Sidang Dugaan Membawa Sajam di Aksi UU Ciptaker, Firman Ajukan Ahli dari UI

Rabu 17-03-2021,21:53 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Sidang perkara dugaan membawa senjata tajam (sajam) di dalam aksi unjuk rasa penolakan Undang-Undang (UU) Omnibus Law atau Cipta Kerja (Ciptaker) kembali berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, Rabu (17/3/2021) sore.

Menghadirkan terdakwa Firman Rhamadan melalui daring yang sedang menjalani masa tahanannya di Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda. Di dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan keterangan saksi, kali ini Firman didampingi oleh empat kuasa hukumnya. Mereka adalah Fathul Huda, Zaini Afrizal, Bernard Marbun, dan Hirson Kharisma. Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum Melati dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Samarinda. Dalam persidangan kali ini, terdakwa menghadirkan saksi meringankan atas nama Rezky Nur Rahmatullah Putra, mahasiswa Universitas Mulawarman (Unmul). Dalam hal ini yang mengetahui alur pada saat aksi tersebut, 5 November lalu. Ketua Majelis Hakim Edy Toto Purba sebelum memulai persidangan menanyakan kondisi kesehatan terdakwa lalu membuka persidangan. “Dengan ini, perkara atas dugaan membawa sajam kembali dibuka secara umum,” ucap Ketua Majelis Hakim Edy Toto Purba sembari mengetuk palu persidangan, didampingi Agus Raharjo dan Hasrawati Yunus sebagai hakim anggota. Lalu tanya jawab antara hakim dan saksi dimulai. Di awal persidangan, saksi menjelaskan kronologi kejadian sebelum terjadinya chaos. Saksi menerangkan. awal mula aksi dari berkumpul hingga terjadinya kerusuhan, yang mengakibatkan kedua terdakwa ditahan. Diterangkan saksi, sebelum aksi tersebut sudah diadakan konsolidasi mengenai aksi yang akan diselenggarakan pada hari itu. Setelah itu, penasihat hukum (PH) terdakwa melemparkan pertanyaan kepada saksi meringankan. PH: Apakah saksi mengenali aparat saat di lapangan? Saksi: Tidak. PH: Apakah saudara ingat jumlah polisi yang menggunakan pakaian dinas saat aksi tersebut? Saksi: Sekitar 30 orang. PH: Berapa polisi yang menggunakan seragam biasa? Saksi: Tidak tahu. Saksi menerangkan, pada saat di titik kejadian tersebut, banyak polisi yang berpakaian preman. Dari fakta di persidangan pula, saksi tidak dapat membedakan aparat kepolisian yang menggunakan pakaian biasa dan para peserta aksi. Saksi: Gak bisa bedakan, karena tiba-tiba saat chaos ada yang ditangkap. Saat persidangan, saksi mengatakan aksi yang menyebabkan ditahannya Firman ini merupakan aksi ke-9, dan bukan kali pertama terjadi kekerasan itu. PH: Ada berapa orang yang diamankan polisi? Saksi: Ada delapan peserta ditangkap dan dibawa ke Polresta, malam itu ada dibebaskan 6 dan 2 ditahan. Saksi menyebut, tidak mengetahui alasan rekannya tidak dibebaskan semua. Ditambahkannya, ia mengatakan banyak yang ditangkap sebelumnya saat aksi, namun hanya dua yang diproses. Dalam aksi sebelum-sebelumnya, kata saksi, ada penangkapan dari kepolisian, namun malam dibebaskan tapi ada tanda kekerasan pada para peserta aksi. Setelah mendengarkan keterangan saksi dari terdakwa, majelis hakim menanyakan kebenaran pernyataan saksi kepada Firman selaku terdakwa. Terdakwa: Benar yang mulia. Sebelum persidangan ditutup, penasihat hukum terdakwa meminta pengajuan ahli untuk memberikan keterangan kepada majelis hakim. Namun ada perdebatan dalam menghadirkan ahli secara daring PH: Mengenai pengertian daripada surat edaran Mahkamah Agung terkait mengenai persidangan secara online, kita dalam hal ini mau menghadirkan ahli dari Universitas Indonesia (UI), itu kan di luar daripada Pulau Kalimantan. Hakim: Bisa, tapi harus ada kerja sama dengan pengadilan setempat. Penasihat hukum: Sementara kami punya pengalaman pada saat penanganan sidang Papua itu tidak seperti itu. Ahli-ahli yang kita hadirkan itu bisa di kampus maupun juga di rumahnya, sehingga tidak ribet seperti ini. Hakim: Ahli harus berada di Pengadilan Negeri setempat, karena sudah ada fasilitas untuk daring dan untuk menjaga netralitas ahli. Penasihat hukum: ya kita akan upayakan untuk ini, agar ahli bisa diterima persidangan, kita akan komunikasi ke PN setempat. Ditemui usai persidangan, penasihat hukum terdakwa, Bernard Marbun menegaskan, Pengadilan Negeri Samarinda dalam hal ini ketua majelis hakim punya pandangan yang berbeda terkait  skema ini. "Padahal kan kita juga sudah pernah menerapkan itu, dan pengalaman kita diperbolehkan. Tapi karena majelis mengatakan seperti itu, ya kita mau mengatakan bahwa ternyata hakim dalam ini agak keliru dalam melihat itu, dalam menerjemahkan skema itu," katanya. Dijelaskannya, pihaknya tidak mengetahui sajam ini siapa yang menyediakan, karena pada saat itu posisi seperti keterangan pada saksi  itu lagi ramai, chaos, dan polisi berpakaian preman itu ada sekitar 30 lebih. "Maka ini semakin juga membantah daripada keterangan daripada saksi yang dihadirkan oleh jaksa, bahwa dia mengatakan pada saat itu sepi hanya Firman saja," ucapnya. "Ini juga membantah keterangan mereka, bahwa yang ditangkap justru ada delapan orang, bukan hanya  Firman sendiri saja. Ini tujuan kita pada saat menghadirkan saksi pada hari ini," tambahnya. Menanggapi keterangan saksi, Bernard Marbun menjelaskan dari aksi pertama, dari keterangan saksi tadi sudah jelas kepolisian dalam penerapan pengamanan tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). "Terbukti dari aksi ke-1 sampai dengan aksi ke-9 itu terjadi penangkapan disertai dengan kekerasan, dalam hal ini kita melihat bahwa kepolisian dalam kerja-kerjanya tidak menggunakan SOP, dan ini sesuai dengan fakta yang diderita kawan-kawan yang juga peserta aksi," tegasnya. Persidangan selanjutnya diagendakan pada 25 Maret, untuk mendengarkan saksi ahli melalui daring. (bdp/zul)
Tags :
Kategori :

Terkait