Saya membayangkan Pemda bisa menguasai tanah 500 hektare di antara Manado-Bitung. Lebih baik kalau 1.000 hektare. Pemda jangan jual tanah itu. Sewakan saja. Kepada investor. Jangka yang agak panjang. Dengan murah.
Jangan investor diminta membeli tanah. Sudah tidak zamannya lagi. Investor zaman sekarang tidak mau ruwet. Dan lagi daerah tidak kehilangan aset itu. Suatu saat kelak nilainya tak terpermanai.
Andrei, yang lima tahun di Amerika, tentu punya pandangan global yang lebih baik. Untuk sementara, apa boleh buat, Manado hanya bisa tumbuh dari dalam.
Pertumbuhan di dalam itulah yang pada saatnya akan menjadi daya tarik investor dari luar. Manado harus jadi pusat orang kreatif. Industri seperti musik dan film mestinya menjadi salah satunya. Andrei pasti bisa mengomandaninya. Masyarakat Manado harus diberi banyak tantangan. Yang berat-berat. Agar terus kreatif. Agar tidak sibuk bertengkar di dalam.
Andrei akan mampu menjadi dirijen yang baik. Apalagi ia pernah dua tahun menjadi konsultan yang bekerja di Arthur Andersen Jakarta –satu dari empat konsultan terbesar di dunia.
Ia tahu zaman kopra –yang membuat Manado jaya– sudah lama berlalu. Mungkin ia masih sempat melihat kejayaan Manado itu di masa kecilnya. Tapi zaman berubah cepat.
Cengkeh –andalan kedua kejayaan Manado– juga sudah lama berlalu. Andrei tahu sendiri itu. Ia bisa sekolah ke Amerika antara lain karena cengkeh.
Ayah Andre adalah orang yang menjadi kaya karena cengkeh. Ketika zaman cengkeh berlalu sang ayah tetap cinta Manado. Ia investasi di hotel besar di Manado: Grand Puri. Dari sini bisa memandang Manado Water Front City. Bisa pula memandang pulau Bunaken yang terkenal itu. Pun bisa menatap Gunung Manado Tua yang seperti tumbuh dari dalam laut. Dan tentu juga bisa melihat Gunung Lokon yang sering batuk-batuk ringan itu. Saya beberapa kali menginap di situ.
Hotel inilah yang membuat Andrei pulang ke Manado. Sang ayah yang memanggilnya pulang. Krisis moneter 1998 terlalu parah. Proyek hotelnya itu terancam tidak bisa selesai. Ia harus membantu ayahnya.
Maka ia tinggalkan Arthur Andersen. Ia pulang. Ia berhasil menyelesaikan hotel itu –lewat berbagai restrukturisasi.
Andrei akan menjadi contoh yang lain lagi. Apakah pengusaha seperti Andrei bisa ikut mengatur negara. Tentu, mestinya, Andrei tidak perlu lagi mencari apa-apa. Hartanya sendiri sudah lebih dari Rp 300 miliar. Betapa pula kalau disatukan dengan harta orang tuanya.
Andrei tidak tahu generasi keberapa yang lahir di Manado. Bahkan istrinya sudah lebih mempribumi lagi.
Mereka inilah yang menurut Weliam H Boseke sebagai keturunan dinasti Han di Tiongkok. Yang sudah menjadi ”suku Manado” atau suku ”Minahasa”.
Bulan lalu Boseke diundang ke Surabaya. Untuk membedah bukunya berjudul ”Leluhur Minahasa” (Disway 29 Oktober/Boseke Minahaizi). Saya ikut diminta membahasnya. Bersama Prof Dr Perry Rumengan, ahli etnomusikologi dari Universitas Negeri Manado. Juga Soetijadi Judo, pengusaha besar Tionghoa Surabaya yang hari itu mendapat marga Manado, Ratulangi.
Meski menamatkan SMA-nya di sekolah Katolik Manado, Andrei tetap ikut agama orang tuanya: Konghucu. Tiap bulan purnama Andrei ke kelenteng Ban Hin Kiong yang di pusat kota itu. Yang terkenal sebagai ”Kelenteng Berdewa”.
Tidak setiap Imlek dewa di situ mau memberkati jemaatnya. Tergantung firasat yang didapat suhu di situ. Maka setiap menjelang Imlek orang Tionghoa menunggu berita dari Manado: dewanya akan keluar atau tidak.