Berita Terkait:
Menanti Panggilan Dekat Muara Kaman
Penjelasannya begitu sering terputus. Perhatian Jumardin harus difokuskan ke depan. Menerawang di kegelapan. Lampu sorot hanya menyajikan pandangan sejauh 15 meter. Sementara ia harus berjaga-jaga bila ada batang kayu, atau material keras yang mengapung di hadapan haluan. Harus segera dihindari, agar tak menyusup ke area baling-baling dan merusaknya.
Terutama bila ada tongkang bermuatan dari arah berlawanan. Sebelumnya biasa sudah memberi isyarat dari kisaran jarak lima kilometer. Dengan komunikasi dan koordinasi melalui radio tadi. Dalam situasi demikian, masing-masing nakhoda harus segera membuat kesepakatan. Mengambil posisi kiri atau kanan. Berhenti atau berjalan pelan.
Umumnya, ketika berpapasan di alur sempit atau di wilayah yang melintasi pemukiman warga di bantaran sungai, tongkang kosong dari hilir yang mengalah. Bergeser ke pinggiran untuk memberi ruang alur pada tongkang bermuatan dari arah hulu lewat terlebih dahulu.
"Begitulah etikanya," imbuh kapten bertubuh kekar dan berambut cepak.
Sepanjang malam, Jumardin tidak bisa tenang. Ia khawatir dengan cuaca malam itu. Sedikit mendung dan berangin. Belum lagi Sungai Mahakam mengalir cukup deras. Mungkin di hulu sedang hujan, kata dia.
Kemudi pun dilimpahkan ke Azwar. Pendamping juru mudi Lisa 53. Namun, Jumardin tak meninggalkannya. Ia duduk di samping Azwar. Sambil terkadang berdiri. Ia tetap yang memberikan arahan. Dan ikut memantau. Jumardin sejatinya tetap memegang kendali kemudi kapal itu. Ia hanya meminjam tangan Azwar. Agar ia bisa fokus memperhitungkan situasi di depan. Perubahan keadaan alam. Koordinasi melalui radio dan banyak variabel lainnya.
Menarik tongkang dalam keadaan arus deras dan angin kencang memiliki bahaya tersendiri. Gumpalan besi mengapung yang ditarik itu bisa melayang ke sana kemari. Selain mesin harus bekerja keras melawan derasnya arus. Dan tentu jadi lebih lambat. Pekerjaan berat juga harus diderita juru mudi. Karena harus selalu menoleh ke belakang. Memeriksa keadaan tongkang dengan pandangan. Namun juga harus tetap fokus ke depan.
Yang paling ditakutkan Jumardin malam itu adalah kabut. Juga banyaknya batang kayu yang hanyut. Yang mesti dihindari. Namun ketika kabut, tak ada lagi pilihan selain menepi. Dan menambatkan Lisa 53 beserta tongkang pasangannya: Lintas Samudera 68 di sisi Sungai Mahakam.
"Kalau sudah kabut turun. Kita tidak bisa melihat apapun yang ada di sekeliling. Bahkan haluan kapal saja tidak terlihat. Apalagi tongkang di belakang," kata Jumardin lagi.
Berlayar mengandalkan radar GPS mirip berjudi. Mempertaruhkan hidup dan mati. Oleh karena itu "kita lihat keadaan nanti. Kalau mulai kabut, langsung cari tempat tambat," kata Jumardin kepada Azwar yang tangannya memutar kemudi kiri-kanan.
Suara dari radio seperti tidak mau berhenti bersahutan. Saat radar GPS menunjukkan posisi tugboat gandeng berada di wilayah Separi. Ada sungai di wilayah itu yang menikung cukup tajam. Dalam skala level tikungan alur mahakam. Posisinya persis satu tikungan sebelum tikungan tajam di Sebulu.
Kondisi saat itu, ada tiga tugboat gandeng dari hilir yang tanpa muatan. Dan dua tongkang berisi batu bara dari hulu. Azwar menarik tukai gas engine. Untuk segera memelankan kapal dan mengarahkan haluan ke pinggir. Sambil kapten Jumardin terus berkoordinasi melalui Radio dengan empat tugboat lainnya.
Kondisi alur yang sempit dan menikung mengharuskan tongkang mengantre untuk melaluinya. "Kalau bersamaan masuk di sini, bisa tabrakan tongkang," ucap Azwar, ketika itu.