OLEH: ANTHONIUS DHINAR, RANTO, ANGGUN, FADIL DAN FERIZA*
Konsep 3 Helix atau lebih dikenal kenal dengan sebutan Triple Helix pertama kali diungkapkan oleh Henry Etzkowitz dan Loet Leydesdorff. Kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Gibbons (1994). Dalam The New Production of Knowledge. Dan Nowotny (2001) dalam Re-Thinking Science. Digunakan untuk menjelaskan hubungan ketiga elemen: akademisi (academic), bisnis (business), dan pemerintah (government)—kami singkat dengan ABG.
Selain itu, dapat juga memberikan gambaran mengenai koordinat dari simbiosis mutualisme (irisan) dari masing-masing elemen. Setiap elemen merupakan entitas yang berdiri sendiri. Memiliki perannya masing-masing. Meskipun mereka bersinergi dan mendukung satu dengan yang lainnya. Atau disebut reflexivity atau refleksivitas.
Berbicara Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), konsep Triple Helix menjadi jembatan penghubung antara akademisi, bisnis, dan pemerintah. Dalam suatu kerangka bangunan suportif yang saling mendukung. Ketiganya menjadi pelaku utama penggerak lahirnya ide, kreativitas, inovasi, teknologi, dan regulasi. Terkait bagaimana menumbuhkan suatu UMKM.
Diperlukan upaya untuk membuat konektivitas ini berkesinambungan dan dinamis. Sehingga setiap pihak diharapkan selalu terbuka kepada pihak lain dan berusaha melakukan yang terbaik. Demi kepentingan bersama. Tidak dapat bergerak sendiri. Hal ini mengharuskan dan membawa mereka untuk bekerj asama dengan sinergis dan seimbang.
Peran akademisi di tingkat institusi seperti perguruan tinggi, sekolah tinggi, politeknik dan lain sebagainya adalah sebagai think tank dalam melakukan transfer teknologi, inovasi hasil penelitian, dan ilmu pengetahuan pada pengembangan UMKM. Antara lain melalui kegiatan praktikum, pelaksanaan praktik kerja (magang), serta Program Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) lainnya yang bekerja sama dengan pemerintah setempat.
Contoh lain adalah kerja sama antara pihak perusahaan dengan sekolah setempat. Dalam melaksanakan praktik kerja lapangan (magang) atau Praktek Kerja Industri (Prakerin). Tujuannya, mendidik siswa/mahasiswa untuk memiliki bekal saat terjun ke lapangan secara langsung. Dengan keterlibatan penuh dari pihak akademisi, diharapkan penciptaan industri kreatif dapat lebih berhasil. Hal ini secara tidak langsung dapat menjawab permasalahan pemerintah untuk menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan UMKM di Indonesia.
Peran pelaku bisnis/industri dalam pengembangan UMKM adalah sebagai pemacu gerak sekaligus center of excellence dari produk-produk unggulan serta pencipta lapangan kerja bagi individu sekitar dan individu pendukung lainnya. Pembentuk komunitas dan entrepreneur kreatif sebagai motor yang membentuk ruang publik. Juga tempat terjadinya sharing-knowledge dan mentoring (business coaching) yang dapat mengasah kreativitas dan manajerial. Dalam pengelolaan UMKM berkelanjutan.
Peran pertama pemerintah dalam pengembangan UMKM adalah sebagai katalisator, fasilitator, dan advokasi yang memberi rangsangan, tantangan, dorongan, dan kepastian hukum. Agar ide-ide bisnis dapat bergerak ke tingkat kompetensi yang lebih tinggi. Tidak selamanya dukungan harus berupa bantuan finansial dan intensif. Tetapi dapat juga berupa komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan administrasi publik dengan baik serta menggunakan kekuatan politiknya sebagai proteksi terhadap UMKM di wilayah kerja masing-masing.
Peran kedua pemerintah yaitu sebagai regulator. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan‐kebijakan yang berkaitan dengan pelaku industri, institusi, intermediasi, sumber daya, dan teknologi dengan membuat kebijakan-kebijakan yang menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi UMKM.
Peran ketiga pemerintah yaitu sebagai konsumen. Bahkan sebagai investor. Pemerintah sebagai investor harus dapat memberdayakan aset negara untuk menjadi produktif dalam lingkup industri kreatif dan bertanggung jawab terhadap investasi tersebut. Sebagai konsumen, pemerintah perlu merevitalisasi kebijakan procurement yang dimiliki dengan prioritas penggunaan produk-produk dari UMKM.
Dan peran keempat yang paling penting adanya pemerintah yaitu sebagai urban planner. Kreativitas dan inovasi akan tumbuh dengan subur di kota yang memiliki iklim kreatif pula. Agar pengembangan UMKM ini berjalan dengan baik, maka perlu diciptakan kota/daerah kreatif di Indonesia. Pemerintah memiliki peran sentral dalam penciptaan daerah kreatif yang mampu mengakumulasi dan mengonsentrasikan pemikiran individu kreatif. Agar menjadi magnet. Dalam menarik minat konsumen/perusahaan di Indonesia.
Hal ini pula yang mendorong kami mengangkat sebuah studi kasus di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Yaitu Usaha Roti Bekatul Ayusita Bakery. Pelaku bisnis produk olahan roti bekatul dalam hal ini Ayusita Bakery. Usaha ini merupakan salah satu UMKM yang bergerak dalam industri olahan pangan. Terutama produk roti. Telah berdiri sejak 2006.
Sampai saat ini produk yang telah dihasilkan adalah olahan kue kering, roti susu, dan roti moka. Produk yang sedang dikembangkan adalah roti berbahan dasar bekatul.
Ayusita Bakery sebagai bagian dalam ABG memiliki peran yang sangat penting sebagai pencipta produk. Sekaligus pencipta lapangan kerja center of excellence bagi individu setempat dan individu pendukung lainnya.
Customer segments dari produk olahan roti bekatul adalah konsumen yang menderita penyakit diabetes, kolestrol, jantung koroner, stroke, dan penyakit kronis lainnya. Selain itu, konsumen yang sedang menjalani program diet. Sasarannya, semua konsumen, baik pria maupun wanita, dengan rentang usia mulai balita hingga dewasa, organisasi atau institusi kesehatan. Fokus yang terakhir adalah swalayan dan warung sembako di Berau.
Akademisi di tingkat institusi perguruan tinggi yang berada di Kabupaten Berau seperti STIPER, STIEM, Politeknik Sinar Mas Berau Coal dapat dijadikan sebagai tempat transfer teknologi, inovasi hasil penelitian, dan ilmu pengetahuan pada pengembangan yang berkaitan dengan alat/peralatan, mesin yang digunakan, inovasi bahan baku atau metode baru, dan pencipataan atau penataan lingkungan kerja yang baru. Sehingga dapat meningkatkan volume, produktivitas, serta pendapatan (profit) bagi bisnis tersebut.
Selanjutnya pemerintah. Seperti Pemkab Berau lewat Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan atau dinas terkait dapat menjadi katalisator, fasilitator, advokasi, regulator, konsumen, bahkan sebagai investor dan urban planer yang terus menggerakkan dan menumbuhkan suatu UMKM. Termasuk Ayusita Bakery.
Beberapa langkahnya adalah: melakukan koordinasi dengan aparatur hingga ke tingkat bawah (lurah dan RT) untuk mendiskusikan konsep produk unggulan; memanfaatkan media massa yang bekerja sama dengan pemerintah untuk membangkitkan promosi produk unggulan; membentuk pusat pelatihan di beberapa tempat untuk menghasilkan berbagai macam produk unggulan daerah.
Selain itu, produk unggulan yang telah dijadikan fokus agar terus didalami. Sehingga dapat menggambarkan citra daerah; pemda dapat memberikan apresiasi (penghargaan) terhadap individu atau UMKM yang telah sukses mengembangkan dan memasarkan produk-produk unggulan mereka. (*Dosen dan Mahasiswa/i Politeknik Sinar Mas Berau Coal)