Satu Dekade Konflik Berdarah di Tanah Suriah

Jumat 19-03-2021,17:42 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

SEPULUH tahun lalu, demonstrasi pro-demokrasi melawan pemimpin Suriah Bashar al-Assad di Kota Deraa, Suriah selatan. Dalam minggu-minggu, bulan, dan tahun-tahun berikutnya, pemberontakan yang awalnya damai itu berubah menjadi perang proksi yang brutal dan tidak masuk akal. “Salah satu konflik paling memilukan yang pernah saya saksikan,” tulis Janine Giovanni di Foreign Policy.

Perang selama satu dekade berarti kehidupan seluruh generasi Suriah telah ditentukan oleh bom, perampasan, kematian, dan pengungsian. Perang selama satu dekade berarti masyarakat membutuhkan waktu setengah abad untuk pulih. Dalam kasus Suriah, ada masalah kejahatan perang yang mengerikan: senjata kimia yang digunakan untuk melawan warga sipil; puluhan ribu penahanan dan penghilangan sewenang-wenang; pemerkosaan dan penyiksaan. Menurut laporan terbaru Komisi Penyelidikan PBB di Suriah, perang telah ditandai dengan pelanggaran paling keji terhadap standar kemanusiaan dan hak asasi manusia. Termasuk kekerasan oleh rezim terhadap penduduknya sendiri dalam skala genosida. Seperti biasa, warga sipil-lah yang menanggung beban kekejaman. Meskipun perang secara teknis belum berakhir—Geir Pedersen, diplomat Norwegia, utusan PBB untuk Suriah, masih bekerja keras—jelas bagi sebagian besar warga Suriah dan pengamat luar, Assad telah menang dan akan tetap berkuasa. Namun, bagaimana untuk mengakhiri perang ini agar ada keadilan bagi mereka yang menderita? Dengan setengah juta warga Suriah tewas, 6,6 juta pengungsi di negara-negara tetangga dan Eropa, dan jutaan lainnya terlantar, belum lagi seluruh negara yang sangat trauma oleh kebrutalan, adakah pelajaran suram yang dapat membantu mencegah perang di masa depan? Menurut pendapat Janine, masalah terpenting dalam perang adalah keadilan transisi. Tidak ada pihak dalam perang yang akan pergi dengan tangan bersih. Termasuk ISIS yang kekhalifahannya super jelek, tidak manusiawi, dan tersebar di sebagian besar Suriah saat perang berlangsung. Apakah orang-orang yang selamat dari kejahatan mengerikan akan diberi kompensasi. Preseden dan struktur sejarah yang diterapkan dunia untuk memastikan hal ini—dari pengadilan pelaku Nazi di Nuremberg hingga pengadilan kejahatan perang di Den Haag. Sayangnya, mereka sering kali lambat, melelahkan, dan tidak efisien. Pun, pengadilan ini jarang menuntut laki-laki dan perempuan yang benar-benar melakukan kejahatan. Jika Anda pergi ke bagian Bosnia sekarang di mana perang sangat kejam—kota kecil di Bosnia timur seperti Foca tempat orang Serbia mendirikan kamp pemerkosaan dan menahan perempuan di sana selama berbulan-bulan, yang terkadang diperkosa hingga 16 kali sehari—Anda masih bertemu banyak yang selamat. Para perempuan ini mengenal para pria yang menghancurkan hidup mereka. Karena korban dan pelakunya sering tinggal di kota yang sama. Mereka masih melihatnya di kafe. Mereka tahu orang-orang ini tidak akan berhasil sampai ke Den Haag dan tidak akan pernah masuk penjara. Cara lain untuk mencapai keadilan bagi kejahatan perang yang mungkin menjadi semakin penting sedang diupayakan oleh pengacara hak asasi manusia di berbagai pengadilan nasional. Mereka menggunakan prinsip yurisdiksi universal, yang berupaya menghukum penjahat di mana pun kejahatan itu dilakukan. Di negara-negara seperti Prancis, Finlandia, dan Jerman—yang saat ini sedang menjalani persidangan—undang-undang mengizinkan hukuman bagi setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang termasuk genosida, dan penyiksaan. Prinsip yurisdiksi universal kembali setidaknya ke 1961, ketika Adolf Eichmann dituntut atas kejahatan Nazi di Israel. Baru-baru ini, mantan diktator Chili Augusto Pinochet diekstradisi ke Spanyol. Sekarang, prinsip tersebut diterapkan pada perang Suriah. Mungkin Suriah dapat melihat model keadilan transisi yang dibangun di Rwanda. Yang sering dianggap sebagai model rekonsiliasi pasca-konflik yang berhasil. Menyusul genosida yang menewaskan 1 juta orang pada 1994. Ada banyak faktor yang mengarah pada proses penyembuhan Rwanda: ketahanan dan tekad orang-orang untuk menempatkan kengerian di belakang mereka. Tetapi juga penerapan alat yang memungkinkan keadilan bekerja. Meskipun tidak sempurna, sistem pengadilan Gacaca Rwanda—kata dalam artinya “duduk di rumput” dalam bahasa resmi nasional, Kinyarwanda—adalah bentuk keadilan komunitas yang awalnya dibentuk oleh pemerintah pada 2001. Untuk menuntut lebih dari 100 ribu tersangka. Yang telah dipenjara selama bertahun-tahun. Menunggu persidangan di pengadilan negara dan di Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda. Yang telah dibentuk di negara tetangga, Tanzania. Upaya untuk mencapai rekonsiliasi nasional dan memulihkan ketertiban di Rwanda sangat mengesankan. Pengadilan Gacaca segera diperluas. Akhirnya menghukum banyak tersangka yang mungkin tidak akan pernah menghadapi persidangan biasa. Sistem Gacaca memiliki kelemahan yang dalam—para pelanggar dikutuk hanya berdasarkan kesaksian para saksi, dan kelompok hak asasi manusia mengatakan, mereka tidak memenuhi standar hukum internasional. Termasuk hak atas peradilan yang adil dan proses hukum. Namun, mengingat fakta pengadilan formal kewalahan, dan akan memakan waktu bertahun-tahun untuk menuntut para pelakunya, pengadilan setidaknya memberikan kompensasi emosional kepada para korban. Pihak yang bersalah tidak akan meninggalkan kejahatan mereka tanpa hukuman. Pada 2011, pada awal perang, Janine mulai mendokumentasikan penyiksaan dan kekerasan seksual di Suriah dalam bukunya The Morning They Came for Us: Dispatches from Syria. Janine mengambil judul itu dari kesaksian salah satu dari banyak orang yang diwawancarainya. Salah satu narasumbernya telah dibawa dari rumahnya saat fajar, masih dengan piyama, ke penjara di mana dia diperkosa dan disiksa. Beberapa tahun berlalu dan Janine mewawancarai lusinan orang yang selamat. Janine menyadari, mereka semua memiliki satu kesamaan: hari mereka dibawa pergi adalah hari terakhir mereka dalam keadaan normal. Di benak seseorang yang telah begitu brutal, dunia terbagi menjadi kerangka waktu “sebelum” dunia mereka hancur, dan “setelah” yang suram dan menyeramkan. Janine mendengar kisah-kisah dari orang Suriah biasa yang telah ditangkap, dipenjara, diperkosa, disiksa—atau memiliki anggota keluarga yang hilang—mengingatkannya dalam banyak hal tentang pekerjaan yang telah dilakukannya di Bosnia. Kekejaman itu menimbulkan rasa sakit sebanyak mungkin pada warga sipil dan menghancurkan tatanan masyarakat. Membaca catatannya membuat Janine mempertanyakan kedalaman kegelapan yang bisa dimasuki manusia. Seorang pemuda yang diwawancarai oleh Janine, mahasiswa filsafat, telah disiksa oleh dokter dengan melakukan pembedahan—tanpa obat bius—untuk menyiksanya. Pada 2011, banyak orang memiliki telepon pintar dengan kamera—tidak seperti di Bosnia, Rwanda, atau bahkan Irak dan Afghanistan pada masa-masa awal perang. Itu memungkinkan orang-orang biasa keluar dan mengambil foto helikopter yang menjatuhkan bom barel, atau bangunan yang hancur. Satu-satunya cara negara bisa sembuh setelah perang adalah agar mereka memiliki semacam komisi kebenaran dan proses rekonsiliasi. Di Suriah, mengingat cakupan dan skala kejahatan perang, ini sangat penting. Suriah belum menerima Statuta Roma, perjanjian yang membentuk pengadilan tersebut. Sehingga, pengadilan kejahatan perang terletak pada badan-badan seperti Internasional, Imparsial, dan Independen Mekanisme (IIIM) di Jenewa. (mmt/qn) Sumber: Hari Ini dalam Sejarah: Perang Suriah Satu Dekade Dimulai
Tags :
Kategori :

Terkait