Lambat ke Faskes Sebabkan Angka Kematian di Berau Naik

Sabtu 16-01-2021,09:49 WIB
Reporter : admin3 diskal
Editor : admin3 diskal

TANJUNG REDEB, DISWAY – Kasus kematian akibat COVID-19 di Berau, meningkat. Bahkan, Januari sudah 6 orang meninggal dunia. Rata-rata penyebabnya lantaran terlambat dirujuk ke fasilitas kesehatan (faskes).

Yang jelas, itu terjadi bukan karena lambatnya penanganan medis di faskes. Tapi karena, masyarakat yang terlambat menyadari kondisinya telah terpapar COVID-19. Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan Berau, Iswahyudi. “Ada yang datang sudah dalam kondisi tak sadarkan diri,” ujarnya kepada Disway Berau, Jumat (15/1). Meski demikian, Iswahyudi tak menyebut secara detail kasus kematian mana, yang pasiennya lambat ke faskes. Keterlambatan itu diduga, karena masyarakat masih banyak yang takut untuk berobat, dengan alasan takut di-COVID-kan. Padahal, dari beberapa kasus keterlambatan, pasien-pasien itu benar-benar terpapar virus corona. “Kami tidak akan sembarangan meng-COVID-kan orang. Buktinya saja banyak juga sampel yang dinyatakan negatif,” katanya. Yang perlu dipahami, kata Iswahyudi, banyak dari pasien COVID-19 meninggal memiliki gejala seperti diabetes militus (DM). Sehingga, mereka mengira bahwa tubuhnya tak mengalami infeksi virus. “Dokter paru sudah berkata, bahwa gejala yang saat ini muncul mulai berkembang tak hanya seperti demam, flu ataupun sesak nafas,” jelasnya. “Gejala yang muncul saat ini banyak. Sehingga tanpa sadar, pasien yang sudah terpapar COVID-19 mengira dirinya hanya sakit biasa atau penyakit lamanya kambuh,” sambung Iswahyudi. Yang harus dilakukan saat ini, adalah niat dan keberanian diri masyarakat untuk melaporkan kondisi kesehatannya. Masyarakat tak perlu ragu untuk mendatangi fasilitas kesehatan berobat. Sehingga tindakan medis bisa segera diambil. “Jangan takut untuk datang berobat. Kalau bukan COVID-19, pasti kami bilang bukan COVID. Tapi kalau memang COVID, pasti juga kami bilang COVID,” tuturnya. Lanjut Iswahyudi, beberapa kali mendapatkan makian akibat keluarga pasien meninggal karena COVID-19, tidak terima bahwa keluarganya dinyatakan terkonfirmasi. “Beberapa kali itu terjadi sama kami. Bahkan tim surveilans sering dapat hujatan,” tegasnya. Namun, ketika keluarga pasien yang meninggal itu bergejala, semuanya langsung menghubungi pihaknya untuk dilakukan tes. “Pas sudah seperti itu baru mereka minta ke kami. Padahal sebelumnya marah-marah dan tidak percaya,” tandasnya. Metode Tes Bersifat Real Time Terkait tes COVID-19, Dokter Spesialis Patologi Klinik, Nor Jannah, memberikan penjelasan, agar masyarakat dapat memahaminya. Dijelaskan wanita yang juga kepala Laboratorium Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Abdul Rivai Tanjung Redeb ini, akurasi metode pemeriksaan medis baik menggunakan PCR, TCM, Rapid Antigen maupun Rapid Antibodi, untuk mengetahui adanya COVID-19, dalam tubuh seseorang tergantung waktu yang tepat. Sementara, keakuratan dari 4 jenis metode yang berlaku sejauh ini, masih menggunakan metode PCR (polymerase chain reaction) “Metode PCR menjadi standar WHO untuk mendeteksi COVID-19. Kami berlakukan pada mereka yang memang sudah suspek dan kasus probable COVID,” jelasnya. Kendati, menjadi gold standar, PCR pun bisa menghasilkan keakuratan yang tidak seratus persen, jika waktu pemeriksaan tidak tepat. Nor Jannah menjelaskan, jika seseorang telah bepergian, lalu esoknya meminta untuk dilakukan PCR, maka bisa jadi hasilnya negatif. Tetapi tidak menutup kemungkinan besok terjadi kasus positif. Penggunaan PCR sendiri adalah mendeteksi sampel asam nukleat dari virus dengan menggunakan swab yang dilakukan pada nasofaring dan atau orofaring, yang dilakukan di rongga belakang hidung dan mulut pada daerah asam itu berada. Swab dilakukan pada kedua rongga tersebut kerena virus banyak menyerang pada daerah pernapasan. Lanjutnya, untuk menguji, dan mendiagnosa gejala, memerlukan banyak tes, serta harus komprehensif, harus disinkronisasi dengan dibantu analisis pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mengarah pada penyakit tersebut. Selama ini, metode memang bervariasi, yang sedang marak digunakan yaitu penggunaan swab antigen, terutama untuk melakukan perjalanan. Secara akurasi, jika waktu penggunaan swab antigen benar, akurasinya bisa di atas 90 persen. Dapat menyatakan positif, tetapi juga bisa menyebabkan diagnosa negatif palsu. Jika hasil antigen menunjukkan positif, maka, ketika dilakukan tes PCR akan menghasilkan hasil yang positif. Jika tubuh terinfeksi gen virus, maka respons tubuh akan mengeluarkan antigen. Antigen ini yang akan diidentifikasi. Namun, swab bisa memiliki kelemahan dan tidak bisa mendeteksi secara utuh. Menurutnya, akan sangat baik melakukan tes antigen di bawah 7 hari pada fase awal atau ketika selesai bepergian. Jika di atas itu, maka antibodi bisa terbentuk dan disarankan melakukan tes rapid antibodi. “Selama ini rapid yang digunakan rapid antibodi, jika memang hasilnya positif, pasti seseorang tersebut memang memiliki gejala,” ungkapnya. Jadi, gambaran pemeriksaan yang bisa mengarah ke suspek atau kasus probable COVID semakin jelas, tidak seperti awal-awal pandemik, semakin kesini semakin bervariasi, bahkan sampai gejala diare pun bisa menjadi gejala awal. “Semua kembali lagi pada waktunya, karena semua metode itu asasnya real time. Bukan berarti selamanya negatif ya, tetap harus melaksanakan protokol kesehatan. Itu kuncinya. Tapi semua metode itu sudah benar dengan standar yang ditentukan,” jelasnya. Sementara itu, metode TCM sama halnya dengan kinerja PCR untuk deteksi asam nukleat. Namun, metode itu menggunakan skala sampel yang kecil. Awalnya TCM digunakan dari kemenkes untuk mendeteksi TB. “Biasanya TCM kita gunakan untuk emergency, seperti saat kemarin ada kasus sudden die saat kondisi personal sedang diisolasi, dan hasilnya belum keluar, kami gunakan tes dengan TCM,” jelasnya.“Kesimpulannya, semua metode memang akan akurat jika waktu tepat, dan hasil tes bersifat real time,” tandasnya. *FST/*RAP/APP
Tags :
Kategori :

Terkait