BRI Proyeksikan Turun 25 Bps, Respons Penurunan Suku Bunga BI

Sabtu 27-02-2021,20:16 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia juga akan diikuti oleh turunnya suku bunga oleh perbankan nasional. Salah satunya adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Yang terus mentransmisi penurunan suku bunga kredit untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional.

Sepanjang 2020 lalu BRI telah menurunkan 75 basis poin (bps)–150 bps. Bahkan khusus untuk restrukturisasi keringanan suku bunga, BRI menurunkan antara 300 bps–500 bps. Penurunan suku bunga ini salah satunya disebabkan oleh penurunan biaya dana (cost of fund). Di mana hingga akhir Desember 2020 COF BRI tercatat sebesar 3,22 persen. Turun sebanyak 36 basis poin dibandingkan dengan COF BRI pada akhir Desember 2019. Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto mengatakan, BRI terus mereview suku bunga secara berkala dan terus membuka ruang penurunan suku bunga. “Tahun ini kami proyeksikan akan dilakukan penurunan suku bunga sebesar 25 bps mengikuti penurunan BI 7 Days Repo Rate,” kata dia, dalam keterangan persnya, Selasa (23/2/2021) lalu. Aestika juga menjelaskan, untuk meningkatkan pertumbuhan kredit, penurunan suku bunga pinjaman bukan menjadi satu-satunya variabel. Berdasarkan perhitungan model ekonometrika, variabel paling sensitif atau elastisitasnya paling tinggi terhadap pertumbuhan kredit adalah konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat. Oleh karenanya, BRI berkomitmen untuk terus menjadi mitra strategis pemerintah. Dalam kaitannya dalam penyaluran berbagai stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Agar meningkatkan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat. Yang pada ujungnya diharapkan mampu mengerek demand kredit. Hal senada diungkapkan Pemimpin Cabang BRI Samarinda I Triwidi Atmoko. Kata Triwidi, menurunkan suku bunga pinjaman memerlukan waktu. Karena urutannya, kata Triwidi, ketika suku bunga acuan BI turun maka penurunan pertama yakni bunga deposito. Kemudian baru suku bunga pinjaman. "Memang agak melambat penurunan kreditnya. Ada hal yang extra ordinary karena pandemi. Pada situasi pandemi permintaan lemah, daya beli masyarakat terbatas,” kata Triwidi, Rabu (24/2/2021). Menurutnya, penurunan suku bunga kredit memang diperlukan. Tetapi hal itu tidak cukup. Dan bukan faktor utama dalam mendorong pertumbuhan kredit. Triwidi menjelaskan, pertumbuhan kredit dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat, suku bunga, kualitas kredit yang tercermin dari Non Performing Loan (NPL) dan penjualan eceran. Triwidi memberikan contoh. Jika konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat tidak kuat. Maka secara otomatis, hal yang sama juga terjadi. Yakni, tidak kuatnya usaha penyaluran kredit. Meskipun perbankan sudah menurunkan suku bunga. Ia mengungkapkan, ada dampak positif adanya kebijakan pemangkasan suku bunga BI. Yaitu, pemulihan ekonomi Indonesia. "Dengan itu, perbankan akan segera mentransmisikan penurunan suku bunga acuan ke suku bunga kredit," ujarnya. Penurunan suku bunga kredit itu juga diakui Triwidi bisa mendongkrak pertumbuhan kredit. Karena tantangan yang dihadapi bukan masalah likuiditas. Oleh karena itu, pemangkasan suku bunga acuan oleh BI, disebut Triwidi akan segera diikuti. Sebab, yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian saat ini adalah meningkatkan penyaluran pembiayaan usaha. "Kalau nanti ada peluang penurunan suku bunga tantangannya secepat mungkin kita transmisikan ke sektor riil dalam bentuk penurunan suku bungan kredit yang kita kolaborasikan," tandasnya. Triwidi menegaskan, penurunan suku bunga di tiap cabang juga bergantung pada BRI pusat. Ulasannya pun beragam. Bisa naik, bisa turun, bisa juga tetap. Namun, melihat tren yang ada ia menyebut suku bunga perbankan otomatis akan turun. Walaupun ada beberapa hal sensitif seperti bunga simpanan. "Tidak serta merta (penurunan suku bunga pinjaman), bisa 2 sampai 3 bulan (baru terjadi)," katanya. Mengenai itu, program yang sudah dilakukan BRI ialah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Di mana sebelum COVID-19 terjadi, suku bunga KUR hanya 6 persen. Dan nilai itu tetap sama hingga kini. Disampaikan Triwidi lagi, pemerintah juga memberikan stimulus lainnya untuk bidang usaha. Yakni, dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). "Untuk mempercepat, awal-awal kena dampak COVID-19. Di Februari dan Maret 2020, itu stuck. Karena semuanya masih wait and see waktu itu. Dan (itu) restrukturisasi kredit," ucapnya. Restrukturisasi kredit juga dilakukan berdasarkan instruksi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pemangku kebijakan. Dan permintaan dari regulator. Sekali lagi. Katanya, tujuannya untuk mengurangi dampak ekonomi yang menurun karena pandemi. Baik secara langsung. Maupun tidak langsung. "Sebagai catatan, kalau BRI, semasa pandemi pun kita tidak setop landing. Mungkin ada beberapa perbankan yang selektif, tapi di kita (BRI) begitu caranya. Karena demand sebelumnya tidak sama," pungkasnya.  Soroti Selisih SBDK dengan BI7DRRR Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyebut perekonomian menjadi tidak kondusif jika mencermati perbankan lamban dalam menurunkan bunga kredit. Meski bank sentral sudah menurunkan suku bunga acuan (BI7DRRR) yang saat ini mencapai 3,5 persen. “Artinya bank-bank mencoba mendapat keuntungan yang lebih di saat seperti ini,” kata Asisten Gubernur BI Juda Agung dalam taklimat media secara virtual di Jakarta, pekan lalu. Ia menyoroti melebarnya spread atau selisih antara suku bunga acuan atau BI Seven Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) dengan suku bunga dasar kredit (SBDK). Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial ini menambahkan, spread SBDK terhadap BI7DRRR cenderung melebar dari sebesar 5,27 persen pada Juni 2019 menjadi 6,36 persen pada Desember 2020. Pada saat itu, suku bunga acuan BI mencapai 3,75 persen, sedangkan SBDK perbankan mencapai 10,11 persen. Dalam paparannya, Juda menjelaskan perbankan baru menurunkan total 116 basis poin SBDK. Sedangkan BI sudah menurunkan bunga acuan sebesar 225 basis poin sejak Juni 2019. “Yang terjadi justru spread ini mengalami kenaikan sehingga ini salah satu faktor mengapa orang masih ragu-ragu meminta kredit dari perbankan karena suku bunganya masih cukup tinggi,” katanya. Berdasarkan kelompok bank, bank BUMN, lanjut dia, merupakan bank yang responsnya paling kaku. Dengan besaran SBDK paling tinggi mencapai 10,79 persen pada Desember 2020 dibandingkan pada Juni 2019 mencapai 11,67 persen. Kemudian, BPD mencapai 9,80 persen dibandingkan posisi Juni 2019 mencapai 10,58 persen. Bank umum swasta nasional 9,67 persen dibandingkan Juni 2019 mencapai 10,87 persen. Sedangkan SBDK kantor cabang bank asing, kata dia, yang paling responsif terhadap penurunan suku bunga acuan BI dengan SBDK mencapai 6,17 persen dari posisi sebelumnya mencapai 9,01 persen. Padahal, lanjut dia, terkait biaya-biaya yang menentukan suku bunga, sudah turun salah satu di antaranya adalah biaya overhead perbankan. “Kita harap bank-bank merespons dengan lebih cepat, oleh sebab itu transparansi suku bunga, upaya kita kan mendorong bank lebih responsif dalam merespon kebijakan BI,” katanya. Di sisi lain, ketika BI menurunkan suku bunga acuan, Juda mengamati perbankan paling cepat menurunkan suku bunga deposito. “Itu suku bunga deposito hampir sama (besaran) penurunannya, jadi sangat responsif, tapi suku bunga kreditnya yang masih sangat rigid,” imbuhnya. (nad/eny)
Tags :
Kategori :

Terkait