Saksi Meringankan Terdakwa Rasuah PT AKU: “Saya Tidak Tahu Kasus Apa”

Selasa 02-03-2021,09:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Dua terdakwa kasus dugaan rasuah di tubuh PT Agro Kaltim Utama atau PT AKU, memanggil seorang saksi meringankan dalam sidang. Namun saksi tersebut ternyata tak mendapat penjelasan, kasus apa yang menimpa para terdakwa.

nomorsatukaltim.com - SAKSI yang dipanggil tersebut adalah Priya Djatmika. Dosen hukum dari Universitas Brawijaya Malang, dengan konsentrasi hukum pidana, kriminologi, dan sistem peradilan pidana. Ia diminta menjadi saksi ahli meringankan dalam lanjutan persidangan PT AKU di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Samarinda, Senin (1/3/2021) yang berlangsung via daring. Kedua terdakwa, mantan Direktur Utama PT AKU Yanuar, dan mantan Direktur Umum Nuriyanto, juga dihadirkan secara virtual dari tempat mereka ditahan. Persidangan pun dibuka oleh Ketua Majelis Hakim Hongkun Ottoh, dan Abdul Rahman Karim serta Aswin Kusmanta selaku hakim anggota. Persidangan diawali dengan pertanyaan dari kuasa hukum terdakwa, Supiyatno kepada saksi ahli meringankan tersebut. Kepada ahli, kuasa hukum menanyakan perbedaan pasal 2 dan 3 di Undang-Undang (UU) Tipikor. Priya mengatakan, pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 menyatakan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. "Pada pasal 2 itu, bisa orang perorangan atau korporasi," sambungnya. Baca juga: Sidang PT AKU, 2 Terdakwa Minta Perpanjangan Waktu Kemudian, Priya menjelaskan pasal 3 yang berbunyi, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. "Nah, pada pasal 3 ini, hanya orang perorangan saja, korporasi tidak mempunyai kewenangan, tidak punya jabatan," ucapnya. "Jadi pasal 3 ini harus pejabat publik atau orang yang diberikan jabatan publik yang menyalahgunakan jabatannya," paparnya. Priya mengungkapkan, pada pasal 2 UU Tipikor itu, ada perbuatan harus memperkaya diri sendiri. Artinya, ada tambahan kekayaan dari orang lain atau korporasi. "Jadi tambahan kekayaan itu ada dua. Pertama, tambahan kekayaan yang legal misalnya bekerja, sedangkan pada pasal 2 itu harus melawan hukum dari aturan yang ada untuk memperkaya diri sendiri atau korporasi," katanya. Priya menjelaskan, pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25 Tahun 2016, sebelum seseorang disangkakan korupsi, maka harus ada kerugian keuangan negara. Berapa kerugian negara itu ada pada Putusan MK Nomor 30 Tahun 2013. Beberapa lembaga bisa menghitung kerugian itu. Seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kejaksaan, atau inspektorat jenderal. "Tapi harus dinyatakan dulu kerugian keuangan negara riilnya berapa, kerugian keuangan negara dari perbuatan melawan hukum, dan apa yang menyebabkan kerugian negara itu," tegasnya. Dijelaskan pula pada pasal 3, penyalahgunaan kewenangan berarti harus punya jabatan, pengertiannya sama dengan kerugian negara. Baca juga: Sidang Korupsi PT AKU, Mantan Karyawan PT Dwi Palma Lestari Bersaksi Keuangan negara, lanjut saksi ahli Priya, adalah segala kekayaan yang terpisah ataupun tidak terpisah dan dalam penguasaan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban pejabat tingkat pusat ataupun daerah, dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yayasan, atau korporasi yang dapat modal dari negara. Kuasa hukum terdakwa, Supiyatno kembali bertanya kepada saksi ahli. Ia menanyakan unsur-unsur apa yang ada pada pasal 2 dan pasal 3. "Itu pasal 2 dan pasal 3, bagaimana jika salah satu unsur tidak memenuhi untuk memperkaya diri sendiri? Bagaimana pendapat ahli? Apakah bersifat alternatif atau salah satu unsur saja ataukah semua unsur?" tanyanya. Priya menjawab, bisa semua unsur, bisa pula alternatif. Misalnya tidak memperkaya diri sendiri atau orang lain ataupun korporasi, tidak kesemuanya, atau memperkaya diri sendiri. Begitu juga dengan pasal 3. Kuasa hukum kembali bertanya, dari fakta persidangan pada berita acara pemeriksaan (BAP) tertulis piutang yang tidak dibayarkan. “Apakah kerugian negara dapat dikatakan piutang terlebih dahulu atau harus kerugian negara? Karena pada BAP tercatat piutang dan dilakukan oleh perusda (Perusahaan Daerah),” ujar Supiyatno. Priya menjelaskan, pada Putusan MK Nomor 25 Tahun 2016 menjelaskan, kata “dapat” dihapus dari pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor, karena berpotensi menimbulkan kekacauan hukum. Dijelaskannya, sebelum putusan MK tersebut, pasal ini membuat perbuatan yang masih belum muncul kerugiannya tapi dianggap berpotensi merugikan negara, dapat dijerat UU Tipikor. Jadi tidak menjamin kemajuan hukum dan tak sesuai dengan konstitusi negara. Baca juga: Saksi Ahli Yakin PT AKU Rugikan Negara Dengan putusan MK tersebut,  delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah menjadi delik materil yang mensyaratkan ada akibat, yakni unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata.  “Kalau itu kerugian keuangan negara itu riil, jadi bukan piutang. Sedangkan piutang itu bisa ditagih, jadi perbuatan melawan hukumnya tidak ada,” jelasnya. "Nah, jadi setelah dihitung kerugian keuangan negara oleh BPK, BPKP, kejaksaan atau inspektorat jenderal, ternyata ada kerugian keuangan negara riil dari sebuah proyek, pengadaan yang memperkaya diri orang lain, dan menimbulkan kerugian keuangan negara, baru ditersangkakan atau didakwa sebagai koruptor," paparnya "Tapi kalau piutang bukan kerugian keuangan negara, karena ada potensi untuk dibayar," ucapnya. Kuasa hukum, Supiyatno kembali mempertanyakan yang bertanggung jawab, jika seandainya ada kerugian negara ketika kedua terdakwa sebagai pucuk pimpinan PT AKU. “Jika terjadi seperti itu, maka tergantung perbuatan materil dalam hukum pidana itu siapa yang teledor. Dari berbagai sumber mengatakan, pelaku adalah yang menyelesaikan semua unsur tindak pidana oleh dirinya sendiri, dan jika ada yang dengan sengaja ikut serta melakukan tindak pidana dan mengetahuinya dan menemukan kesepakatan untuk melakukan bersama, maka menjadi pelaku penyerta,” jawab saksi ahli. Majelis hakim turut memberikan waktu kepada jaksa penuntut umum (JPU) untuk mengemukakan pertanyaan kepada saksi ahli dari terdakwa. JPU dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim, Zaenurofiq mempertanyakan statement saksi ahli terkait perhitungan kerugian keuangan negara. "Penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh BPKP, saudara menyebutkan kerugian keuangan negara itu diawali oleh perubahan melawan hukum tanpa ada ketetapan hukum, maka tidak kerugian keuangan negara?" tanya Rofiq. "Loh, perbuatan melawan hukum itu menimbulkan kerugian keuangan negara. Kalau tidak ada kerugian, maka tidak terpenuhi unsur pasal 2 maupun pasal 3," tegas saksi ahli. Baca juga: Sidang Korupsi PT AKU, Saksi Ahli: Ada Ketentuan yang Dilanggar “Kalau ada kerugian negara dan sudah dihitung oleh lembaga yang berwenang, secara otomatis itu sudah perbuatan melawan hukum," kata Rofiq. "Apakah bapak tahu perbuatan hukum yang dilakukan kedua terdakwa ini?" tanyanya. "Oh, saya tidak tahu, saya bukan saksi fakta," jelas Priya. "Jadi bapak hanya menginterpretasi bahwa piutang itu bukan tindak pidana tetapi sesuatu yang dapat ditagih, dan terjadinya piutang bagaimana bapak tidak tahu?" tanya Rofiq kembali. Priya menjawab singkat, "Iya, saya tidak tahu.” Ditambahkannya, perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi itu riil ada tambahan kekayaan. JPU mengatakan kepada ahli, jika itu masuk ke dalam rekening perorangan atau korporasi itu riil. Priya menjelaskan, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016, apabila korporasi dibuat kaya maka korporasi dapat juga dipidanakan. JPU Zaenurofiq pun menyudahi untuk bertanya lebih jauh, dikarenakan saksi ahli yang dihadirkan oleh terdakwa untuk meringankan tidak mengetahui mengenai kasus pada persidangan ini. Ketua majelis hakim kembali bertanya kepada saksi ahli. "Ketika saudara dihubungi oleh pihak terdakwa, apakah diberikan gambaran terkait kasus ini?" tanyanya. "Saya hanya diberikan pertanyaan seperti pertanyaan tadi, lalu saya menyiapkan jawabannya," jawabnya. "jadi tidak dijelaskan ya?" tanya Hongkun Ottoh. Tidak, Yang Mulia," singkat Priya. Ketua majelis hakim kemudian bertanya gambaran kasus yang menjerat kedua terdakwa. Namun saksi ahli yang memberikan keterangan mengatakan tidak mengetahui kasus tersebut. Majelis hakim pun memberikan kesempatan kepada kedua terdakwa untuk bertanya kepada saksi ahli terkait kasus yang mereka hadapi. Terdakwa menjelaskan kasus yang sedang mereka hadapi dengan segala fakta yang dirasa benar oleh mereka. "Apakah kami salah jika kami melakukan pengalihan dana?" ujar terdakwa. “Tergantung dari kesepakatan sejauh mana ketika menerima bantuan itu kewenangan bertindak. Jika ada kewenangan bertindak untuk membangun perusahaan itu sah saja, namun jika tidak ada kewenangan untuk memutuskan sendiri di luar dari kesepakatan, maka itu disebut penyalahgunaan kewenangan," paparnya. Baca juga: Laporan Keuangan PT AKU Pernah Raih WTP Setelah dijawab oleh saksi ahli yang meringankan, majelis hakim kembali mempersilakan kepada terdakwa, kuasa hukum, serta JPU jika ingin kembali memberikan pertanyaan. Namun tidak ada pertanyaan tambahan dari seluruh peserta yang beracara pada persidangan. Hongkun Ottoh sebagai ketua majelis hakim kemudian mengetuk palu sidang menutup persidangan. Sidang akan kembali dilanjutkan pekan depan, Senin (8/3/2021) dengan agenda pemeriksaan kedua terdakwa. Hakim menjelaskan, pada persidangan pekan depan, kedua terdakwa diperiksa masing-masing dan saling menjadi saksi. (bdp/zul)
Tags :
Kategori :

Terkait