OLEH: JUMARNI*
Masalah lingkungan hidup dan perusakan alam yang menyebabkan hilangnya keseimbangan pada alam mengancam seluruh umat manusia. Ancaman terhadap alam ini melahirkan kecemasan-kecemasan. Karena rusaknya lingkungan dan pengurasan sumber daya alam. Pakar Islam, Yusuf Al-Qardhawi mengatakan, “Seandainya lingkungan mempunyai pendengaran untuk mendengar dan mulut untuk berbicara, akan terdengarlah teriakan histeris dari terbakarnya ozon, yang diiringin dengan rintihan air sepanjang sungai dan lautan karena terisi oleh percikan-percikan minyak, dan sekaranya udara yang tercekik oleh gas-gas mati dari industri-industri, peluru-peluru di seluruh belahan bumi ini.”
Oleh sebab itu, menjaga lingkungan semakin disadari berlandaskan nilai pentingnya. Kesadaran itu muncul setelah dirasakan adanya keterkaitan erat antara lingkungan dengan hari yang akan datang terhadap kehidupan bumi. Sehingga timbul kerusakan di mana-mana. Yang ditimbulkan oleh perlakuan semena-mena terhadap alam dan lingkungan (Hasbi Umar, 2007:211).
Manusia memiliki peranan penting dalam melestarikan lingkungan. Ada tiga hal yang menjadi peranan tersebut. Pertama, untuk mengabdi pada kepada Allah. Hal ini diisyaratkan dalam firman Allah, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Ibadah yang dimaksud merupakan segala sesuatu yang disenangi Allah dan diridhai-Nya. Baik berupa perkataan maupun perbuatan. Maka dalam konteks ini, sebenarnya ibadah itu mencakup semua aspek kehidupan.
Kedua, sebagai khalifah Allah di atas muka bumi. Allah memaparkan hal ini dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Agar praktik kekhalifahan ini terwujud, mereka dituntut untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan.
Ketiga, membangun peradaban di muka bumi. Allah menyebutkan, “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmurnya”. Arti kata “menjadikan pemakmurnya” ini mengandung pesan pada manusia untuk membangun dan menjaganya. Ikhtiar dalam membangun bumi akan sempurna lewat cara menanam, membangun, memperbaiki dan menghidupi, serta menghindarkan diri dari hal-hal yang merusak. Dengan demikian, tujuan-tujuan tersebut saling melengkapi dan menyempurnakan. Karena membangun bumi, termasuk dalam konteks pelaksanaan tugas kekhalifahan, kedua-duanya merupakan bentuk paling konkret dari ibadah kepada Allah SWT. Sebagaimana ibadah tidak berarti apa-apa tanpa dibarengi dengan niat untuk beribadah. Pengimplementasian dalam pencapaian makna akan tercapai apabila manusia dalam kapasitasnya benar-benar melaksanakan tugasnya dengan maksimal. Sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh kalangan atas maupun bawah.
Rasulullah diutus ke dunia membawa rahmat untuk alam dan memperbaiki akhlak manusia (Said Hawwa, 2004:434). Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin karena berdasarkan Alquran, dan diutusnya Rasulullah untuk umat manusia dalam rangka untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Islam sebagai addien lil’alamin melalui sumber utamanya Alquran dan Al-Hadits sangat besar menaruh perhatian terhadap lingkungan. Sehingga Islam menyetarakan pemeliharaan lingkungan dengan menjaga agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Dengan demikian, dalam mewujudkan konsep Islam sebagai agama ramah lingkungan, Yusuf Al-Qardhawi memandang perlu tuntunan etika dalam berperilaku terhadap lingkungan.
Qardhawi menjelaskan, pada intinya persoalan lingkungan hidup adalah persoalan etika. Etika tidak terlepas dari moral. Dengan demikian, solusi yang paling efektif harus bersandar pada moralitas manusia. Yaitu dengan cara revitalisasi nilai-nilai moral, keadilan, kebaikan, kasih-sayang, keramahan dan sikap tidak sewenang-wenang. Dari hal seperti inilah perlu dikaji secara lebih mendalam. Dalam rangka memformat konsep etika lingkungan yang berbasis agama. Yang bersumber dari nilai-nilai Alquran dan As-sunnah.
ETIKA SESAMA MANUSIA
Qardhawi berpendapat, setiap muslim agar setiap hari yang dijalani tidak luput dari mengerjakan kebaikan serta melakukan amal sosial dengan ikhlas tanpa paksaan. Dan dalam berbuat baik berdampak pada upaya dalam menumbuhkan rasa cinta pada sekelilingnya. Yang terdiri dari makhluk hidup dan makhluk mati. Menurut Qardhawi, berbuat baik merupakan amal yang lebih tinggi tingkatannya dari berlaku adil. Jika berlaku adil adalah memberikan sesuatu sesuai dengan hak-haknya, maka berbuat baik menambah dari sekadar hak yang memang sudah semestinya diperoleh. Kemudian dalam berbuat baik kepada muslim maupun non-muslim, terlebih lagi kepada kaum lemah, termasuk anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil, para janda, serta para budak.
Kekayaan nabati telah memberi manusia buah-buahan yang segar, tempat bernaung yang teduh, pemandangan yang indah, dan manfaat-manfaat lain yang dapat dinikmati. Itulah nikmat Allah yang harus disyukuri dengan terus menjaga dan memeliharanya dengan baik. Dalam kondisi dan situasi tertentu. Mengenai pemeliharaan kekayaan nabati dalam Islam, Qardhawi mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang berisi konsep tentang larangan penebangan pohon, “Barang siapa yang menebang pohon sidrah, maka Allah akan mencelupkan kepalanya ke dalam neraka.” Pohon sidrah yang dimaksud adalah pohon yang tumbuh di padang pasir dan tahan panas. Yang dimanfaatkan manusia untuk berteduh dan diambil buahnya jika mereka sedang dalam perjalanan atau ketika mencari rerumputan dan tempat tinggal serta tempat gembalaan dan tujuan-tujuan lainnya.
Islam berusaha menjaga lingkungan dan elemen-elemennya dengan cara memberikan tuntunan moral, aturan perundang-undangan, serta meningkatkan pertumbuhan dan keindahannya. Selain itu, menurut Qardhawi, Islam juga menentang keras setiap bentuk tindakan yang merusak lingkungan maupun menghancurkan elemen-elemennya. Dengan menganggap hal tersebut sebagai tindakan terlarang yang akan memperoleh hukuman dari Allah. Dan setiap tindakan terlarang wajib dihentikan serta diubah. Baik dengan menggunakan tangan, perkataan, ataupun hati. Yang terakhir ini adalah selemah-lemahnya iman.
Ada beberapa bentuk pengrusakan lingkungan dengan berbagai motif yang melatarbelaknginya. Yang kesemuanya itu merupakan tindakan terlarang menurut perspektif syariat Islam. Pertama, pengrusakan dengan motif kekerasan. Di antara bentuk pengrusakan yang dilarang oleh syariat ialah pengrusakan terhadap kekerasan dalam bentuk kekerasan terhadap makhluk Allah. Terutama menyangkut spesies binatang.
Kedua, pengrusakan dengan motif amarah. Ialah pengrusakan yang didasari rasa amarah. Terlebih jika di kemudian ahri berdampak pada bencana kolektif. Karena memang amarah sering kali menyebabkan seseorang terjebak dalam tindakan membabi-buta serta hilangnya budi pekerti. Dalam berbagai hadis sahih, secara eksplisit disebutkan larangan membakar dan menyiksa makhluk apa pun dengan mempergunakan api. Khususnya dalam beberapa hadis, larangan tersebut termaksud semut, lebah, burung pelatuk, dan lain-lain.
Ketiga, pengrusakan dengan motif sia-sia. Yaitu pengrusakan yang dilakukan tanpa tujuan atau manfaat tertentu yang melatarbelakanginya. Di antara hal bersinggungan terhadap hal tersebut ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ia berjalan menjebak burung dara atau ayam seraya melemparinya. Ketika melihat Ibnu Umar, kedua pemuda tadi langsung kabur. Maka Ibnu Umar berkata, “Siapakah yang telah melakukan ini? Allah akan melaknat orang yang telah melakukannya. Karena Nabi melaknat siapa pun yang menyiksa makhluk yang bernyawa dengan sengaja!” Hal ini sama dengan pengrusakan tanpa keperluan yang mendesak.
Keempat, pengrusakan karena lalai dan meremehkan. Baik yang memyangkut hewan, tumbuhan, maupun makhluk mati. Kelima, larangan pengrusakan dalam perang. Syariat Islam tidak memperbolehkan pengrusakan terhadap elemen-elemen lingkungan. Bahkan dalam situasi perang sekalipun. Padahal saat itu, orang-orang sengaja keluar dengan target tertentu. Melabrak segala ikatan. Biasanya dengan menebangi pepohonan, membakar gedung-gedung, menghancurkan bangunan, membunuh hewan-hewan tanpa memakannya, bahkan musuh-musuh mereka. Cara-cara semacam inilah yang dilarang oleh Islam dalam peperangan. (*Peserta PKU XIV Unida Gontor)