Pisang Kaliorang yang Kembali “Gurih”, Diekspor sampai Malaysia

Rabu 03-02-2021,11:15 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Kutai Timur, nomorsatukaltim.com - Di masa awal berdirinya Kecamatan Kaliorang. Padi, kakao, kelapa, dan pisang pernah jadi sektor unggulan. Komoditi terakhir, pernah sangat menguntungkan. Namun terpaan virus dan kelapa sawit membuat pisang jatuh ke titik nadir. Pisang dianggap tak seksi lagi. Sampai kini harganya kembali “gurih”. Dan menggoda para petani untuk merawat lagi pohon pisangnya. Kecamatan Kaliorang yang berada di Kutai Timur sejak lama menyimpan banyak potensi ekonomi. Utamanya di sektor pertanian dan perkebunan. Kawasan transmigrasi yang dulunya jadi bagian Kecamatan Sangkulirang itu terdiri dari 7 desa. Yang sentranya berada di Desa Bangun Jaya. Transmigran yang mayoritas dari Jawa Timur, Jawa Tengah, lalu ada pula dari Bali, NTB, NTT, serta Sulawesi Selatan. Diberi modal hidup berapa lahan pekarangan beserta rumahnya. Lahan basah untuk ditanami padi. Dan lahan kering. Sebagai paket dari transmigrasi itu. Lahan kering atau yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai lahan PTP itu banyak ditanami kepala dan pisang pada mulanya. Sementara lahan pekarangan ditanami kakao dan juga kopi. Sektor agraria benar-benar diandalkan di sana. Meski diberkahi tanah subur dan punya produktivitas pertanian yang tinggi. Di era 90-an sampai awal 2000-an. Akses menuju Kaliorang belum bagus-bagus amat. Untuk menuju Sangkulirang dan Bontang. Warga lebih suka menempuh jalur laut yang berangkat dan menepi lagi di Desa Kaliorang. Atau yang lazim disebut Kampung. Beras dan kopra kelapa diangkut dengan kapal untuk dijual ke Sangkulirang dan Bontang. Sementara pisang hanya berharap ada pembeli datang. Biasanya, di periode tertentu. Truk-truk pengangkut material sebelum kembali ke Samarinda akan membawa pisang dari Kaliorang. Yang mayoritas adalah jenis pisang Kepok Grecek Borneo. Saat itu harganya masih murah sekali. Rp 200 per sisirnya. Menjualnya pun cukup sulit. Karena hanya berharap mobil berukuran besar tiba di Kaliorang. Untuk membawanya ke luar. Saking buruknya akses menuju ke sana. Menjelang era 2000-an. Harga pisang melonjak naik. Menjadi Rp 400, Rp 600, Rp 800 yang cukup bertahan lama. Hingga Rp 1.000 per sisirnya. Bersamaan dengan akses jalan yang sudah mulai bisa dilalui mobil jenis pick up. Sejak saat itu, pisang mengalami masa jayanya. Ketimbang kelapa, petani setempat lebih suka merawat pohon pisangnya. Sembari menanam padi sawah juga. Tapi memasuki 2004, bencana pisang terjadi. Virus melanda. Pohon pisang menguning dan berangsur mati. Sementara yang berhasil tumbuh hingga berbuah, bagian dalam buah pisangnya rusak. Tak layak makan apalagi untuk dijual. Kemudian Pemkab Kutim pimpinan Awang Faroek Ishak saat itu sedang gencar-gencarnya menanam kelapa sawit. Momen yang bersamaan. Membuat para petani tergoda pindah ke kelapa sawit. Apalagi banyak stimulannya. Dari bibit gratis, pupuk gratis, sampai dibukakan lahan pula. Pisang-pisang mereka tebangi. Ada yang dibakar. Hanya segelintir yang mempertahankannya. Salah satunya adalah Mat Paini. Warga Desa Bumi Sejahtera ini tetap membiarkan kebun pisangnya. Yang ia tanam di atas lahan 2 hektare miliknya selama 29 tahun terakhir. Ketika pisang sedang di titik nadirnya. Ia meninggalkan kebunnya sementara waktu. Sembari merawat kelapa sawit yang ia tanam di lahan lainnya. Saat ini, Mat Paini bisa tertawa lega. Karena beberapa tahun terakhir, harga pisang kembali naik. Jadi gurih lagi. Kembali ia rawat kebunnya itu. Walau hanya sekadarnya saja. Karena tanaman pisang memang tidak memerlukan perawatan khusus seperti kelapa sawit. Tak perlu dipupuk. Tak perlu disemprot pestisida untuk memberangus gulma. Hanya sesekali dipotong pelepah tuanya dan mengambil jantung pisang yang cukup usia saja. Kini pisang Kaliorang dihargai Rp 3.000-5.000 per sisirnya. Dari lahan 2 hektarenya itu. Mat Paini bisa menghasilkan 1.500 sisir dalam sebulan. Maka kalkulasinya, ia bisa meraup pendapatan Rp 4,5-7,5 juta sebulan. Rerata, Paini bilang bisa meraup Rp 6 juta dalam sebulan. Lebih besar dari pendapatan menanam kelapa sawit yang butuh banyak tenaga dan biaya perawatan itu. “Pisang ini tidak ada musimnya. Kalau berbuah ya dipanen,” ucap Paini. Walau harga pisang sudah bagus. Tapi diakuinya naik turun harga tetap terjadi. Tergantung pasokan dari daerah lain juga. Dan tinggi rendahnya permintaan dari kawasan perkotaan seperti Samarinda dan Sangatta. Biasanya, harga pisang jadi rendah usai Ramadan. Permintaan anjlok drastis. Harga pun ikut turun. Tapi satu atau dua bulan setelahnya, harga kembali naik lagi. “Tapi saya jual mengikuti harga saja. Dan habis bulan puasa biasanya jadi Rp 3.000 satu sisirnya,” ungkapnya. Selain itu, ketika masuk musim hujan juga memengaruhi pendapatan. Sebab, batang pohon jadi kurus. Akibatnya, buah pun menjadi kempes dan lembek. Kalau sudah begitu, Paini enggan menjualnya. Karena tak enak dengan pembeli. “Ya dibiarkan begitu saja sampai busuk,” tuturnya. Selain dua hal di atas. Mat Paini mengaku tak memiliki kendala berarti. Untuk perawatan, total, ia hanya ke kebun pisangnya 5 kali dalam sebulan. Untuk merawat sekadarnya. “Jadi memang tidak sulit merawat kebun pisang sebenarnya,” ungkapnya. Dirinya menjamin jika akan terus berkebun pisang. Dirinya sama sekali tak tergiur untuk mengubah lahannya menjadi kebun sawit. Atau akan menjual ke perusahaan. Sebab ia menilai berkebun pisang masih sangat menguntungkan. “Insyaallah saya akan terus berkebun pisang,” ucapnya.

Banyak yang Tanam Pisang Lagi

PEKEBUN pisang di Kaliorang seperti Mat Paini sekarang tidak sulit lagi memasarkan pisangnya. Pekebun cukup menebang saja. Karena setelahnya, sudah ada pengepul yang mengangkut pisangnya hingga ke jalan raya. Yang selanjutnya dijual ke tengkulak dari luar daerah. Peran pengepul ini banyak dilakoni pemuda-pemuda setempat. Salah satunya Agus Budiarto. Sarjana pendidikan biologi ini memilih pulang kampung dan menjadi petani selepas kuliah. Lalu ia melihat apa yang jadi kekurangan. Soal sulitnya pekebun pisang menjajakan hasil panennya. Kesulitan itu tak ubahnya jadi peluang tersendiri. Ia berinisiatif menjadi pengepul. Tugasnya terbilang susah-susah gampang. Ia mengambil pisang dari kebun. Yang letak dan aksesnya jangan dibayangkan sulitnya. Hal itulah yang membuat tengkulak luar daerah enggan membeli pisang. Jika harus mengambilnya langsung ke kebun. Agus sendiri mengambil pisang itu menggunakan gerobak yang ditarik sapi. Pengepul lain ada pula yang menggunakan gerobak yang ditarik mesin traktor. Usai mengangkut keluar. Agus menghubungi tengkulak untuk mengambilnya. Tentu dengan jumlah minimal yang bisa diangkut tengkulak. Sebelum ada pengepul, jumlah minimal ini jadi kendala berarti buat pekebun. Karena mereka tidak bisa menjamin jumlah minimal muatan mobil tengkulak. Yang berkisar 2.000-3.000 sisir setiap angkut. Untuk mobil jenis pick up. “Saya hanya ingin membantu petani untuk memasarkan hasil panennya saja. Karena distributor ini maunya bersihnya saja. Tinggal angkut. Sementara hasil dari petani terkadang tidak sesuai dengan jumlah muatan,” jelasnya. Soal ke mana pisang Kaliorang beredar. Sepanjang yang dilayani Agus adalah tengkulak asal Sangatta, Bontang, Samarinda, dan Balikpapan. Paling sering adalah dari Samarinda. Yang dijual lagi di Pasar Segiri Samarinda. Dalam sehari, Agus rutin mengeluarkan pisang dari kebun berkisar 1.000 sisir. Rerata dalam sebulan ia mampu menjualkan pisang pekebun sebanyak 30.000 sisir. Itu ia dapatkan dari pekebun pisang di desanya saja. Kalau mengambil pisang dari desa lainnya, bisa jauh lebih banyak. Tapi memiliki risiko yang lebih besar juga. Selain menyita lebih banyak tenaga. Sesekali permintaan juga datang dari luar provinsi. Yakni Banjarmasin.“Bahkan pernah ada permintaan dari pedagang Malaysia. Tapi itu tidak rutin,” ungkap Agus. Adanya permintaan dari Malaysia ini jadi bukti jika kualitas pisang Kaliorang sangat bagus. Jika memesan, eksportir ke Malaysia ini membutuhkan sampai 20.000 sisir sekali angkut. Tetapi Agus tak bisa memenuhi itu terus-menerus. Maka disiapkan pula pisang dari desa lain di Kaliorang. “Saya sanggup hanya 10.000 sisir saja. Sisanya diambil lagi dari desa lain,” paparnya. Dan untuk menyediakan permintaan dari Malaysia itu. Terbilang berat. Maka Agus memilih untuk fokus melayani pasar lokal saja. Melihat geliat pisang belakangan ini. Banyak pekebun yang mengubah lahan kelapa sawitnya jadi kebun pisang lagi. Penyebabnya belum diketahui persis. Apakah faktor harga, atau tingginya perawatan kelapa sawit. Yang jelas, pisang Kepok Grecek Borneo asal Kaliorang ini benar-benar jadi primadona lagi. Agus pun yakin jika potensi pisang di Kaliorang ini sangat menjanjikan. Untuk jangka waktu yang cukup panjang. Termasuk pula bagi dirinya. Yang walau margin keuntungannya tidak terlalu besar. Tapi tetap cukup menjanjikan. Karena bisa meraup penghasilan kotor hingga belasan juta tiap bulannya. Agus menegaskan bahwa lakonnya kini tidak didasari pada besar kecilnya profit saja. Tapi lebih untuk memberdayakan pekebun pisang di desanya saja.“Pekebun juga terbantu. Karena hasil panen jumlahnya tidak pasti. Itu tidak bisa dipaksakan,” bebernya. Dirinya menggaransi, jika pembayaran kepada petani selalu lancar. Meskipun dirinya harus membayar duluan. Karena pembayaran dari distributor kerap dilakukan dengan sistem jatuh tempo. Untungnya tidak ada distributor yang membayar hingga menumpuk. “Mereka (distributor) kadang bayar kas. Bisa juga lewat transfer,” sebutnya.

Peluang Produk Olahan

TINGGINYA potensi pisang di Kaliorang juga diintip sebagai peluang usaha lain. Seorang tokoh pemuda Desa Bangun Jaya, Anjar Widiyantoro mencoba membuat produk olahan pisang. Bersama rekan-rekannya, ia membuat keripik pisang aneka rasa. Walaupun belum terlihat hasilnya, tapi ini langkah bagus. Bukan tak mungkin idenya ini bakal mewabah di Desa Bangun Jaya. Sehingga nilai ekonomis pisang bisa terdongkrak. Ia memang akrab dengan pisang. Pernah jadi petani pisang, pernah juga jadi pengepul. Namun kini dirinya mencoba langkah lain dengan membuat keripik pisang. Naik turun komoditi pisang di Kaliorang benar-benar dirasakannya. Dahulu, Desa Bangun Jaya adalah sentra penghasil pisang kepok. Walaupun sekitar 1992 akses jalan menuju Kaliorang sangat susah. Tetapi hasil panen petani selalu laris manis di pasaran. “Bahkan dulu pedagang dari Jawa, khususnya Surabaya rutin memesan pisang dari desa kami,” ucap Anjar. Ia terbilang khatam soal perjalanan komoditi pisang di Kaliorang. Yang walau masih menyimpan kesal. Karena saat pisang terpuruk saat itu. Pemerintah memilih beralih ke kelapa sawit dengan segala bantuannya itu. Ketimbang mencarikan solusi untuk memulihkan kembali perkebunan pisang. Tapi ia bilang itu hanya cerita lalu. Kini yang sedang ia perjuangkan adalah bagaimana pisang Kaliorang tak dijual dalam bentuk mentahannya saja. Selain dibuat keripik. Disebutnya pisang bisa diolah menjadi tepung. “Menjadi sentra komoditi pisang. Maka seharusnya kami tak hanya menjual pisang mentah saja,” ucapnya. Sementara tepung pisang adalah bahan utama untuk dibuat makanan bayi pengganti ASI. Pisang ekspor ke Malaysia itu kabarnya dibuat jadi tepung pisang. Kemudian dibawa ke pabrik untuk dibuat menjadi makanan bayi. “Jadi produk turunan untuk bubur bayi. Harusnya itu jadi pertimbangan pemerintah juga untuk mengolah pisang ini,” katanya. Ia bahkan berkelakar. Bahwa jangan sampai pisang dari Kaliorang dijual ke Malaysia. Lalu dibuat tepung, jadi makanan instan bayi. Dan produknya dijual lagi ke Kaliorang. Menurutnya itu tidak lucu sama sekali. “Saya ingin di sini bisa juga menyiapkan berbagai kebutuhan untuk produk olahan pisang,” bebernya. Kabarnya sudah ada beberapa pekebun yang diikutkan pelatihan UMKM. Tetapi ia belum melihat hasil nyatanya. Karena mereka masih menjual pisang mentah saja. Padahal produk olahan ini bisa mendongkrak nilai ekonomis pisang itu sendiri. Menurut Anjar itu adalah peran pemerintah. “Sehingga petani dapat mengembangkan potensi pisang. Apalagi potensinya sangat tersedia. Tinggal bagaimana bisa lebih dikembangkan saja lagi,” tandasnya. (Hafidz Prasetiyo/ava/eny)
Tags :
Kategori :

Terkait