Negatif atau Positif COVID-19?
Selasa 05-01-2021,21:54 WIB
Oleh: Disway Kaltim Group
Virus COVID-19 telah memakan ribuan korban jiwa. Putra-putra terbaik bangsa ini meregang nyawa setelah terinfeksi virus mematikan tersebut. Baik di daerah maupun pusat. Mereka yang selamat dari virus ini tergolong beruntung. Demi menginspirasi orang banyak, artikel ini mengisahkan perjananan seorang pasien COVID-19 yang juga mantan Anggota DPRD Kutim.
OLEH: UCE PRASETYO*
Sudah tiga hari saya demam. Awalnya seperti masuk angin. Mungkin karena kelelahan. Pikir saya. Sebab, sejak daftar menjadi calon wakil bupati (wabup), kegiatan full. Sehari tidur hanya sekitar empat jam. Dua minggu full berkegiatan.
Walau tidak enak badan. Karena hal penting dan rasa tanggung jawab atas peran kehidupan, perjalanan ke Samarinda tetap saya lakukan. Sudah bisa ditebak, badan makin drop.
Tengah malam itu, melihat saya demam sepanjang perjalanan, driver mengantarkan saya ke Usaha Gawat Darurat (UGD) RS Medika. Ini keputusan yang sangat tepat.
Saya dirawat sekitar tujuh hari. Ditangani oleh dua spesialis. Spesialis internis dari awal hingga akhir. Spesialis paru sejak hari ketiga. Internis yang menangani saya mulai curiga dengan demam tinggi yang saya alami. Namun sel darah putih malah turun. Itu menunjukkan bukan bakteri. Bisa jadi virus. Tapi virus apa?
Apakah virus corona? Tapi rapid test-nya negatif. Saat diinfus di UGD, sampel darah saya diambil. Darah itu diperiksa. Untuk beberapa kali pemeriksaan. Termasuk rapid test antibodi.
Walau hasilnya negatif, spesialis internis tetap merujuk saya ke spesialis paru. Saya bisa memahaminya. Rapid test antibodi memang tidak seakurat swab test (PCR). Saat itu belum populer pemeriksaan antigen.
Antibodi adalah salah satu pasukan sistem pertahanan (imun). Seperti negara. Ada tentara, polisi, hansip, petugas karantina, dan lain-lain. Tubuh manusia juga mempunyai sistem pertahanan. Ada sistem pertahanan umum. Biasanya, responsnya sangat cepat. Dalam hitungan jam.
Sedangkan antibodi adalah sistem pertahanan khusus. Terhadap virus tertentu. Otomatis baru timbul setelah ada serangan. Setelah radar pasukan yang lagi piket (sel B dan sel T) mendeteksi pasukan penyusup (antigen). Antibodi responsnya agak lambat. Timbul setelah beberapa hari.
Beda dengan antigen. Antigen adalah bagian tertentu dari musuh (virus, jamur, dll). Secara teori, antigen terlebih dulu muncul. Kemudian radar tubuh mendeteksinya. Lalu timbullah antibodi.
Sehingga tak heran bila pemerintah sekarang lebih memilih pemeriksaan rapid antigen. Daripada rapid antibodi. Dengan antibodi negatif, belum tentu tidak ada virus dalam tubuh seseorang. Karena antibodi bisa muncul lima sampai tujuh hari. Setelah virus menginfeksinya. Sedangkan antigen bisa dideteksi saat virus ada dalam tubuh.
Hari ketiga, saya mulai ditangani oleh spesialis paru. Dada saya diperiksa dengan X Ray. Hasilnya bagus. Paru-paru saya masih bersih. Belum ada gejala COVID-19.
Di hari ketiga itulah saya meminta infus dilepas. Izin keluar rumah sakit. Untuk ke kantor KPU. Saya mengikuti pengundian nomor urut paslon. Andai tidak wajib, mungkin saya tidak hadir. Dengan kepala pusing dan demam tinggi, sekitar 38-39 derajat, saya mengikuti acara KPU. Setelah selesai, saya bergegas lagi ke RS. Infus dipasang kembali.
Pada hari kelima, keluhan tidak berkurang. Pusing, diare, dan demam tinggi. Dokter masih penasaran. Untuk memastikannya, saya mengikuti swab PCR. Petugasnya dari Dinas Kesehatan (Diskes) Kutim. Dengan seragam komplit. Ia mengambil sampel swab.
Hari keenam, hasil swab keluar. Dini hari. Sekitar jam 02.00 Wita. Kepala Dinas Kesehatan Kutim mengirimkan SMS ke saya. Hasilnya negatif. Saya lega. Tapi bingung.
Saya lega karena tidak terkena COVID-19. Karena bila terkena virus corona, otomatis saya tidak bisa bersosialisasi terkait Pilkada Kutim. Saya sadar. Saya sudah telat mendaftarkan diri. Bila terkena virus corona, makin telat lagi untuk melakukan pergerakan di masyarakat. Bingung karena penasaran. Saya sakit apa?
Hari ketujuh pagi. Saya mulai merasakan sesak. Saturasi oksigen mulai menurun. Pemeriksaan X Ray dilakukan lagi. Sekitar satu jam setelah pemeriksaan, spesialis paru memastikan bahwa saya terkena COVID-19. Bercak X Ray di paru sangat jelas. Gambaran pneumonia (radang paru-paru) di kedua sisi hampir 3/4 paru.
Mendengar hal itu, saya lega dan bingung lagi. Lega karena diagnosa penyakit sudah jelas: COVID-19. Bingung karena baru sehari dapat kabar pemeriksaan swab PCR yang sebelumnya hasilnya negatif. Tapi sekarang, nyatanya ada dampak di paru-paru. X Ray nyata terlihat oleh mata. Dan sesak di dada nyata saya rasakan.
Maka dari itu, sesuai prosedur, saya dipindahkan ke RSUD. Saya ditempatkan di lorong UGD sekitar tiga jam. Sebab, kamar khusus COVID-19 sudah full.
Hari kedua di RSUD atau hari ke delapan di opname, saya di-swab lagi. Dengan hasil sebaliknya: positif. Secara teori, swab PCR adalah yang paling akurat. Akurasinya sekitar 98 persen.
Runutannya, rapid hari pertama negatif. X Ray hari ketiga bersih. Swab PCR hari kelima negatif. X Ray hari ketujuh bercak pneumonia nyata. Swab hari kedelapan jadi positif.
Hemat saya, seseorang dalam perjalanan yang membawa surat negatif dari hasil pemeriksaan dengan metode apa pun, rapid antibodi, rapid antigen, atau swab PCR, belum tentu di tubuhnya benar-benar terbebas dari virus. Karena itu, kewaspadaan harus tetap ada. Dengan disiplin memakai masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan. (*Mantan Anggota DPRD Kutim)
Tags :
Kategori :