Selesaikan Krisis di Timur Tengah, Turki Ingin Bangun Hubungan dengan Israel

Jumat 16-04-2021,08:30 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Turki dan Israel berusaha keras untuk memperbaiki hubungan. Kedua belah pihak ingin untuk setidaknya mengakhiri krisis, mengurangi retorika di tingkat kepemimpinan, dan fokus pada bidang kerja sama dan realpolitik.

BELASAN tahun telah berlalu sejak insiden Davos dan Mavi Marmara, hubungan Turki-Israel masih menjalani upaya pemulihan yang intens. Dua negara ini adalah negara-negara di kawasan Timur Tengah yang penting dan berpengaruh pada stabilitas regional. Saat ini, seperti di masa lalu, hubungan dua negara memiliki struktur yang berbasis realpolitik. Sehingga mengupayakan hubungan keseimbangan/kepentingan, dan bertumpu pada isu Palestina dan posisi Israel sebagai mitra istimewa Gedung Putih. Namun, dunia perlu melihat secara singkat sejarah hubungan Turki-Yahudi, sebagaimana yang telah dicatat ekonom Giancarlo Elia Valori di Modern Diplomacy. Peristiwa penting pertama yang terlintas dalam pikiran ketika menyebut orang Yahudi dan Turki adalah ketika lebih dari 200.000 orang Yahudi diusir oleh Inkuisisi Spanyol pada 1491, Kekaisaran Ottoman mengundang mereka untuk menetap di wilayahnya. Turki adalah negara muslim pertama yang mengakui Israel pada 1949. Misi diplomatik pertama Israel ke Turki dibuka pada 7 Januari 1950. Tetapi setelah krisis Suez pada 1956, hubungan mulai melemah. Dalam perang Arab-Israel kedua pada 1967, Turki memilih tidak terlibat dan tak membiarkan hubungan kedua negara putus. Tahun 1990-an, ada tren dan perkembangan yang positif dalam hal hubungan bilateral. Setelah Perang Teluk kedua pada 1991, yang menyusul Perang Irak pertama pada 1980-1988 di mana seluruh dunia melawan Iran, Turki berada di pusat kebijakan keamanan di wilayah tersebut. Dalam konteks itu, hubungan Turki-Israel dihidupkan kembali. Pada 1993, Turki meningkatkan hubungan diplomatik dengan Israel ke tingkat duta besar. Penandatanganan Kesepakatan Oslo antara Palestina dan Israel menyebabkan hubungan yang lebih dekat. Perjanjian kerja sama militer 1996 ditandatangani antara kedua negara dalam perang melawan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Turki, yang memberikan dukungan logistik dan intelijen yang signifikan kepada kedua belah pihak. Pada 2000-an, ada pendekatan lebih lanjut dengan Israel. Karena kebijakan “tidak ada masalah dengan tetangga” yang dipromosikan oleh Partai Keadilan dan Pembangunan Erdogan. Dua negara membangun aliansi mereka kembali. Pada 2002, perusahaan Israel melakukan proyek modernisasi 12 tank M-60 milik angkatan bersenjata Turki. Pada 2004, Turki setuju untuk menjual air dari Sungai Manavgat ke Israel. Kunjungan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan ke Israel pada 2005 merupakan titik balik dalam hal mediasi antara Palestina dan Israel, dan kemajuan lebih lanjut dalam hubungan bilateral. Pada 2007, Presiden Israel Shimon Peres dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas berbicara di Majelis Nasional Turki. Kunjungan tingkat tinggi dari Israel terus berlanjut. Pada 22 Desember 2008, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert datang ke Ankara dan bertemu dengan Erdogan. Dalam pertemuan itu, kemajuan signifikan dicapai terkait mediasi Turki antara Israel dan Suriah. Terlepas dari peristiwa-peristiwa tersebut di atas, kemerosotan hubungan Turki-Israel terjadi lima hari setelah pertemuan tersebut. Yaitu Operasi “Cast Lead” melawan Gaza pada 27 Desember 2008. Setelah peristiwa itu, hubungan kedua belah pihak tidak pernah sama lagi. Namun baru-baru ini, pernyataan niat baik telah dibuat oleh kedua negara untuk menormalkan hubungan politik. Pada Desember 2020, Presiden Erdogan menyatakan ingin meningkatkan hubungan dengan Israel. Ia berkata, “Tidak mungkin kami menerima apa yang dilakukan Israel terhadap wilayah Palestina. Ini adalah titik di mana kami berbeda dari Israel. Jika tidak, hati kami ingin meningkatkan hubungan kami dengan mereka juga”. Dalam hubungannya dengan Israel, Turki menjadikan masalah Palestina sebagai syarat. Jika dilihat dari sudut pandang yang berlawanan, masalah Palestina adalah problem vital bagi Israel. Oleh karena itu, ini merupakan hambatan berat bagi hubungan bilateral tersebut. Di sisi lain, berbagai masalah kawasan seperti Mediterania Timur, Suriah dan beberapa masalah keamanan di kawasan membutuhkan kerja sama kedua negara kunci tersebut. Untuk alasan ini, jelas bahwa kedua belah pihak ingin untuk setidaknya mengakhiri krisis, mengurangi retorika di tingkat kepemimpinan, dan fokus pada bidang kerja sama dan realpolitik. Dalam beberapa bulan mendatang, upaya pasti akan dilakukan untuk mencapai keseimbangan antara niat ini dan kondisi yang mengharuskan untuk memulai kembali hubungan bilateral dengan Israel dengan pijakan yang sama. Karena hubungan yang lebih baik dengan Israel juga akan secara positif mempengaruhi hubungan Turki dengan Amerika Serikat (AS). Turki berusaha untuk menghindari sanksi AS dan Uni Eropa (UE) yang dapat meningkatkan retorika anti-Barat neo-Ottoman. Sementara peningkatan hubungan dengan Israel dapat menawarkan hasil yang positif. Tidak hanya untuk menghindari kerusakan tersebut. Tetapi juga untuk menyelesaikan masalah itu. Masalah Turki terkait dengan Mediterania Timur, perairan teritorial, Libia, dan Suriah. Turki tidak berniat mundur pada masalah-masalah yang dianggapnya penting. Justru sebaliknya. Mereka ingin menyampaikan pesan positif di tingkat pembicaraan dan KTT. Persoalan penting lainnya dari gesekan antara Turki dan Israel adalah penggunaan minyak dan gas di cadangan Mediterania Timur antara Mesir, Israel, Yunani, dan Siprus (Nicosia). Pendekatan ini mengucilkan Turki. AS dan UE juga sangat mendukung situasi saat ini dengan alasan tambahan bahwa Prancis telah dimasukkan dalam pendekatan. Penyelarasan pasukan dan front di wilayah maritim ini juga terlihat secara luas selama perang saudara di Libia. Di mana Turki, Mesir, Uni Emirat Arab, Prancis, serta pemain lain seperti Rusia, Italia, dan lainnya terlibat. Pada akhirnya, titik kontak antara Turki dan Israel adalah peran mediasi yang dapat dimainkan Israel dalam hubungan antara Iran dan Israel. Terutama setelah peningkatan hubungan Turki-Iran. Memang, pasca serangan udara AS di Baghdad, yang menewaskan Jenderal Iran Qassem Soleimani pada 3 Januari 2020, Menteri Luar Negeri Turki menyatakan, tindakan AS tersebut akan meningkatkan ketidakamanan dan ketidakstabilan di wilayah tersebut. Dia juga melaporkan, Turki khawatir tentang meningkatnya ketegangan antara AS dan Iran yang dapat mengubah Irak kembali menjadi wilayah konflik yang merugikan perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut. Erdogan juga menelepon Presiden Iran Hassan Rouhani. Ia mengucapkan bela sungkawa dan mendesaknya untuk menghindari eskalasi konfliktual dengan AS setelah serangan udara tersebut. Akibatnya, Presiden Turki berkepentingan untuk mempertahankan saluran terbuka dengan Iran. Sehingga dia dapat melunakkan ketegangan timbal balik antara Israel dan Iran. Dan pada gilirannya diplomasi Israel dapat mempengaruhi pilihan Presiden AS Joe Biden. Meskipun kurang pro-Israel daripada Donald Trump. Turki diketahui memiliki banyak masalah hubungan dengan AS. Terutama setelah percobaan kudeta 15-16 Juli 2016 dan masalah minyak. Mereka menyadari hanya Israel yang dapat menyelesaikan situasi tersebut dengan lancar. Namun, hubungan Israel-AS saat ini tidak dalam kondisi terbaiknya seperti di bawah Trump. Erdogan tampaknya tidak menyadari fakta ini. Tetapi Presiden Turki itu tahu satu-satunya suara yang dapat didengar Gedung Putih adalah suara Israel. Tentunya bukan suara monarki Teluk. Yang saat ini berselisih dengan Turki. Israel masih tidak disebut secara khusus dalam pernyataan yang dibuat oleh Erdogan sehubungan dengan Palestina. Karena ia percaya pasti ada konsekuensinya, serta dalam kaitannya dengan serangkaian sikap anti-Zionis dari rakyat Turki. “Meski demikian, deklarasi keterbukaan Presiden Erdogan dan persetujuan Israel pasti akan membuahkan hasil yang konkret,” kata Elia. (mmt/qn) Sumber: Capek Berantem, Ikhtiar Turki dan Israel Perbaiki Hubungan
Tags :
Kategori :

Terkait