Namanya sudah disebut-sebut dalam mufakat gelap. Beberapa panggilan dari punggawa militer sudah ia penuhi. Ia jelaskan pula duduk persoalannya. Yang ia ketahui. Saatnya ia menceritakan ke publik. Masyarakat harus tahu. Apakah nantinya harus bersentuhan dengan hukum? Atau dinyatakan bersalah. Itu urusan nanti.
MUFAKAT KANJENG SINUHUN - PUKUL 08.00, Khairul sudah bersiap. Ia mengenakan batik warna cokelat dipadukan dengan celana kain hitam. Ini hari Jumat. Jadi tak perlu mengenakan seragam Pemangku Kota Ulin. Batik malah sudah menjadi kebiasaan setiap hari itu.
“Beneran mau ke kantor?,” sapa sang istri, Julia. Sambil membawakan sepatu pantofel yang baru saja disemir mengkilat.
“Iya mah, dari pada di rumah. Persoalannya juga tak akan selesai-selesai,” jawab Khairul.
Julia juga tampak ikut terpukul dengan pemberitaan mengenai suaminya itu. Yang disebut-sebut terlibat dalam permufakatan gelap. Apalagi terhadap anak-anaknya. Ia khawatir menjadi bahan olokan teman-temannya di sekolah. Untung saja si bungsu sudah SMA tingkat akhir. Sudah cukup bisa memahami dan kuat menghadapi cobaan yang menimpa ayahnya itu.
Khairul kembali ke dalam kamarnya. Ia lupa membawa peci hitam yang biasa ia kenakan. Kemudian pamit pada Julia. “Ya sudah, berangkat dulu ya”. Julia hanya mengangguk sambil memperhatikan Khairul hingga masuk ke dalam mobilnya.
Sampai di kantor Pemangku Kota Ulin, Khairul bergegas menuju ruangannya. Ia sedikit enggan menjawab banyak pertanyaan dari kolega dan bawahannya di kantor itu. Hera, staf Hairul, tampak sudah ada di ruangan.
“Pagi pak,” sapanya.
“Pagi Hera. Apa ada pesan pak Sultan atau berkas yang harus saya tandatangani,” kata Khairul.
“Ada pak, sebentar saya antar ke ruangan bapak. Kalau dari Pak Sultan, belum ada. Biasanya langsung menghubungi bapak,” jawab Hera.
“Kemarin memang banyak wartawan yang datang ke sini. Tanya bapak. Katanya susah dihubungi. Sudah seminggu ini banyak yang menanyakan bapak”.
“Ok, nanti biar langsung menghubungi saya saja”—Khairul pun berlalu memasuki ruangannya.
Koran terbaru di atas mejanya langsung ia sambar. Sambil menyandarkan kepalanya dikursi, Khairul mulai membaca satu persatu. Apakah ada berita terkait dirinya? Terkait mufakat gelap itu. Ternyata tidak ditemukan. Alhamdulillah – gumamnya.
Tapi, ada berita soal penggeledahan Kantor Bidang Pertanian oleh para punggawa militer. Ia pun membaca dengan seksama. Apakah ada namanya disebut-sebut. Ow.. ternyata juga tidak ada. Hanya penggantinya Sesepuh Bidang Pertanian yang disebut. Saat penggeledahan itu tak ada di tempat. Kali ini, aman dari pemberitaan.
Setelah selesai baca. Ia melihat jam. Baru pukul 09.00. Oh—palingan belum pada datang Kaum Hermes. Biasanya mereka berkumpul di lobi kantor Pemangku Kota Ulin itu mulai pukul 10.00-an. Kemudian, ia menandatangani berkas harian yang sudah diletakkan Hera di atas mejanya. Dan membaca-baca berkas selama sepekan yang belum sempat ia pelajari.
Kehadiran Khairul di kantornya, ternyata tercium oleh Kaum Hermes. Abe dan Henry Natan sudah berkumpul bersama Kaum Hermes lainnya di lobi kantor Pemangku Kota Ulin. Mereka berencana menunggu Khairul keluar dari ruangannya.