Lokal Pernah Berlimpah

Senin 11-01-2021,10:13 WIB
Reporter : admin3 diskal
Editor : admin3 diskal

TANJUNG REDEB, DISWAY – Produksi kedelai Berau, sempat menjadi yang tertinggi di Kalimantan Timur. Sayang, kini tidak berlimpah lagi. Kedelai impor dari Amerika, lebih banyak digunakan ketimbang produksi lokal. Petani akhirnya beralih.

Berau pernah menjadi penghasil kedelai terbesar di Kalimantan Timur, hingga tahun 2016. Data Dinas Pertanian dan Peternakan Berau, di tahun 2013 kedelai yang dihasilkan sebanyak 610 ton, pada tahun 2014-2016 rerata mencapai lebih dari 500 ton, kemudian mengalami penurunan drastis pada tahun 2018 sebanyak 80,025 ton, dan di tahun 2019 penurunan terjadi lagi hingga mencapai 14,55 ton. Sedangkan untuk tahun 2020, diketahui tidak ada produksi kedelai lokal. Kecamatan potensial penghasil kedelai, yakni Kecamatan Batu Putih dan Talisayan. (selengkapnya lihat grafis) Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Berau, Mustakim menjelaskan, bahwa memang produksi kedelai sudah banyak digantikan dengan jagung dan sawit. Sebab, kedua komoditas tersebut sangat menjanjikan. Bahkan di tahun 2019, kedelai hanya ditanami sebanyak 5 hektare saja. Jauh jika dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. “2020 belum ada data yang masuk, karena memang tidak begitu banyak petani yang minat, bahkan tidak ada produksi. Semua beralih ke jagung, lebih menguntungkan dan diprioritaskan,” jelasnya kepada Disway, Kamis (7/1) lalu. Produksi yang pernah tembus lebih dari 100 ton produksi, bermula dengan adanya bantuan pusat untuk memberikan bantuan benih kedelai seluas sekiranya 500 hektare. Kendati terbantu, ketika panen kendala utama petani kebingungan untuk memasarkan hasilnya. Sebab, produsen tempe dan tahu lebih memilih kedelai impor dari agen dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang lokal. Harga kedelai impor sebelum adanya kenaikan, yaitu Rp 5 ribu per kilogram (Kg). Sedangkan kedelai lokal selalu berada pada kisaran Rp 8-9 ribu per kg, pertimbangan dari harga produksi. Jika harga tersebut ditekan lagi, petani lokal akan rugi. “Memang produksi tempe dan tahu hampir 90 persen menggunakan kedelai impor. Tidak hanya di Berau saja, seluruh Indonesia juga mengandalkan dari impor,” ungkapnya. Jika harga bahan baku mahal, produsen harus menjual tempe dan tahu semakin mahal daripada harga biasanya. Lanjut Mustakim, permasalahan kedelai sempat terjadi ketika petani kedelai meminta pertanggung jawaban saat berlimpahnya produksi, namun tidak ada yang membeli. Pihaknya menghubungi pemerintah provinsi untuk meminta solusi. Ketika itu, pihak provinsi menjadi kaki tangan agar petani bertemu dengan koperasi tahu tempe yang menyanggupi untuk membeli kedelai petani. Namun, cara demikian juga tidak berjalan lama. Koperasi tidak lagi bisa diandalkan, karena semakin lama penjualan juga tersendat. Hal itu juga yang melandasi adanya pengurangan produksi dari 3 tahun belakangan. Bahkan petani kedelai sempat mengancam untuk melimpahkan hasil produksi di depan kantor. “Kadang pusat masih saja menawari bantuan bibit tapi langsung seluas 500 hektare. Terlalu besar bantuannya, takutnya kembali berisiko, jika petani juga sudah tidak ada minat,” katanya. Menurut Mustakim, bisa saja produksi kedelai hidup kembali, jika dari pusat memiliki keputusan untuk menutup keran impor. Apalagi, produksi kedelai tidak begitu memakan waktu yang lama, dan Berau memiliki daerah yang berpotensi pada daerah pesisir. Pihaknya mengusulkan kepada pusat jika adanya bantuan tersebut untuk diminimalisir lagi. Namun pusat belum menyetujui. Selain itu, kedelai lokal juga diakui memiliki kualitas yang bagus untuk produksi tahu, sebab memiliki pati yang banyak, jika untuk tempe masih harus ditingkatkan lagi. “Kalau tadi ada nota kesepakatan antara pihak ketiga dengan petani untuk membeli kedelai dan konsisten, mungkin bisa menghasilkan lagi,” tutupnya.*RAP/APP
Tags :
Kategori :

Terkait