UU Cipta Kerja Bidang Pertambangan Bikin Gubernur Gusar

Senin 14-06-2021,12:30 WIB
Reporter : Yoyok Setiyono
Editor : Yoyok Setiyono

Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor menumpahkan kekesalannya atas dampak kebijakan pemerintah pusat yang dinilai merugikan daerah. Di depan sejumlah kepala daerah dan anggota DPRD, mantan Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) itu, akan mengambil tindakan. 

  Bontang, nomorsatukaltim.com - Pernyataan politisi Nasdem itu terungkap ketika memberikan pidato dalam penutupan Musabakah Tilawatir Quran (MTQ) di Kota Bontang, akhir pekan lalu. “Jalan di Tanah Datar itu, kayak lautan pasifik. Betul-betul dibuat, dikemas jangan sampai nanti tumpah,” kata Isran Noor mengingatkan kepada peserta dari Kutai Kartanegara saat membawa pulang piala sebagai juara umum. Jalan yang dimaksud gubernur berada di Desa Tanah Datar, Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara. Itu merupakan jalan nasional yang menghubungkan Kota Samarinda dengan Kota Bontang. Sudah berbulan-bulan, akses utama itu mengalami kerusakan parah. Secara tidak langsung, gubernur menyatakan kerusakan jalan disebabkan keberadaan tambang di kawasan itu. “Maklum ini musim angin kencang kalau lewat situ (Tanah Datar). Karena kemajuan daripada pertambangan. Karena kemajuan harga tambang batu bara sekarang selama sepuluh tahun terakhir saat sekarang paling tinggi. Harganya,” kata Bupati Kutai Timur 2009-2015 ini. Gubernur menambahkan, saat ini harga batu bara sudah di atas, 130 dolar per metrik ton. “Yang kelas menengah. Belum yang prima.” “Jadi kalau saya ditanya wartawan, bagaimana pak Isran setelah kewenangan ditarik ke Jakarta, Maju Pesat. Belum ada izin, (sudah) ditambangnya. Maju artinya”. “Pokoknya jalan Samarinda Bontang kita lihat kiri kanan itu. Itu belum ada ijin,” tegas gubernur. “Belum lagi yang Sebulu-Muara Kaman, kada babulu kada nyaman.. Hancur jalan, hancurr, hancurrr...,” ujar Isran lagi. Di depan Wali Kota Bontang, Basri Rase, dan sejumlah politisi, gubernur menyatakan kekesalannya. “Kadang-kadang kesel saya sebenarnya, kanda Sofyan Hasdam (mantan Wali Kota Bontang). Benar, saya kan kesel... Mestinya, bijaksana. Ketika diambil kewenangan itu ada catatan, pemerintah provinsi, kabupaten, kota tetap punya tanggung jawab untuk mengawasi. Itu aja yang kita perlukan. Ini enggak ada catatan itu.” Akibatnya, kata gubernur, pemerintah daerah babak belur. “Gimana, siapa yang bertanggung jawab?” ucapnya. Ia menambahkan, pemerintah daerah tidak akan tinggal diam melihat kondisi ini. “Tunggu saatnya nanti. Ada nanti saatnya. Yang sudah putus harat. Ini kadang-kadang bisa putus harat juga kita ini. “Bayangkan itu, rusak lingkungan kita, rusak. Di Tanah Datar itu.” Angkutan tambang itu, kata gubernur tidak lagi beroperasi malam hari. Dengan mata kepalanya sendiri, Isran Noor menyaksikan kendaraan pengangkut batu bara beroperasi siang hari di jalan raya. “Saya hari Sabtu dari Sangatta ke Samarinda. Di hadapan mobil gubernur bawa batu bara. Siang-siang. Kira-kira sekitar jam 12 (atau) jam 1.” “Padahal tuh gubernur pakai Patwal, tapi enggak tau inya mungkin di belakang Patwal itu gubernur,” katanya. “Tapi ahh.. mungkin dia masa bodo. Gubernur tuh siapa sih. Kira-kira seperti itu”. Isran melihat persoalan ini sudah serius dan akan ditangani dengan serius. Namun, kata Isran, kewenangan pemerintah daerah sudah digunting melalui berbagai aturan. Termasuk UU Omnibus Law dan revisi UU Minerba. “Kita mau menegur, loh apa kewenangan pak gubernur menegur kami? Ini kan jalan nasional. Benar. Benar juga. Jalan nasional kan, BBPJN yang tanggung jawab,” imbuh Isran Noor. Karena berbagai perubahan aturan itulah, pemerintah daerah serba salah. “Sudah Omnibus Law tidak saya ganggu gugat, sekarang persoalan lagi. Undang-undang revisi minerba juga begitu kejadiannya,” pungkasnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2021 sebagai aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja, selain penarikan izin tambang ke pemerintah pusat, juga adanya ketentuan royalti 0 persen. Kebijakan zero royalti itu merupakan insentif bagi komoditas batu bara yang digunakan untuk program peningkatan nilai tambah atau hilirisasi. Pasal 3 PP 25/2021 menyebutkan pemegang izin usaha pertambangan operasi produksi, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi dan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian untuk komoditas batu bara yang melakukan kegiatan peningkatan nilai tambah di dalam negeri dapat diberikan perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen. Perlakuan 0 persen royalti diberikan dengan mempertimbangkan kemandirian energi dan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri. Akibat aturan ini, pemerintah daerah terancam tidak memiliki pemasukan dari kegiatan usaha pertambangan. Satu-satunya masukan, berasal dari dana bagi hasil.

Tak Paham Fungsi

Akademisi Universitas Mulawarman Hardiansyah Hamzah, menyebut bahwa pernyataan Isran Noor itu sebagai pertanda bahwa ia tak memahami dengan baik fungsinya sebagai kepala daerah. Hardiansyah alias Castro --begitu dia biasa disapa-- mengatakan bahwa tugas pokok kepala daerah adalah memberikan rasa aman bagi warganya. Termasuk dari ancaman kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang. "Gubernur jangan berlindung di balik kewenangan pertambangan yang sekarang di-takeover ke pusat. Sebab kalau gubernur punya niat dan kepedulian yang kuat terhadap warganya, masih banyak hal yang bisa dilakukan," imbuhnya. Sebagai contoh, lanjut Castro, kendati penegakan hukum terhadap tambang ilegal berada di tangan kepolisian, tetapi gubernur seharusnya bisa mendorong percepatan penanganan proses hukum itu, dengan cara berkoordinasi secara intesif dengan pihak kepolisian. Gubernur juga, menurutnya, seharusnya bisa menginstruksikan semua kepada daerah dan jajarannya, baik bupati maupun walikota, agar membentuk semacam task force (gugus tugas) pengawasan dan pelaporan tambang ilegal di wilayahnya masing-masing. "Jadi, seharusnya gubernur berdiri paling depan untuk membela kepentingan warganya dari ancaman tambang ilegal. Tapi kalau pernyataannya semacam itu, kan ibarat orang menyerah kalah sebelum perang. Sungguh sangat disayangkan," ungkap pengajar hukum ilmu Unmul. Sementara itu, Ketua Kelompok Kerja (Pokja 30), sebuah lembaga pengkajian kebijakan publik dan keuangan pemerintah di Samarinda, Buyung Marajo menilai bahwa pemerintah provinsi sebenarnya masih memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran penggunaan jalan umum oleh truk-truk angkutan batu bara secara ilegal. Yakni menegakkan Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur No. 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Jalan Umum dan Jalan Khusus Untuk Kegiatan Pengangkutan Batubara dan Kelapa Sawit. Serta penegakkan Peraturan Gubernur (Pergub) Kaltim No. 43 Tahun 2013. Sebagai petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan jalan umum dan jalan khusus untuk kegiatan pengangkutan batu bara dan kelapa sawit. "Dengan dua regulasi ini artinya gubernur masih punya kewenangan yang dimiliki. Jadi kalau gubernur bilang seolah tidak bisa apa-apa itu tidak benar," cetus Buyung. Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Syafruddin menilai konteks perbincangan ini sebagai bentuk ketidakadilan undang-undang cipta kerja maupun revisi undang-undang Minerba. Sebab, katanya, dengan lahirnya undang-undang tersebut pemerintah daerah sama sekali tak lagi diberi kewenangan. Untuk melakukan pengawasan, apalagi kesempatan memberi rekomendasi penerbitan  izin pertambangan. Padahal, dalam pandangan Syafruddin, daerah lah yang sebetulnya merasakan langsung berbagai dampak aktifitas pertambangan tersebut. Yaitu mulai dari kerusakan lingkungan sampai berefek pada banjir besar. "Kan daerah semua yang merasakan itu," imbuhnya ketika dihubungi media ini, Minggu (13/6). Mestinya, menirut politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini, pemerintah pusat memikirkan dampak-dampak tersebut. Agar jangan sampai daerah hanya betul-betul menjadi sapi perah pemerintah pusat semata. "Sekarang daerah hanya diberi kewenangan untuk penyusunan Amdal saja. Terkait perizinan dan pengawasan tidak lagi dimiliki daerah. Jari ini betul-betul daerah dibuat tidak berdaya," sebutnya. Oleh sebab itu, menurut Syafruddin, apa yang disampaikan gubernur Kaltim itu, tak lain dari, sebagai bentuk keresahan dan kegelisahan kepala daerah terkait masa depan daerahnya. Ia mengatakan, dalam situasi ini, yang bisa dilakukan pemerintah daerah, yakni mendesak untuk merivisi kembali undang-undang tersebut. Atau kemudian meminta agar presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Dan atau meminta pemerintah pusat menerbitan Peraturan Pemerintah (PP). "Yang memberi ruang kepala daerah terkait setidaknya diberikan kewenangan mengawasi. Jika tidak bisa diberikan kesempatan memberi rekomendasi izin," ucapnya. Anggota legislatif Kaltim lainnya, Seno Aji mengatakan, bahwa bukan wewenangnya untuk menjelaskan hal ini. Namun ia menyatakan memang hampir tidak ada lagi celah bagi pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan terhadap aktifitas pertambangan. "Sampai saat ini belum ada celah," imbuhnya. Sehingga, Seno berharap agar kewenangan yang semula dimiliki pemerintah daerah dan kemudian ditarik ke pusat itu, dikembalikan ke daerah. (DAS/YOS)  
Tags :
Kategori :

Terkait