Menuai Badai karena Virus Corona Lambat Dideteksi
Senin 29-03-2021,22:15 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group
Washington, nomorsatukaltim.com - Sejumlah peneliti di Fakultas Kedokteran University of California, University of Arizona dan Illumina Inc, menunjukkan bukti baru dari studi mengenai awal virus corona baru menyebar di Wuhan, China.
Studi yang telah dipublikasikan di jurnal Science pada 18 Maret lalu memperlihatkan, virus corona baru yang kemudian dilabeli dengan nama SARS-CoV-2 telah beredar beberapa bulan sebelum kasus COVID-19 pertama muncul di Wuhan, China.
Bahkan, para peneliti menyebut, virus corona ini telah beredar tanpa terdeteksi sejak Oktober 2019. Dikutip dari Science Daily, Senin (29/3), untuk membuktikan hal itu, para peneliti menggunakan alat penanggalan molekuler dan simulasi epidemiologi.
Virus corona SARS-CoV-2 diumumkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada awal 2020. Virus ini disebut terdeteksi pertama kali pada Desember 2019. Namun, dalam simulasi studi yang dilakukan para peneliti ini, diperkirakan SARS-CoV-2 kemungkinan besar awal beredar di China tanpa terdeteksi. Paling lama dua bulan sebelum kasus manusia pertama terinfeksi COVID-19 diumumkan muncul di Wuhan, pada akhir Desember 2019.
Dalam studi ini, para peneliti juga mencatat, simulasi mereka menunjukkan virus corona yang bermutasi mati secara alami lebih dari tiga perempat waktu. Tanpa menyebabkan epidemi.
“Studi kami dirancang untuk menjawab pertanyaan tentang berapa lama SARS-CoV-2 dapat beredar di China sebelum ditemukan,” kata penulis senior Joel O. Wertheim, profesor dari Divisi Penyakit Menular dan Kesehatan Masyarakat Global di Fakultas Kedokteran University of California, San Diego, Amerika Serikat (AS).
Lantas, kapan pertama kali virus corona baru mulai beredar di China? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para peneliti menggabungkan tiga informasi penting. Di antaranya pemahaman terperinci tentang bagaimana SARS-CoV-2 menyebar di Wuhan sebelum lockdown dimulai di kota tersebut.
Selain itu, mempelajari keragaman genetik virus corona China, serta laporan kasus awal COVID-19 di China. Dengan menggabungkan garis bukti yang berbeda ini, tim peneliti menempatkan batas atas kapan SARS-CoV-2 mulai beredar di Provinsi Hubei, yakni dimulai pada pertengahan Oktober 2019.
Saat awal kasus COVID-19 pertama kali dilaporkan pada akhir Desember 2019 di Wuhan, yang berada di Provinsi Hubei, China tengah, virus pun menyebar dengan cepat ke luar Hubei. Otoritas China kemudian menutup wilayah tersebut dan menerapkan langkah-langkah mitigasi nasional.
Hingga pada April 2020, penularan lokal virus corona ini sudah terkendali. Namun saat itu, COVID-19 telah menjadi pandemi. Setelah lebih dari 100 negara melaporkan kasus infeksi dari penyakit baru itu.
SARS-CoV-2 adalah virus corona zoonosis. Yakni virus yang diyakini telah melompat dari inang hewan yang tidak dikenal ke manusia. Sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengidentifikasi kapan virus corona ini pertama kali mulai menyebar di antara manusia.
Berdasarkan penyelidikan kasus COVID-19 yang terdiagnosis awal, kelompok kasus pertama dari genom SARS-CoV-2 yang diurutkan paling awal, dikaitkan dengan Pasar Makanan Laut Huanan.
Akan tetapi penulis penelitian mengatakan, kelompok pasar tersebut tidak mungkin menandai awal pandemi virus corona. Sebab, kasus COVID-19 yang terdokumentasi paling awal tidak ada hubungannya dengan pasar.
Dalam studi baru ini, para peneliti menggunakan analisis evolusi jam molekuler untuk mengetahui kapan kasus pertama, atau indeks, awal virus corona menyebar di China. Jam molekuler adalah istilah untuk menyebut teknik yang digunakan untuk mengetahui tingkat mutasi gen. Untuk menyimpulkan kapan penyimpangan dua atau lebih bentuk kehidupan.
Dalam hal ini, ketika nenek moyang yang sama dari semua varian virus SARS-CoV-2 ada, dan diperkirakan dalam studi ini, mereka telah ada paling cepat pada pertengahan November 2019. Berdasarkan penanggalan molekuler dari nenek moyang terbaru sering dianggap identik dengan kasus indeks penyakit yang baru muncul.
Namun, menurut rekan penulis studi ini, Michael Worobey, profesor ekologi dan biologi evolusi di University of Arizona, kasus indeks dapat dibayangkan mendahului nenek moyang yang sama.
“Kasus pertama sebenarnya dari wabah ini mungkin terjadi berhari-hari, berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan sebelum perkiraan leluhur bersama. Menentukan panjang phylogenetic fuse atau pencetusnya adalah inti dari penyelidikan kami,” jelas dia.
Berdasarkan studi ini, para peneliti memperkirakan, jumlah median orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 di China kurang dari satu hingga 4 November 2019. Kemudian 13 hari berlalu, menjadi empat orang, dan hanya sembilan pada 1 Desember 2019.
Penulis penelitian menggunakan berbagai alat analisis untuk memodelkan bagaimana SARS-CoV-2 mungkin berperilaku selama wabah awal dan hari-hari awal pandemi virus corona.
Alat-alat yang digunakan ini termasuk simulasi epidemi berdasarkan biologi virus yang diketahui. Seperti penularannya dan faktor lainnya. Hanya dalam 29,7 persen dari simulasi ini, virus corona mampu menciptakan epidemi yang bertahan sendiri. Sedangkan 70,3 persen lainnya, virus menginfeksi relatif sedikit orang sebelum mati. Epidemi gagal berakhir rata-rata hanya sekitar delapan hari setelah kasus indeks.
“Biasanya para ilmuwan menggunakan keragaman genetik virus untuk mengetahui waktu kapan virus mulai menyebar. Studi kami menambahkan lapisan penting di atas pendekatan ini dengan memodelkan berapa lama virus dapat beredar. Sebelum memunculkan keragaman genetik yang diamati,” jelas Wertheim.
Wertheim menambahkan, pendekatan studi ini juga menunjukkan temuan yang mengejutkan. Tim melihat lebih dari dua pertiga epidemi yang coba disimulasikan punah.
“Itu berarti jika kami dapat kembali ke masa lalu dan mengulangi tahun 2019 sebanyak seratus kali, dua dari tiga kali, COVID-19 akan gagal dengan sendirinya tanpa memicu pandemi. Temuan ini mendukung gagasan bahwa manusia terus-menerus dibombardir dengan patogen zoonosis,” jelas dia.
Ia mencatat, bahkan ketika SARS-CoV-2 beredar di China pada musim gugur 2019, model para peneliti menunjukkan itu terjadi pada level rendah hingga setidaknya Desember tahun itu.
Penulis studi menegaskan, strain asli SARS-CoV-2 menjadi epidemi karena tersebar luas, dan karena berkembang di daerah perkotaan di mana penularannya lebih mudah. Dalam simulasi epidemi yang melibatkan komunitas pedesaan yang kurang padat, epidemi punah 94,5 hingga 99,6 persen dari waktu. Virus tersebut telah bermutasi beberapa kali, dengan sejumlah varian menjadi lebih mudah menular.
“Pengawasan pandemi tidak disiapkan untuk virus seperti SARS-CoV-2. Kami sedang mencari SARS atau MERS berikutnya. Sesuatu yang membunuh orang pada tingkat yang tinggi. Tetapi jika dipikir-pikir, kami melihat bagaimana virus yang sangat mudah menular dengan tingkat kematian yang sederhana juga dapat melemahkan dunia,” kata Wertheim. (kmp/qn)
Sumber: Awal Virus Corona Beredar di China Tanpa Terdeteksi dari Oktober 2019, Studi Jelaskan
Tags :
Kategori :