Ilustrai RKUHP. (int) DiswayKaltim.com - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sampai sekarang. Masih diberlakukan di Indonesia. Aturan hukum ini, satu warisan pemerintah Hindia Belanda. Sumber KUHP adalah hukum Belanda: Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya ditetapkan melalui Staatsblad. Nomor 732, tahun 1915. Pertama diberlakukan di Hindia Belanda. Mulai 1 Januari 1918. Pemberlakuan di Indonesia, ditetapkan usai masa kemerdekaan. Pemberlakuannya diatur melalui UU No 1, tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Tahun 1963, sesuai hasil resolusi Seminar Hukum Nasional di Semarang. Muncul gagasan, membuat produk hukum: asli Indonesia. Rencana membuat Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) versi Indonesia. Pemerintah sepakat memulai proyek pembentukan hukum pidana nasional. Dengan membentuk tim perumus. Berbagai masukan bermunculan. Di antaranya, perluasan delik-delik kejahatan keamanan negara. Ekonomi, serta kesusilaan. Setahun kemudian terbentuk tim perumus RKUHP yang dinakhodai pakar hukum dari Universitas Diponegoro, Prof. Soedarto. Tim perumus RKUHP juga sepakat. Tidak membuat KUHP sama sekali dari awal. Tim melakukan rekodifikasi KUHP Hindia Belanda. Menghilangkan Buku III. Serta membuat penjelasan setiap pasal. Tim perumus beranggotakan sejumlah pakar hukum terkemuka Indonesia. Mereka, di antaranya Prof. Roeslan Saleh (Universitas Gajah Mada), Prof. Moeljanto, Prof. Satochid Kartanegara. Juga, Prof Oemar Seno Adji (pakar hukum Universitas Indonesia yang kemudian menjadi Ketua Mahkamah Agung). Serta J.E. Sahetapy dari Universitas Airlangga. Beberapa tahun berikutnya, anggota tim menambah personel. Dengan melibatkan Prof. Mardjono Reksodiputro, Bagir Manan, Andi Hamzah. Ada pula Muladi, Barda Nawawi dan Karlinah Soebroto. Prof. Soedarto memimpin tim hingga ajal menjemputnya, pada 1986. Kepemimpinan tim diganti Roeslan Saleh. Semasa proses perumusan, Prof. Soedarto juga meminta pandangan dua pakar hukum Belanda. Tujuannya, memberi masukan RKUHP. Mereka adalah Prof. D. Schaffmeister dari Universitas Leiden. Serta Prof. N. Keijzer dari Universitas Leiden. Namun, baru di tahun 1986, tim perumus bentukan pemerintah ini berhasil menyelesaikan Buku I RKUHP. Yang berisi: asas-asas umum hukum pidana dan penjelasan pasal-pasal. Dalam jejak perjalanannya, kepemimpinan tim silih berganti. Tim perumus dinakhodai Prof. Mardjono Reksodiputro. Beliau memimpin Tim Perumus dari tahun 1987-1993. Proses perumusan dilanjutkan dengan penyusunan Buku II RKUHP. Yaitu, memasukkan pasal yang dinilai masih relevan ke dalam buku II. Buku II ini mengatur: bentuk dan jenis tindak pidana. Serta ancaman pidananya. Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), terus mengawal penyusunan RKUHP. BPHN kala itu, diketuai Ismail Saleh dan Sunarjati Hartono. Ketika Ismail Saleh menjadi Menteri Kehakiman, era Soeharto. Ia meminta tim segera menuntaskan penyusunan RKUHP ini. Baru lah di tahun 1993, tim menyerahkan naskah RKUHP kepada Ismail Saleh di kantornya. Pada tahun itu pula, kepemimpinan Prof. Mardjono diganti. Tetapi, saat Ismail Saleh lengser dan digantikan Oetojo Oesman, tidak ada kemajuan dalam pembuatan RKUHP. Naskah dari tim hanya parkir di Kementerian Kehakiman. Penyusunan RKUHP, baru mengalami kemajuan lagi. Saat Muladi menjadi Menteri Kehakiman. Ia mengajukan RKUHP ini ke Sekretariat Negara. Juga ke DPR. Di periode kedua SBY, pemerintah mulai gencar menggodok RKUHP. Kala itu, tahun 2013, bersama DPR sangat intensif melakukan pembahasan RKUHP. Pada masa pembahasan ini, Benny K. Herman dari Fraksi Demokrat menjadi Ketua Panitia Kerja pembahasan RKUHP. Namun pemerintah menarik kembali rancangan tersebut. Pada 5 Juni 2015, Jokowi mengeluarkan Surat Presiden RI R-35/Pres/06/2015. Pemerintah memulai kembali pembahasan RKUHP dengan DPR. Jokowi memberi deadline pengesahan dua tahun. Yakni, harus bisa disahkan pada 2017. Deadline meleset. Target pengesahan diubah: sebelum 14 Februari 2018. Tapi menuai polemik. Protes tak hanya datang dari sipil dan praktisi hukum. Tapi juga dari MK dan KPK. Pengesahan ditunda lagi. Lalu, pada 30 Mei 2018 dilakukan pembahasan kembali. Setelah itu, tenggelam. Selama 1,5 tahun tidak ada bahasan lagi. Tiba-tiba, pada Sabtu 14 September 2019 dan Minggunya, dilakukan rapat tertutup. Di Hotel Fairmont Senayan, Jakarta. Gelombang protes pun datang. Antara lain dari Institute for Criminal and Justice Reform dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Rapat tertutup itu jadi sorotan. Bahkan rapat itu, tak ada dalam jadwal DPR. Rapat dinilai banyak kejanggalan. Di antaranya, pembahasan tenggelam satu setengah tahun. Tiba-tiba dilanjutkan tanpa melibatkan publik. Tak ada dalam jadwal. Dilakukan hari libur: Sabtu dan Minggu. Dilaksanakan tertutup. Di hotel. Pembahasan terakhir, 30 Mei 2018. Bahkan, akses informasi dan dokumen hasil rapat tidak terbuka. Publik sama sekali tidak bisa mengaksesnya. Namun, secara mengejutkan muncul rencana pengesahan RKUHP. Akses publik dibuka. Ternyata banyak pasal-pasal kontroversial. Tak terkecuali pasal yang mengancam kebebasan pers. Begitu juga pasal yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi tahun 2016. Yakni, tentang penghinaan presiden. Publik minta pengesahan ditunda. Gelombang protes datang. Mahasiswa melakukan unjuk rasa. Dimana-mana. Di seluruh Indonesia. Korban berjatuhan. Darah tercecer di jalan. Dua nyawa mahasiswa melayang. Kalau dihitung sejak 1963, gong perumusan KUHP versi racikan Indonesia. Maka, tapak jejak perjalanan RKUHP ini telah memakan waktu. Selama 56 tahun. Jokowi meminta DPR menunda pengesahan. Senin, 30 September 2019, rapat paripurna terakhir digelar. Salah satu agendanya: memutuskan nasib RKUHP. Ditunda. Atau disahkan. (rap/diolah dari pelbagai sumber)
Derap Jejak RKUHP
Jumat 04-10-2019,19:55 WIB
Editor : Benny
Kategori :