Habitat Bekantan Kian Tertekan

Senin 21-12-2020,19:27 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Perda RZWP3K sudah disahkan. Drafnya kini telah diserahkan ke Kemendagri. Namun ada sejumlah kekhawatiran. Perda yang mengatur zonasi di wilayah pesisir tersebut, juga akan mengancam habitat hewan yang hidup di kawasan perairan. Antara lain bekantan. Yang habitatnya terfragmentasi lantaran pembukaan lahan permukiman dan industri.

nomorsatukaltim.com - SUARA bekantan menggema di Mangrove Center Graha Indah, Balikpapan Utara. Bersahut-sahutan. Namun tak nampak batang hidungnya. Hanya suaranya saja yang terdengar nyaring. "Kawasan ini luas, Mas. Bekantan hidup berkelompok, mungkin hari ini enggak lewat sini," ujar Margiono, warga yang tinggal di sekitar Mangrove Center itu, saat ditemui, Kamis (17/12/2020). Mbah Margi, sapaannya, menjadi saksi eksodus hewan primata berhidung mancung itu sekitar sepuluh tahun lalu. Saat Agus Bei, yang dikenal sebagai penggagas restorasi kawasan hutan bakau di Graha Indah tersebut memulai langkah kecilnya. Menanam bibit-bibit mangrove. "Tadinya kan sebelum diperbaiki, mangrove ini rusak, ditebangi, enggak mau dia (bekantan) ke sini. Sekarang sudah ramai lagi. Namanya juga hewan liar. Di mana ada makanan, dia datang," katanya, sambil membersihkan sampah plastik di sekitaran area Mangrove Center. Pria sepuh itu menceritakan, dulu sempat ada perbincangan warga sekitar untuk memanfaatkan hasil olahan dari buah mangrove yang kini tumbuh subur. Konon buahnya bisa dibuat jajanan. Dibuat bolu, sirup. “Saya bilang jangan, kasihan. Terus dia (bekantan) mau makan apa? Kalau kita kan (manusia) bisa makan beras, jagung, singkong," katanya. Menurutnya apa yang sudah dicapai Mangrove Center perlu dijaga kelestariannya. Bukan hanya demi keberlangsungan hidup bekantan dan biota laut, tapi juga untuk anak cucu. Menurut Agus Bei, luas Mangrove Center diperkirakan mencapai 150 hektare. Di atasnya berdiri jutaan pohon bakau hingga menembus muara Sungai Wain. Soal populasi bekantan, Agus memperkirakan ada sekitar 300 ekor yang hidup di kawasan mangrove tersebut. "Itu menurut peneliti yang datang beberapa tahun lalu. Tapi saya khawatir ada penurunan populasi," kata Agus. Kekhawatiran itu berdasar karena, kata dia, kawasan mangrove didesak dari dua arah. Pembukaan lahan oleh oknum-oknum dan desakan dari kawasan industri. Misalnya industri perkapalan. Nah, jika tidak ada kejelasan aturan pemerintah yang mengikat atas kawasan mangrove, pada akhirnya akan menjadi ancaman terhadap keanekaragaman satwa, seperti bekantan dan biota laut. "Di sini (Sungai Wain) mulai masuk pesut juga," katanya. Yang paling rawan adalah soal pengawasan. Siapa yang bisa mengawasi lahan seluas itu? Ini juga terkait dengan biaya operasional untuk melakukan pengawasan tersebut. Seingat Agus, sedikit sekali komunikasi yang terjalin dengan pemerintah daerah. Terkait upaya penyelamatan lingkungan. Makanya ia kaget dan belum mengetahui lebih detail Perda Rencana Zona Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Ia menyayangkan tidak diajak berdiskusi. Sebelum perda tersebut disahkan. Keresahannya sedikit banyak sama seperti apa yang dikeluhkan para nelayan. Yang wilayah tangkapnya dibatasi. Dalam perda RZWP3K zonasi wilayah pesisir berada antara 0-12 mil. Artinya nelayan hanya boleh menangkap ikan selepas 12 mil tersebut. "Sekarang mangrove ini masuk dalam wilayah penentuan zona-zona tersebut. Jangan dilihat pesisir itu wilayah garis pantai saja," katanya. Secara geografis, lanjutnya, letak kawasan mangrove memang tidak bersinggungan langsung dengan zona industri. Jauh dari jalur hilir mudik pengangkutan batu bara. Namun jika perda RZWP3K lebih condong kepada sektor industri, maka ia khawatir atas keberlangsungan ekologi biota laut dan segala macam hewan yang bergantung pada hutan bakau. Tak bisa dimungkiri, jika kawasan mangrove menjadi hulu dari segudang masalah dan maslahat di pesisir, katanya. Di sisi lain, ia merasa kawasan mangrove lebih terancam dengan perkembangan lahan permukiman. "Karena dari sekitar 150 hektare lahan ini, pemerintah baru punya 7 hektare. Sisanya masih dimiliki masyarakat dan pelaku industri yang punya hak penggunaan lahan. "Undang-undang yang mana yang mau diterapkan. Undang-undang soal pesisir di pusat mengatur penggarapan lahan oleh warga. Ini harus dikembalikan. Dulu kan pemerintah juga yang membuat (beleid) itu," katanya. Menurutnya, upaya pemerintah harus lebih dari sekadar merangkul orang yang memiliki lahan di kawasan hutan bakau. Tapi harus ada upaya nyata seperti pembebasan lahan.

SULIT MENDATA POPULASI

Amir Ma'ruf memperkirakan total penurunan luasan kawasan habitat monyet bekantan di Kalimantan Timur mencapai 70 persen. Ia adalah peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KASDA). Kantornya di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar). “Hanya 30 persen habitat yang masih bagus dan layak bagi keberlangsungan hidup bekantan," ucap Amir kepada Harian Disway Kaltim dan nomorsatukaltim.com, Kamis (18/12/2020). Ia mengaku kesulitan memperoleh data total luas kawasan habitat bekantan. Pun begitu untuk memantau perkembangan populasi hewan bernama latin Nasalis Larvatus itu. Untuk memperoleh itu, kata dia, memerlukan waktu panjang serta sumber daya memadai untuk melakukan penelitian. Menurutnya, secara umum ancaman terhadap habitat bekantan terjadi di semua tempat. Masalahnya hampir sama. Yakni meluasnya wilayah permukiman penduduk, kemudian alih guna lahan menjadi usaha perikanan tambak dan keberadaan industri yang bersinggungan langsung dengan ekosistem bekantan. Doktor bidang ilmu kehutanan yang konsen meneliti spesies primata itu menuturkan, bekantan lebih cenderung hidup di habitat mangrove dan riparian—suatu lingkungan peralihan perairan ke darat. Walaupun ia juga menemukan kelompok bekantan di pinggir pantai sepanjang pesisir Balikpapan Timur hingga Samboja, Kukar. "Survei kami beberapa bulan lalu menemukan ada empat kelompok di Sungai Manggar dan kawasan pesisir ke arah selatan," terangnya. Dalam penelitiannya, Amir juga menemukan sebagian kecil kelompok satwa primata itu tinggal di rawa-rawa. Bekantan memilih habitat yang bisa menyediakan pakan dan yang bisa memberi ruang untuk menghindari predator. Kemudian ruang untuk berinteraksi dan bersosialisasi antara individu satu dengan individu lainnya. "Kalau habitat semacam itu mengalami perubahan, karena adanya pemanfaatan oleh manusia, tentu saja bekantan akan terganggu," ujarnya. Dalam catatan Amir, bekantan di Kalimantan Timur tersebar di hampir seluruh wilayah provinsi ini. Mulai dari ujung selatan; Teluk Adang di Kabupaten Paser sampai ke ujung utara Kaltim di Kabupaten Berau. Hewan berbulu kecokelatan itu pada kebanyakannya menempati habitat yang ditumbuhi vegetasi mangrove di sepanjang pesisir dan sungai-sungai kecil. Yang masih menyimpan sumber pakan tentunya. Populasi terbanyak dikatakan ada di Teluk Balikpapan, Delta Mahakam dan Sungai-Sungai di Kabupaten Berau. Menurut survei dan penelitian yang pernah dilakukan Balitek KSDA Samboja, sekitar dua tahun lalu di Teluk Balikpapan, populasinya masih sekitar 1.500-2.000 individu bekantan. Tersebar dari bagian muara hingga ke hulu teluk di Sungai Sepaku. "Survei dilakukan menggunakan perahu menyisir habitat pada saat jam-jam aktif bekantan. Lalu observasi dan mendata secara langsung. Untuk menghindari pendataan dua kali. Kita menandai kelompok-kelompoknya. Baik individu maupun jumlah dan komposisi berdasarkan jenis kelamin," papar Amir. Kendala dalam melakukan observasi, kata dia, kesulitan mendekati objek. Bekantan dikenal sebagai hewan pemalu. Sehingga cenderung menghindar dari manusia. Namun di beberapa tempat, ada bekantan yang sudah sangat adaptif. Seperti di daerah Sungai Hitam Samboja. "Karena habitatnya di sana sudah terfragmentasi. Terputus dikelilingi permukiman. Jadi enggak begitu takut dengan manusia".

MENJAGA HABITAT

Secara umum, kata Amir, populasi bekantan di Kaltim mengalami penurunan. Itu berdasarkan pengamatan yang dilakukannya selama bertahun-tahun. Namun ia belum bisa memastikan jumlah populasinya. Kekhawatiran terbesar bagi kelangsungan bekantan bila daya dukung habitatnya mengalami degradasi terus menerus. Hal itu secara otomatis akan mengurangi populasi bekantan. Bekantan adalah hewan yang cukup bisa beradaptasi dengan perubahan. Beberapa kelompok terlihat mulai bergeser ke wilayah darat. Mencari habitat dan sumber pakan alternatif. Dan beberapa temuan dari penelitian yang dilakukan Amir, menunjukkan bahwa bekantan memakan pucuk pohon karet di wilayah riparian. "Jadi sebenarnya, untuk mengetahui bahwa populasi bekantan mengalami penurunan bisa dilihat dari habitatnya. Kalau habitatnya berkurang bisa jadi populasinya berkurang," bebernya. "Kalau yang saya lihat habitatnya jelas mengalami pengurangan. Karena masifnya pertumbuhan pemukiman, usaha tambak dan industri”. Ia mengambil contoh di Teluk Balikpapan. Ancaman terhadap habitat bekantan yang paling menghawatirkan ialah keberadaan industri. Membuat habitat monyet belanda tersebut jadi terfragmentasi. Terbelah karena bukaan lahan.  Industri yang mendirikan bangunan di tengah-tengah habitat bekantan telah memutus jalur-jalur satwa. Sehingga terjadi semacam ecological fragmented. Ia menyimpulkan, berkurangnya habitat bekantan bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena hilangnya kawasan akibat alih guna lahan, atau terputusnya satu kawasan ekosistem (fragmentasi) yang juga disebabkan pembangunan. Masalah lainnya, konflik antara bekantan dengan manusia. Masyarakat yang tinggal berdekatan dengan habitat bekantan. Karenanya diperlukan pengaturan ruang yang baik. Misalnya, tetap mengakomodasi kebutuhan akan pembangunan dan industri, namun menyisakan sebagian untuk kawasan habitat bekantan. Itulah yang menurutnya sebagai win-win solution. Mewujudkan itu tidak mudah. Namun tak ada pilihan. Mau tidak mau ada habitat yang khusus untuk satwa-satwa liar itu. Jika ingin menyelamatkannya. Terkait kemungkinan adanya dampak dari pengesahan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) ia tak mau ambil pusing. Baginya mau zonasi atau tidak enggak masalah, asal habitat bisa dijaga. “Terus kalau ada zonasi, habitatnya tetap rusak sama juga," jelasnya.

MENGATUR BUKAN MENGGANGGU

Anggota Pansus RZWP3K, Sutomo Jabir mengatakan, perda yang sudah diketok itu tidak akan mengganggu habitat hewan laut. Justru menjadi semakin jelas dalam pengelolaan kegiatan sektor kelautan. “Supaya ada keteraturan. Dan ini amanat dari UU 23 Tahun 2014. Diserahkan ke provinsi dan harus dikeluarkan perda itu. Tujuannya untuk mengatur ruang di wilayah pesisir, penggunaannya seperti apa, sambil melihat ekosistem yang ada, dan kemudian melihat perencanaannya,” katanya, Jumat (18/12/2020). Sutomo adalah anggota DPRD Kaltim dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia juga anggota pansus RZWP3K. Ia beranggapan, hadirnya perda tersebut untuk menghindari adanya tumpang tindih penggunaan lahan dan tidak saling menyalahkan. Kemudian adanya kepastian dalam berinvestasi. “Kita juga semaksimal mungkin untuk tidak mengganggu habitat yang ada,” jelasnya. Tentang zonasi RZWP3K, ia tidak ingin tergesa-gesa dalam mengambil kebijakan. Terutama pembangunan di daerah pesisir. “Kita tidak ingin ceroboh. Kita melakukan uji publik, mendengar dari semua pihak,” terangnya. RZWP3K sendiri memiliki masa waktu panjang. Yaitu selama 20 tahun. Setiap lima tahun akan dilakukan evaluasi. “Kita paham juga karena belum sempurna,” ujarnya. Dalam RZWP3K sendiri itu bersifat mengatur kewenangan dalam aktivitas sektor kelautan. Contohnya seperti di Semenanjung Selat Balikpapan itu, yang kata dia banyak pelabuhan. Banyak kapal-kapal hilir mudik. “Itu kita tetapkan sebagai zona KDU Pelabuhan. Sehingga tidak menganggu dan tidak ada yang perlu dibenahi lagi,” terangnya. RZWP3K juga sudah mengatur yang dibolehkan beraktivitas dan yang tidak diperbolehkan. Namun, sebelum perda tersebut diterapkan akan ada adaptasi terlebih dahulu. Sehingga dengan adanya RZWP3K, dapat menjadi acuan bagi para nelayan ataupun pelaku lainnya dalam berlaut. (ryn/das/tor/dah)
Tags :
Kategori :

Terkait