Kata Pengamat soal Pernyataan Isran: Representasi Kepala Daerah

Jumat 05-02-2021,13:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Pengamat Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah turut merespons kritik yang disampaikan Gubernur Kaltim, Isran Noor terkait Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Karena dinilai banyak mengambil alih kewenangan pemerintah daerah.

"Poinnya, saya setuju dengan apa yang disampaikan pak gubernur. Saya menangkap pernyataannya itu sebagai curhat yang merepresentasikan protes kepala-kepala daerah di Indonesia," ujar Herdi kepada Disway Kaltim dan nomorsatukaltim.com, Kamis (4/2/2021). Terutama, lanjut dia, menyangkut kewenangan daerah yang di -takeover pemerintah pusat. Pria yang karib disapa Castro ini juga menilai, pembagian kewenangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, kini cenderung bergerak makin sentralistik. Yang ditandai dengan dipangkasnya kewenangan daerah. "Padahal semangat reformasi itu adalah semangat otonomi daerah sebagaimana perintah pasal 18 UUD," tegasnya. Iya juga mengkritik dengan keras. Bahwa memangkas kewenangan daerah, sama saja dengan contempt of constitution atau menghina amanah konstitusi. UU Cipta Kerja juga dinilai menciderai semangat  otonomi daerah. Banyak sektor yang kini diambil dari tangan pemerintah daerah. Di antaranya seperti pertambangan, perkebunan, sumber daya air, pesisir dan pulau kecil, penaataan ruang, hingga ke soal lingkungan hidup. Tinggal kewenangan yang tidak berkaitan dengan investasi. Seperti pendidikan dan kesehatan yang masih tersisa di daerah Hal ini, menyebabkan potensi kehilangan pendapatan yang sangat besar dari pemangkasan perizinan di daerah. Karena penarikan kewenangan bermakna hilangnya anggaran terhadap kewenangan yang selama ini dikelola daerah. Di depan para Ahli Hukum Tata Negara Rabu (3/2/2021) lalu, Isran Noor mendorong perbaikan konstitusi melalui kajian ilmiah fundamental. Hal ini sebagai upaya perbaikan sistem yang mampu membagi kewenangan pemerintah pusat dan daerah secara proporsional. Menurut politisi Demokrat itu, Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, adat, bahasa, dan kesenian. Serta luas wilayah yang dipisah oleh pulau dan laut. Harus memiliki ciri khas ketatanegaraan. "Saya sampaikan di sini, kita butuh perbaikan. Tidak perlu takut untuk menyampaikan, selama benar akan saya dukung," katanya dalam Seminar Nasional dengan tema Penguatan Sistem Perundang-undangan dan Hubungan Pusat dan Daerah, yang diselenggarakan Ahli Hukum Tata Negara. Ia menilai Indonesia perlu mencontoh negara federal dalam sistem pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Sistem negara federal, seperti Malaysia, Australia, dan Amerika Serikat dinilai ideal diterapkan di Indonesia karena memberi kewenangan khusus kepada pemerintah daerah untuk menjalankan sistem pemerintahan. "Kesannya kita anti negara federal, padahal kita (juga) punya kewenangan daerah masing-masing (yang mirip sistem federal). Karena ada sebuah perbedaan yang tidak simetris antar daerah di Indonesia yang luas ini," kata Isran di depan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara - Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN). "Perlu kita mengadopsi, mempelajari, atau menerapkan itu. Kalau tidak mau disebut federal, ya sebut apa saja. Yang penting, ada kewenangan di daerah yang memang  tahu persis kondisi kedaerahannya," sambungnya. Hal ini, sekaligus merespons kebijakan pemerintah pusat, yang mengambil alih beberapa kewenangan di daerah. Isran juga mengkritisi, kebijakan pemerintah pusat yang selalu mengubah kebijakan dalam pembagian kewenangan antar pemerintah pusat dan daerah. Di awal masa kemerdekaan dulu, Indonesia pernah menerapkan sistem federal. Republik Indonesia Serikat (RIS) sejak tahun 1949 hingga 1950. Yang membagi wilayah Indonesia ke dalam 7 negara bagian. Namun, akhirnya sistem itu tak dilanjutkan dan Indonesia kembali ke dalam sistem negara kesatuan. Kemudian sistem pemerintahan yang sentralistik, terjadi selama 32 tahun masa orde baru. Di bawah pimpinan Soeharto. Pembagian kewenangan daerah atau desentralisasi baru terjadi pada masa reformasi. Dan, saat ini kewenangan antar pemerintah pusat dan daerah kembali mengalami perubahan. Melalui UU Cipta Kerja yang banyak mengambil alih kewenangan daerah ke pemerintah pusat. "Sekarang banyak diatur secara sentralistik. Kewenangan daerah ditarik lagi," kritiknya. Salah satunya, adalah UU Nomor 3 Tahun 2020  tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Yang men-take over seluruh pengurusan usaha pertambangan ke pemerintah pusat. Dalam transisi perubahan tersebut, Isran mengatakan akan berpotensi menciptakan  persoalan. Khususnya di Kaltim. Perizinan usaha pertambangan batu bara yang ditarik ke pusat, menurut Isran akan menyebabkan maraknya terjadi ilegal mining. Sementara, Pemda tak mampu melakukan apa pun. Karena tak memiliki payung hukum kewenangan dalam melaksanakan urusan dan pengawasan usaha pertambangan.  (krv/yos)
Tags :
Kategori :

Terkait