Urusan Tambang Diambil Alih Pusat, Pengamat: Harus Ada Perubahan

Selasa 29-12-2020,13:30 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Ahli Hukum Pertambangan, Siti Kotijah menilai pemerintah pusat ingin menyelesaikan persoalan di bidang pertambangan dengan mengambil-alih kewenangan daerah. Banyak persoalan pasca-tambang yang gagal diselesaikan daerah, sehingga perlu perubahan.

“Bahwa migas itu untuk kepentingan masyarakat. Jadi kalau hari ini di daerah masih banyak masalah, semua dikembalikan seperti kebijakan yang dulu. Yaitu ke pusat,” kata Siti Kotijah. Meski begitu akademisi Universitas Mulawarman itu mengatakan, masyarakat harus melihat secara jernih. “Pertama yang harus dilihat bahwa ada UU No 23 Tahun 2014 tentang Kewenangan Daerah. Pasal 14 itu masih berlaku, kewenangan ada di pemerintah provinsi,” katanya. Lalu pada  1 Juni 2020, kewenangan itu dicabut dengan terbitnya UU Minerba. Sejak 8 Desember 2020 semua berkas dialihkan ke Kementrian ESDM. Namun menurut Siti Kotijah, yang menjadi persoalan hari ini, ialah bagaimana pengawasan tambang di Kementrian ESDM, sementara pengawasan lingkungan hidup menjadi kewenangan kabupaten/kota. “Nah ini kan tidak koheren, sebenarnya yang harus dilinierkan adalah sudah saatnya kewenangan kabupaten/kota dikembalikan ke provinsi.” Dengan demikian, maka seharusnya pengawasan tambang oleh Kementrian ESDM, tetapi penempatannya ada pada Dinas Pertambangan. “Saya melihat harus ada perubahan, maksudnya UU Minerba itu harus koheren dengan UU Lingkungan Hidup,” imbuh Siti Kotijah. Jika hal itu tidak dilakukan segera. Ia khawatir daerah hanya mendapatkan impact negative. “Tetapi provinsi tidak bisa disalahkan, karena kewenangannya berada di kabupaten/kota.” Dari sisi pelaku bisnis pertambangan, UU Minerba tidak menimbulkan persoalan. Karena seluruh proses perizinan dilakukan secara online. Seperti pembayaran PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) semua bisa terakses dengan online. “Menurut saya yang jadi permasalahan adalah impactnya, ini yang harus koordinasi dengan KLH dan kewenangannya di kabupaten/kota,” imbuh wanita yang mendalami hukum lingkungan dan hukum adat ini. Menurut Siti, yang menjadi pekerjaan rumah Pemerintah Pusat adalah, bagaimana mengatur peruntukan lahan. Apalagi tahun 2022 sampai 2030 itu akan banyak sekali izin tambang di Kaltim akan berhenti.  Dampaknya akan banyak lahan meninggalkan lubang-lubang tambang. Dan hanya beberapa yang bekasnya bisa dimanfaatkan sebagai embung padi dan semacamnya. “Tapi bagaimana untuk status lahannya?” Ia mengambil contoh, PT Tanito di Benang Raya Kutai Kartanegara. “Itu kan izinnya gimana. Tanahnya seperti apa, peralihannya seperti apa, bekas tambangnya seperti apa? itu engga jelas,” kata  dia. Kebijakan pemerintah daerah belum mampu menangani persoalan itu. “Nanti semua akan dikroscek lahan, perampasan lahan, bagaimana penyerahan lahan. Itu yang saya pikir. Penyerahan peruntukan lahan hari ini belum ada (aturannya).” Contoh lain lagi dialami  PT Bumida di Kota Bangun 3 yang sudah berakhir izinnya dan meninggalkan void. Sampai hari ini, menurut Siti Kotijah, statusnya tidak jelas. Artinya, itu milik siapa? Bagaimana pertanggung-jawabannya jika ada kecelakaan? “ini yang tidak linier dan menjadi masalah.” Menurut Siti Kotijah, keberadaan UU Minerba tidak serta merta menghilangkan pemasukan daerah. Karena di sana juga diatur pembagian keuntungan. (tor/yos)
Tags :
Kategori :

Terkait