Desak Pengesahan RUU PKS
Senin 28-12-2020,12:23 WIB
Reporter : Y Samuel Laurens
Editor : Y Samuel Laurens
Samarinda, Nomorsatukaltim.com - TINGGINYA tindak kekerasan pada perempuan dan anak di Kaltim jadi sorotan Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRCPPA) Korwil Kaltim. Menurut lembaga yang fokus pada permasalahan ibu dan anak ini, kunci untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan tersebut, ialah dengan mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Seperti diketahui, saat ini RUU PKS kembali ditunda pembahasannya di DPR RI. Di sisi lain, perempuan dan anak-anak dianggap semakin rentan menjadi korban kekerasan. Khususnya pada kategori kekerasan seksual. Seperti yang marak terjadi di sepanjang tahun ini di ibukota Provinsi Kaltim.
Para pelaku kekerasan seksual paling banyak dilakukan oleh orang terdekat para korban. Sehingga perlu ketegasan pemerintah agar kasus kejahatan seksual terhadap anak bisa segera dihentikan. Hal tersebut diungkap Humas TRCPPA Korwil Kaltim, Ratnasari Tri Febriana ketika dikonfirmasi media ini, Minggu (27/12).
Nana --sapaan karibnya- mengatakan, hingga saat ini TRCPPA Korwil Kaltim masih fokus dalam pendampingan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. Pendampingan yang dimaksud ada dua kategori. Mulai dari pendampingan hukum hingga pendampingan korban pasca kejadian. "Selain itu, kami juga terus melakukan langkah-langkah pada pencegahan. Termasuk dengan turun langsung ke tengah masyarakat," ungkapnya.
Kendati demikian, kata Nana, lembaga ataupun pemerhati perempuan dan anak, tidak akan dapat bergerak maksimal dalam hal pencegahan. Apabila tidak dibarengi dengan adanya regulasi atau payung hukum yang dapat melindungi para korbannya.
Oleh karenanya, diperlukan peran pemerintah dalam mengatasi kekerasan yang masih kerap dialami perempuan dan anak. Ialah dengan disahkannya RUU PKS. "Payung hukum itu banyak ya, yang jelas itu salah satunya adalah RUU PKS. Seperti kita ketahui, ada 154 pasal yang sebenarnya bukan hanya fokus terhadap kasus yang sedang terjadi. Tetapi di sana ada juga beberapa yang berhubungan pada pencegahan," ucapnya.
RUU PKS, disebutnya dapat mencegah tindakan kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Salah satu contoh yang dapat dicegah, adalah pelecehan seksual. Dijelaskannya ada dua kategori, yakni pelecehan seksual secara langsung atau visual dan verbal. "Untuk verbal ini, kan tidak dipayungi oleh hukum. Tidak ada dasar kalau kita mau bicara soal hukum. Karena itu verbal. Dan itu yang masih menjadi masalah," ucapnya
Selain itu, RUU PKS juga mencantumkan terkait perlindungan berupa pendampingan bagi para korban, pasca kejadian tidak mengenakan itu terjadi. "Seperti pendampingan pada korban pemerkosaan dan pelecehan seksual. Seharusnya pendampingan tidak hanya pada saat kasus sedang berjalan. Tetapi pasca itu," imbuhnya.
Disebutkannya, paling banyak korban kekerasan seksual dialami oleh anak-anak. Dan dari fakta lapangan pula, kebanyakan para korban yang tak dapat pendampingan, akan berubah menjadi seorang pelaku. Oleh karena itu, ia sangat getol mendukung RUU PKS untuk kembali dibahas di DPR RI.
"Sehingga ada yang terjebak di dalam dunia prostitusi online, malah ada juga yang menjadi muncikari. Kebanyakan mereka itu adalah yang tadinya korban. Fakta di lapangan yang kami temukan terjadinya ya seperti itu," terangnya.
Menurutnya, masyarakat awam masih banyak yang berfikir, bahwa RUU PKS hanya terkonsentrasi pada para korban kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. "Tapi sebenarnya laki-laki juga banyak dibahas di sana. Termasuk juga anak laki-laki. Nah itu kan dari 154 pasal di RUU PKS sekarang banyak yang dihapuskan. Akibatnya tersisa 50 pasal, dan tidak mencakup dari yang dibutuhkan," jelasnya.
Kekerasan yang paling banyak dialami perempuan dan anak adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual. Namun yang paling memprihatinkan saat ini ialah kasus kekerasan seksual. Di mana pelakunya justru adalah orang terdekat dari para korbannya.
"Jadi orang terdekat ini justru dianggap telah membuka peluang terjadinya kekerasan berulang-ulang. Kebanyakan pihak keluarga yang sudah mengetahui hal seperti itu kan (dianggap) aib. Jadi mereka malah menutupi hal itu dan tidak melaporkan," ucapnya.
Lanjut Nana, TRCPPA Korwil Kaltim beserta sejumlah lembaga, komunitas, hingga aktivitis pemerhati perempuan dan anak, saat ini mendukung untuk segera disahkannya RUU PKS. "Karena sebenarnya itu sangat melindungi kita semua dari tindakan tersebut. Kalau sekarang belum ada hukuman maksimal buat para pelaku. Karena tidak ada payung hukum yang berkonsentrasi pada kasus itu," katanya.
Menurut pandangannya, alasan mengapa RUU PKS terkesan lamban untuk disahkan, dikarenakan mengalami banyak pertentangan dari berbagai kalangan yang tidak paham akan maksud dari dibentuknya payung hukum tersebut. "Ada beberapa pihak yang menolak. Malah di masyarakat juga banyak menolak. Bagi saya, itu hanya karena kurangnya sosialisasi dan pemahaman ke masyarakat. Bahwa pentingnya dari setiap butir RUU PKS tersebut," ujarnya.
Penolakan terjadi karena adanya salah tafsir di masyarakat. Seperti contohnya, hukuman pidana di dalam hubungan suami istri. Bagi para suami yang memaksa sang istri untuk berhubungan intim dapat dipidanakan. Namun disalahartikan oleh masyarakat.
"Nah itu kan penafsirannya di masyarakat jadi aneh, kok istri kalau enggka mau terus dipaksa, suami bisa dituntut. Faktanya, banyak di kalangan masyarakat yang istrinya baru melahirkan belum 40 hari nifas, suaminya paksa berhubungan hingga akhirnya terjadi pendarahan. Tapi dilaporkan tidak bisa diproses. Karena tidak adanya undang-undang yang bisa dipakai buat menjerat pelaku,"
"Sehingga inginnya kita, ada sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat yang lebih dijabarkan lebih jelas lah," tandasnya. (aaa/zul)
Tags :
Kategori :