2021, Kontrak Pembelian Batu Bara Tetap

Minggu 20-12-2020,13:18 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Soal kontrak pembelian batu bara di 2021 nanti, dijelaskan Eko tidak ada yang berubah. Kontrak tetap sama seperti tahun ini. Mengingat naik turun harga batu bara bisa berubah-ubah.

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Nilai ekspor barang migas Oktober lalu mencapai 57,50 juta dolar Amerika Serikat (AS). Turun 4,57 persen dibanding September lalu. Ekspor barang nonmigas sendiri mencapai 859,06 juta dolar AS. Nilai itu naik 8,28 persen dibanding September. Begitu kata Kepala Badan Pusat Statistik Kalimantan Timur (BPS Kaltim) Anggoro Dwitjahyono. Anggoro Dwitjahyono menyampaikan, kenaikan ekspor terjadi lantaran naiknya sebagian nilai ekspor barang nonmigas. Terlebih di sektor tambang. Menurut Anggoro, kenaikan nilai ekspor sangat dipengaruhi oleh naiknya nilai ekspor golongan barang bahan bakar mineral nonmigas. Yang mengalami kenaikan sebesar 15,40 persen. "Dan minyak nabati serta olahannya sebesar 17,32 persen,” ujarnya, Selasa (15/12) petang. Negara-negara tujuan utama ekspor nonmigas Kaltim ada di 3 negara. Yakni Filipina, India, juga Tiongkok. Dengan capaian masing-masing senilai 55,79 juta dolar AS, 212,68 juta dolar AS, dan 179,64 juta dolar AS. Peranan ketiga negara tersebut membuat ekspor nonmigas Bumi Mulawarman mencapai 55,79 persen. Terhadap total ekspor pada bulan kesembilan. Anggoro melanjutkan, persentase kenaikan terbesar ekspor nonmigas di Oktober jika dibandingkan dengan September terjadi ke negara Bangladesh. Sebesar 238,12 persen. Atau dari 11,43 juta dolar AS menjadi 38,64 juta dolar AS. "Sedangkan persentase penurunan terbesar terjadi di Taiwan, sebesar 37,06 persen, yaitu dari 70,27 juta dolar AS menjadi 44,23 juta dolar AS," tandas Anggoro. Kepala Bank Indonesia Perwakilan Kalimantan Timur (BI KPw Kaltim) Tutuk SH Cahyono memberikan tanggapan. Tutuk menyatakan, ada beberapa tantangan dalam pemulihan ekonomi Kaltim. Di mana rata-rata pertumbuhan ekonomi Kaltim relatif rendah. Jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi di Kalimantan, maupun nasional dalam 10 tahun terakhir. Menurut Tutuk, rendahnya rata-rata pertumbuhan ini seiring masih dominannya sektor ekstraktif batu bara. Dimana hal tersebut semakin menantang baginya. "Iya menantang, mengingat semakin terbatasnya tren kenaikan harga dan permintaan batu bara global. Karena beberapa negara tujuan ekspor mulai beralih ke sumber energi baru terbarukan," ucapnya dihubungi terpisah. Tutuk menerangkan, kondisi ini tidak lepas dari dampak COVID-19. Serta besarnya pengaruh sektor pertambangan yang melemah. Tetapi, ekonomi Kaltim sendiri masih ketergantungan dari tingginya permintaan ekspor batu bara. Diakui, hal tersebut perlu penguatan kebijakan soal percepatan hilirisasi. Yang bermuatan teknologi. Dan bernilai tambah. "Serta memiliki dampak ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja yang luas," lanjut Tutuk. Diakui Tutuk, denyut hilirisasi di Kaltim kini sudah mulai terasa. Seiring dengan mulai terealisasinya berbagai proyek hilirisasi. Seperti penambahan kapasitas industri pengolahan CPO menjadi biodiesel. Tak hanya itu, adanya proyek pengolahan coal to methanol juga menjadi bukti perkembangan hilirisasi di Kaltim sudah mulai terlihat. Menurut Tutuk lagi, proyek coal to methanol yang memanfaatkan cadangan batu bara Kaltim yang besar, seyogianya, bisa menimbulkan efek domino positif ke depan. Dengan meningkatnya investasi berkualitas. Untuk membangun hilirisasi lebih jauh di Kaltim. "Adapun, dari coal to methanol, bisa berkembang munculnya industri methanol to Olefin dan industri turunan lainnya. Sehingga diperlukan penciptaan iklim yang kondusif bagi masuknya investasi yang membangun industri hilir di Kaltim," ucapnya. Cukup berbeda, Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Samarinda (APBS) Eko Priyanto mengatakan, sektor ekstraktif di Kota Tepian geliatnya masih biasa saja. Atau tidak banyak. Beberapa hilirisasi industri di sektor batu bara, untuk di Samarinda masih belum terjadi. Ia menyatakan mungkin saja ada, tetapi tidak sebanyak yang diperkirakan. Disinggung kenapa bisa demikian, kata Eko Priyanto, lantaran nilai ekonomisnya yang tidak besar. Turunan batu bara sendiri masih belum diminati untuk dilakukan oleh para pelaku usahanya. Diterangkan Eko, alasan kenapa banyak pelaku usaha belum menerapkan hilirisasi, lantaran kalori batu bara di wilayah Kaltim yang tinggi. "Seperti briket. Itu lebih ribet, lebih mahal juga. Pemakaiannya juga kurang," jelasnya saat dihubungi melalui telepon seluler, Kamis (17/12). Kalau untuk batu bara, di Samarinda khususnya, dikatakan Eko pembelinya hanya dari domestik saja. Seperti pabrik-pabrik di Jawa Timur. Juga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Untuk pembeli ekspor dibeberkan Eko cukup banyak. Tetapi mengingat beberapa pabrik di Samarinda cakupannya kecil, jadi rata-rata pembelian batu bara di Samarinda dilakukan oleh trader batu bara. "Gabungan, dibeli trading, terus dijual langsung. Jadi trader yang jual ke luar, trader-nya lokal juga," ujarnya. Soal kontrak pembelian batu bara di 2021 nanti, dijelaskan Eko tidak ada yang berubah. Kontrak tetap sama seperti tahun ini. Mengingat naik turun harga batu bara bisa berubah-ubah. Produksinya pun, kata Eko, sesuai kemampuan perusahaannya. Mengingat tambang di Samarinda tidak terlalu banyak. "Kecuali ada kenaikan permintaan yang signifikan, berarti unit-unit produksinya bertambah. Selama unit produksi sama, jumlah produksi juga tidak banyak berubah. Rata-rata depositnya, cadangannya, pembelinya, disesuaikan. Per bulan juga produksi cuma 30.000 ton," bebernya. Perubahan soal kontrak pembelian batu bara ke depannya disampaikan Eko tidak akan berubah secara mendadak. Dan jumlah produksi per bulannya untuk satu perusahaan bisa saja tetap 30.000 ton. "Untuk tahun depan, jika jumlahnya tetap sama di tahun depan, masih bagus. Harapannya di pengusaha itu. Karena nilainya tinggi permintaan rendah, tetap saja. Jadi dengan kondisi begini sudah disyukuri," pungkasnya mengakhiri. (nad/eny)
Tags :
Kategori :

Terkait