Hiperbarik Bisa Berguna

Kamis 07-01-2021,10:05 WIB
Reporter : admin3 diskal
Editor : admin3 diskal

HIPERBARIK, alat yang kerap digunakan untuk mengatasi dekompresi terhadap penyelam ataupun masalah kesehatan lainnya, dinilai mampu menjadi alat terapi pasien COVID-19. Bahkan, Berau telah memiliki alat tersebut.

Seperti yang diungkapkan Sofia Wardhani kepada Disway Berau-Kaltara, Rabu (6/1), yang merupakan Program Doktor Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Dosen Fakultas Kesehatan UPN 'Veteran' Jakarta, Anggota Komite Penelitian Etika Kesehatan UPN 'Veteran' Jakarta, dan Dokter di Hyperbaric Center RS ​​Bethsaida Serpong. Dikatakannya, sejauh ini belum ada terapi yang mampu untuk membunuh virus Sars-Cov. Namun, terapi yang dijalankan saat ini, adalah upaya untuk menunjang kehidupan si pasien. Seperti penggunaan ventilator dan pemberian antivirus. “Antivirus di sini pun bukan bekerja sebagai pembunuh virus. Namun, sebatas meningkatkan kekebalan tubuh,” jelasnya melalui sambungan telepon. Sementara itu, dengan penggunaan hiperbarik terapi, dapat berfungsi meningkatkan kadar oksigen jaringan. Yang notabennya, pasien COVID-19 membutuhkan peningkatan kadar oksigen dalam jaringan. “Memang sudah terbukti bahwa terapi hiperbarik itu mampu untuk meningkatkan kadar oksigen dalam jaringan. Nah ini bisa dicoba ke penderita COVID-19. Terutama yang mengalami Happy Hypoxia,” katanya. Happy hypoxia atau dikenal dengan nama silent hypoxia merupakan suatu istilah yang digunakan di bidang kedokteran, untuk menggambarkan kondisi sel yang mengalami penurunan kadar oksigen. Oksigen merupakan elemen penting yang berperan dalam kehidupan sel untuk membentuk energi (ATP). Kondisi hipoksia tidak hanya terjadi pada pasien dengan COVID-19, namun juga dapat terjadi pada pasien anemia, penderita PPOK (penyakit paru obstruksi kronik), stroke bahkan pada pendaki gunung di mana tekanan parsial oksigen di udara lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsial oksigen di permukaan laut. Pada prinsipnya, hipoksia terjadi karena adanya gangguan aliran oksigen dari udara bebas masuk ke dalam sel. Dikatakannya, pada penderita happy hypoxia tidak memiliki gejala, dan tampak seperti biasa saja. Hal itu serupa dengan halnya orang yang melakukan penyelaman, yang menahan napas, dan mengambil napas berulang kali. Sehingga kadar karbondioksida (CO2), dan oksigen (O2)-nya juga rendah. Namun, saat dia hendak mengambil napas itu tidak tercetus (tidak ada keinginan untuk bernapas). “Jadi memang seperti tidak ada gejala sesak napas. Walaupun, jika dilihat secara fisik, frekuensi pernapasannya itu mengalami peningkatan,” jelasnya. Dan yang terbaru, pada saat virus menginfeksi kemoreseptor yang ada di karotis, pasien tidak merasakan hypoxia. Berdasarkan analisisnya, hiperbarik bisa dua fungsi. Untuk mengobati pasien COVID-19. Dan yang kedua memberikan efek stres ke tubuh pengguna, sehingga mampu merangsang pembentukan gen-gen anti inflamasi (antiinflamasi atau antiradang adalah sifat yang mengurangi radang). Dikatakannya, hiperbarik sudah terbukti meningkatan gen-gen anti inflamasi. Selama ini, penggunaan hiperbarik hanya digunakan untuk orang-orang yang mengalami dekompresi. Padahal hiperbarik bisa saja digunakan untuk terapi pasien COVID-19. “Sebenaranya itu dua hal yang berbeda, tapi bisa menggunakan mekanisme yang sama,” katanya. Kenapa demikian, karena pada pasien COVID-19, organ yang terkena adalah paru-paru. Di paru-paru pasien COVID-19 terdapat edema atau cairan. Karena telah terjadi inflamasi. Inflamasi atau peradangan, merupakan mekanisme tubuh dalam melindungi diri dari infeksi mikroorganisme asing, seperti virus, bakteri, dan jamur. Pada saat mekanisme alami ini berlangsung, sel-sel darah putih dan zat yang dihasilkannya sedang melakukan perlawanan dalam rangka membentuk perlindungan. “Makanya kenapa pasien COVID-19 bisa mengalami gagal napas, sehingga harus dibantu dengan ventilator tekanan positif. Kalau di pasien COVID-19 ada yang namanya cytokine strom. Apa yang dimaksud dengan cytonkine strom, adalah peningkatan dari leukosit, interleukimia naik ini salah satu yang menyebabkan infeksi dan gagal napas,” jelasnya. Bahwa, selain ventilator oksigen secara efektif bisa disuplai menggunakan terapi hiperbarik. Lalu bedanya dengan hiperbarik itu apa? Hiperbarik tidak akan memaksa oksigen itu masuk. Namun, hiperbarik akan menaikan tekanan lingkungannya. Oksigen dari udara bebas masuk ke dalam sel melalui berbagai tahapan. Pertama oksigen berdifusi di jaringan paru melalui sel terkecil yaitu alveolus lalu oksigen ini diikat oleh hemoglobin (sel darah merah) lalu dihantarkan ke jaringan dan sel. Agar oksigen dapat menembus alveolar dan berdifusi ke dalam darah, dibutuhkan perbedaan tekanan yang bermakna antara paru dengan pembuluh darah arteri. Di sinilah masalah terjadi pada pasien COVID-19. “Artinya, pada saat tekanan lingkungan dinaikkan. Maka setiap volume udara yang masuk akan mengental. Kalau istilah di hiperbarik itu tekanan parsial oksigen akan meningkat,” ungkapnya. “Ini sifatnya tidak menekan. Sehingga tidak menginjuri paru-paru pasien. Karena tidak ada tekanan positif. Dan orang itu akan bernapas seperti biasa,” jelasnya. Diungkapkannya, oksigen tidak lagi membutuhkan ikatan dengan hemoglobin. Karena, hemoglobin hanya mengikat sebanyak 20 persen oksigen. “Kalau pakai hiperbarik, walaupun orang kurang darah masih bisa diatasi. Jadi walaupun pasien COVID-19 itu mengalami anemia, masukan saja ke hiperbarik,” ujarnya. Pasien COVID-19 mengalami inflamasi atau peradangan pada alveolar-nya sehingga dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi agar oksigen dapat berdifusi masuk ke dalam darah. Apabila pasien COVID-19 mengalami kondisi yang disebut dengan cytokine storm dan kegagalan pernapasan, maka dokter akan memasangkan ventilator sebagai alat bantu pernapasan. Namun berdasarkan hasil penelitian, hampir 80 persen pasien yang mendapatkan alat bantu pernapasan meninggal dunia. Pemasangan ventilator umumnya dilakukan bila didapatkan saturasi oksigen yang menurun dan pasien mengalami sesak napas. Saturasi oksigen yang menurun menandakan bahwa terjadi hipoxia jaringan. Namun hal ini justru tidak terjadi pada pasien dengan happy hypoxia. Pasien tersebut tidak mengalami sesak napas dan terkadang didapatkan hasil saturasi oksigen masih dalam batas normal. Namun pada saat saturasi oksigen jatuh dalam tahap kritis, maka pasien tersebut dapat mengalami perburukan dalam waktu cepat. Terdapat beberapa teori mekanisme terjadinya happy hypoxia ini, di antaranya adalah adanya invasi virus COVID-19 pada kemoreseptor tubuh sehingga tubuh tidak bisa membaca ‘status’ oksigen jaringan dan yang kedua adalah kadar CO2 pada pasien COVID-19 yang cukup rendah, sehingga tidak menimbulkan ‘keinginan’ bernapas. Harus dipahami, bahwa sesak napas merupakan sensasi kesulitan bernapas yang mempunyai beberapa sebab, tidak hanya hipoksia saja, namun juga peningkatan kadar karbondioksida. Bahkan pada pasien dengan gangguan cemas sering ‘merasa’ sesak napas, sehingga pernapasannya menjadi cepat dan dalam. Penggunaan hiperbarik sudah diuji coba di Tiongkok. Jadi, di Wuhan (Pusat Hiperbarik) beberapa peneliti memasukan orang-orang yang seharusnya sudah masuk ke ICU, menggunakan ventilator. Ternyata hasilnya luar biasa. “Justru mereka tidak merasa sesak saat berada di dalam chamber dan mereka tidak membutuhkan ventilator,” tuturnya. Kasus ini pun sudah dikeluarkan di dalam jurnal. Namun, bentuknya baru study case. Bentuk dari study case, belum bisa dijadikan patokan, bahwa benar hiperbarik bisa duganakan untuk pasien COVID-19. “Jadi hiperbarik terapi ini berfungsi untuk memperbaiki jaringan oksigen dalam tubuh pasien COVID-19,” ungkapnya. Sofia menyebut, penelitian itu sudah ada sejak Juni 2020. Salah satu tempat penelitian itu dilakukan di New York, Amerika Serikat. “Tapi masalahnya sampai sekarang, saya belum tahu hasil dari penelitian itu. Saya juga belum mendapat informasi jurnal bahwa hiperbarik itu bisa digunakan untuk terapi pasien COVID-19,” katanya. Lanjutnya, Berau bisa saja menggunakan hiperbarik untuk menangani pasien terkonfirmasi positif COVID-19. Namun, saat ini di Indonesia, belum ada chamber yang dilengkapi dengan ventilator. “Nah itu ventilator, tidak bisa sembarangan menggunakan. Jadi ada spesifikasinya tersendiri. Walaupun banyak ventilator portable. Tapi yang digunakan tidak boleh ada yang berbaterai. Karena bisa meledak,” bebernya. Beberapa kasus di Amerika yang dibacanya, adalah pada pasien silent hypoxia mengalami pernapasan yang cepat dan dalam namun tidak ada sensasi sesak napas. Hal ini disebabkan karena pola pernapasan ini mengeluarkan banyak CO2 sehingga kadarnya dalam darah turun. Hal inilah yang menyebabkan pasien tidak merasa sesak namun sudah terjadi gangguan. Dengan berjalannya waktu maka proses peradangan paru yang terjadi semakin meluas, sementara itu tubuh pasien membutuhkan banyak energi untuk melawan infeksi yang ada. Pada akhirnya, oksigen kesulitan masuk ke dalam darah dan sel menimbulkan hipoxia kronis sehingga berakhir pada terjadinya oxygen debt. Oxygen debt adalah kondisi di mana sel mengalami hipoksia dalam waktu lama sehingga terjadilah ‘utang’ oksigen yang harus dibayar agar sel dapat berfungsi dengan normal. Akibat dari besarnya oxygen debt, maka beberapa organ dapat jatuh ke dalam gagal organ (Multiple organ failure/MOF) yang sering dijumpai pada pasien COVID-19. Dalam salah satu jurnal, dinyatakan bahwa oxygen debt merupakan kondisi yang sangat menentukan prognosis dari pasien sepsis. Untuk dapat mengatasi oksigen debt dengan cepat, maka dibutuhkan peningkatan jumlah oksigen dalam darah yang sulit dilakukan apabila tidak ada perbedaan tekanan yang cukup bermakna dari alveolar dan pembuluh darah. “Di sinilah terapi oksigen hiperbarik mempunyai peranan yang besar,” tegasnya. Terapi oksigen hiperbarik merupakan terapi yang sudah dilakukan lebih dari 100 tahun yang lalu. Bahkan pada saat terjadinya wabah flu spanyol, terapi hipebarik ini sudah digunakan untuk mengurangi gejala hipoxia pada penderitanya. Namun setelah wabah tersebut hilang, terapi ini kembali tenggelam karena ketidakpahaman mekanisme yang mendasarinya. Terapi hiperbarik sendiri mempunyai berbagai indikasi yang sudah ditetapkan oleh FDA. Di antaranya, adalah untuk terapi penyakit dekompresi pada penyelaman, ulkus diabetikum, keracunan CO dan gangguan hipoksia lain. Mekanisme yang mendasari terapi hiperbarik oksigen adalah, berdasarkan hukum fisika yaitu hukum Henry yang menyatakan bahwa semakin tinggi tekanan parsial gas di atas suatu cairan, maka semakin tinggi kelarutan gas tersebut dalam cairan. “Dengan meningkatnya tekanan parsial oksigen dalam udara yang dihirup maka semakin tinggi oksigen yang larut dalam plasma (aliran darah),” ungkapnya. Tingginya kadar oksigen yang larut ini, membuat hemoglobin terisi penuh dengan oksigen (mengalami saturasi) dan oksigen juga dapat langsung larut dalam plasma sehingga memastikan oksigen terhantarkan hingga ke sel. Hal inilah yang menjadi kelebihan terapi hiperbarik dibandingkan dengan ventilator. Walaupun kedua hal tersebut sama – sama dapat meningkatkan kadar oksigen dalam sel, namun terapi hiperbarik tidak bersifat invasive sehingga tidak menimbulkan ‘insult’ baru pada tubuh pasien dan tekanan lingkungan yang tinggi memastikan oksigen dapat lebih cepat dan lebih banyak larut ke dalam plasma darah. Penggunaan terapi hiperbarik pada pasien COVID-19 sudah dilaksanakan secara terbatas pada beberapa rumah sakit yang memiliki fasilitas hiperbarik di Tiongkok dan Amerika Serikat. Hal itu, memberikan hasil yang cukup menjanjikan dalam pencegahan penggunaan ventilator dan mempercepat penyembuhan pasien COVID-19. Namun FDA belum menetapkan terapi oksigen hiperbarik sebagai salah satu terapi standar untuk pasien COVID-19 karena belum melalui Uji Klinis (RCT). “Kini Uji Klinis sedang berjalan pada 8 pusat hiperbarik di seluruh dunia untuk membandingkan efek pemberian terapi hiperbarik dengan pemakaian ventilator,” katanya. Diharapkan penelitian memberikan hasil yang menggembirakan untuk dapat mengurangi beban dunia kesehatan dalam mengatasi pandemik COVID-19. */fst/app
Tags :
Kategori :

Terkait