Analisis Ekonom Kaltim Mengamati Fenomena Ekonomi Tumbangnya Retail-Retail Besar

Selasa 01-06-2021,14:34 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Ia mengamati, fenomena ekonomi serupa telah terjadi sejak lima tahun terakhir. Hal ini, menurutnya, adalah apa yang disebut era...

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman Hairul Anwar menilai keputusan bisnis yang dilakukan PT Hero Supermarket Tbk dengan menutup gerai Giant di Indonesia bukanlah masalah baru. Ia mengamati, fenomena ekonomi serupa telah terjadi sejak lima tahun terakhir. Hal ini, menurutnya, adalah apa yang disebut era disrupsi teknologi informasi. Yang sudah terlebih dahulu menghantam industri media. Di mana banyak perusahaan yang bergerak di bidang pemberitaan itu kemudian hijrah dari platform koran cetak ke platform digital. Karena mengikuti kebutuhan dan gaya masyarakat mengakses berita atau informasi. Fenomena yang sama, kata dia, sekarang atau beberapa tahun terakhir, menjalari industri perbelanjaan atau cara orang berbelanja. Dan proses disrupsi di berbagai sektor ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan seluruh dunia merasakannya. Gejalanya sebenarnya sudah dirasakan sebelumnya. Di mana diketahui bahwa beberapa merek dagang internasional terpaksa angkat kaki dari Indonesia. Dengan alasan yang kurang lebih sama. Dari banyak contoh kasus itu, ia berkata, bahwa para analis memang akan dengan cepat memang menyimpulkan, ada perubahan perilaku belanja masyarakat. Yang telah beralih ke online shopping atau market place. Termasuk alasan utama manajemen retail yang baru memutuskan untuk menutup gerainya itu. Betul atau tidak alasan itu, Hairul Anwar punya pendapatnya. "Pasti sebagian betul. Tapi tidak seluruhnya betul bahwa gara-gara itu harus tutup," ucapnya, ketika berbicara dengan Disway Kaltim, Minggu (30/5). Bagian yang dianggap betul, yaitu ia mengakui perilaku belanja masyarakat sekarang jadi lebih mudah melalui market place. Namun ada faktor-faktor lainnya, seperti pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, pembatasan-pembatasan aktivitas di masa pandemi. Tapi hampir semua faktor yang disebut itu mengarah pada penyebab tunggal; wabah pandemi. Memang, kata Hairul Anwar, akan ada dua sudut pandang. Bagi orang-orang marketing, pebisnis, mutlak menggunakan teori dan menyebut penyebabnya adalah disrupsi teknologi informasi tadi. Tapi di mata ekonomi, disebut hal ini terjadi karena adanya patahan dalam skala grafis fluktuasi ekonomi. Grafis yang tadinya secara normal turun naik, kali ini menukik tajam ke bawah, secara tiba-tiba, hingga disebut patahan. "Nah penyebabnya apa? Inilah pandemi. Yang dua tahun terakhir kita lihat, karena ada pembatasan orang keluar rumah dan berkumpul. Kemudian pusat perbelanjaan dibuka tutup dan sebagainya. Akibatnya pusat perbelanjaan tidak bisa beroperasi normal. Secara penuh. Sehingga cenderung merugi," urainya. Berikutnya, lanjut Hairul, kejadian ini menunjukkan fakta rendahnya pertumbuhan ekonomi. Sebab negara mana pun di seluruh dunia, ketika pertumbuhan ekonominya rendah bahkan minus, itu mencerminkan konsumsi masyarakat yang rendah. Dan hal itu menjadi wajar, yakni ketika perekonomian tidak bertumbuh, artinya pendapatan masyarakat juga rendah "Lantas  yang dibelanjakan apa?" tanyanya. "Orang itu rasional kalau bicara pendapatan. Pendapatan turun ya belanja juga pasti turun," ujarnya lagi. Selanjutnya, ia menilai, fenomena melambungnya tren belanja melalui market place hanya masalah perilaku. Ada atau tidak ada pandemi pun sebagian orang akan berpindah untuk ke lini belanja itu pada barang-barang tertentu. Namun tentu tidak semua barang. Kemudian lagi, tergantung dari pengalaman orang, masyarakat yang berbelanja di market place, yakni kesan yang didapatkan. "Misalnya, pengalaman belanja di market place menyenangkan atau tidak, kalau tidak menyenangkan orang juga tidak akan bertahan di market place." Hairul menyebut tidak semua kebutuhan cocok diperdagangkan dengan cara seperti itu. Contoh kecil ketika berbelanja kain. Orang tentu lebih percaya jika bisa mengetahui bahannya secara nyata. "Kemudian soal ukuran, kita tahu, sudah sering orang ribut-ribut karena belanja di market place, akibat ketidaksesuaian ukuran," imbuh ekonom Kaltim itu. Sehingga, Hairul menyimpulkan bahwa penyebabnya terdiri dari berbagai faktor. Yang pertama, tak lain karena pandemi telah membawa masalah pada pelayanan di pusat perbelanjaan. Soal buka tutup. Pembatasan  kegiatan dan sebagainya. Kemudian di satu sisi pendapatan masyarakat secara umum mengalami penurunan tajam. Di satu sisi lagi, penurunan pendapatan itu tidak berbanding lurus dengan harga-harga produk yang diperdagangkan sekelas supermarket seperti Giant. Sementara, ada banyak hal juga yang dapat menjadi pertimbangan menerima alasan pengusaha supermarket menutup gerainya. Contohnya, mahalnya biaya operasional, sewa tempat, dan besarnya kebutuhan karyawan dan nominal pajak. Sehingga tidak mudah lagi bagi mereka untuk bermain di arena itu. Sangat berbeda dengan swalayan kelas menengah ke bawah, yang di pinggir jalan itu. Yang notabene barang dagangannya sama. Pengusaha-pengusaha yang bermain di retail besar seperti itu, katanya, akan cenderung taat pajak. Karena sangat gampang terlihat. Tapi, belum tentu dengan pemain-pemain yang lebih kecil, di pinggir jalan tadi. “Itulah mengapa, mereka yang bermain di segmen menengah ke bawah, bisa memainkan strategi harga yang lebih murah,” sebutnya. Selama ini, kelebihan swalayan besar yaitu mampu menyediakan hampir semua jenis kebutuhan dasar yang diperlukan masyarakat. Kemudian memberikan kemudahan dan rasa nyaman dalam pelayanan. Tetapi mereka memerlukan biaya operasional yang lebih besar. Dan harus dikonvensasi dengan harga yang tinggi. "Otomatis kita tidak bisa berharap harga swalayan besar lebih rendah dari swalayan pinggir jalan," sebut Hairul Anwar. Sementara, dalam situasi seperti sekarang, di mana pendapatan masyarakat tertekan, masyarakat akan lebih cenderung berpikir logis. Mencari tempat berbelanja yang paling murah. Satu sisi karena kesehatan, sisi lain karena memang keterbatasan anggaran belanja rumah tangga. Berdampak ke Segala Arah Menurut Hairul Anwar, kejadian seperti Giant itu akan berdampak luas, dan berimplikasi pada berbagai sektor. Pun besar kemungkinan diikuti retail-retail besar lainnya. "Barangsiapa yang tidak kuat dalam hal pendanaan dan tidak memiliki strategi yang tepat, mau tidak mau bakal keluar dari pasar itu," ia menegaskan. Ia menuturkan, bahwa para pengusaha di sektor itu, saat ini, hanya dapat dilihat orientasinya. Apakah berorientasi jangka panjang atau jangka pendek. Menurutnya, jika berorientasi jangka pendek tentu mereka akan menutup semua cabang usaha. Tetapi jika berorientasi jangka panjang, mereka mungkin akan menutup sebagian, dan yang lain tetap beroperasi. "Jadi tergantung perusahaannya, bagaimana orientasi mereka," katanya. Hairul mengatakan, ada perusahaan yang malu-malu untuk menunjukkan bahwa mereka mulai keluar dari pasar. Ada juga yang secara tegas menyatakan keluar pasar. Dan melelang semua barang. Yang jelas, tak dapat dinafikkan, bahwa keputusan perusahaan baik secara terpaksa atau pun pertimbangan kelanjutan bisnis, itu dapat berimplikasi pada banyak sektor. Salah satunya bagi pemerintah. Yaitu pendapatan dari sektor pajak yang akan berkurang. Dari sisi pendapatan masyarakat akan semakin tertekan, karena banyak karyawan terkena PHK. "Ada sekian ribu orang lagi yang kehilangan pendapatan. Belanja makin kecil lagi." Di sisi swasta, investasi sudah pasti berkurang. Dua duanya mengakibatkan pendapatan pemerintah berkurang, ucap Hairul. Kendati begitu, ia berujar, tidak semua yang memutuskan keluar dari pasar akan berhenti total. Bila kondisi membaik, tidak menutup kemungkinan mereka akan kembali lagi. Hal yang lumrah dalam bisnis, lanjutnya, melihat peluang kemudian masuk ke dalamnya. "Jadi bisnis itu banyak strategi, terutama dalam masa sulit, mana yang pintar pintar bermain saja, yang mampu bertahan." Atau tenggelam kemudian timbul kembali. "Yang jadi masalah kehilangan lapangan kerja masyarakat, dan kesempatan pemerintah untuk mendapat pajak dari sektor itu. Artinya tekanan terhadap APBN dan APBD itu akan semakin besar lagi," pungkas pengajar Unmul itu. (das/eny).
Tags :
Kategori :

Terkait