, tapi ada juga yang membencinya. Begitu pula dengan kebijakannya, seperti Inpresnya.

Inpres terkait Imlek, misalnya. Menjadi kebijakan yang tak disuka warga keturunan. Tepatnya Inpres No 14/1967. Dalam Inpres itu, perayaan Imlek dan budaya Tionghoa lainnya dilarang di Indonesia.

Keputusan itu membuat keturunan Tionghoa  di Indonesia merayakan Imlek secara sembunyi selama 32 tahun. Hingga akhirnya di era Gusdur, Inpres tersebut dianulir.

Gusdur pun didapuk menjadi Bapak Tionghoa Indonesia. Sebab dianggap berjasa menghapus Inpres terkait larangan perayaan Imlek, yang dikeluarkan Soeharto.

Gusdur lalu menerbitkan Keprres 6/2000, yang mengizinkan perayaan Imlek di Indonesia. Sampai hari ini. Kemudian di tahun 2002, Megawati menjadikan Imlek sebagai Hari Libur Nasional. Berlaku mulai tahun 2003 sampai sekarang.

Kalau Inpres 14/1967 dianulir. Berbeda dengan Inpres 10/ 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Inpres ini justru menghantarkan Pak Harto meraih penghargaan Avicienna Award dari UNESCO.

Penghargaan itu disabet tahun 1984. Waktu itu, tidak banyak negara yang mendapat penghargaan tersebut.

Inpres itu lah yang membuat SD Inpres saat ini menjadi fenomenal. Bahkan, mendunia. Muasalnya, Ekonom Amerika, Esther Duflo.

Duflo melakukan penelitian tentang SD Inpres di Indonesia. Dan berhasil menyabet penghargaan Nobel tahun 2019. Perempuan berusia 46 tahun itu tokoh termuda. Yang memenangkan Nobel selama 50 tahun terakhir.

Salah satu simpulan dari penelitiannya: SD Inpres yang tercipta dari kebijakan Pak Harto. Dinilai mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi di era Orba.

Terciptanya SD Inpres dinilai sukses meningkatkan ekonomi sekitar 6,8% sampai 10,6%. Luar biasa bukan? SD Inpres menjadi sekolah yang sering dipicingkan sebelah mata. Tapi, justru dihargai di dunia.

Lalu, bagaimana sejarah dan hal-hal lain terkait SD Inpres? Ke depan, DiswayKaltim, bakal mengulasnya. Spesial untuk Anda.

*Jurnalis

Tags :
Kategori :

Terkait