Sidang pemeriksaan saksi kasus dugaan suap kepada Bupati Kutim nonaktif Ismunandar oleh dua rekanan swasta telah usai pekan lalu. Sejumlah fakta yang tersaji di persidangan telah disampaikan seluruhnya. Di sidang kali ini, dua terdakwa mengakui seluruh perbuatannya.
nomorsatukaltim.com - Terdakwa pertama, Aditya Maharani Yuono dihadirkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Samarinda, yang dipimpin oleh Agung Sulistiyono, dengan didampingi hakim anggota Joni Kondolele dan Ukar Priyambodo, Senin (9/11/2020). Ia selanjutnya dicecar ragam pertanyaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di awal pertanyaannya, JPU mengulas lebih dalam terkait tujuan pemberian uang sebesar Rp 5 miliar. Direktur PT Turangga Triditya Perkasa ini diketahui memberikan uang dengan jumlah besar secara bertahap kepada Ismunandar melalui Musyaffa, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kutim. Uang tersebut digunakan Ismunandar untuk membayar sisa utang semasa kampanye di Pilkada sebelumnya.
Di hadapan majelis hakim, Aditya Maharani menjelaskan, uang yang ia berikan kepada Bupati Kutim nonaktif itu jatuhnya sebagai utang piutang.
"Utang itu sudah dibayar sama pak Ismunandar, jadi sisa Rp 2,5 miliar," ungkap Aditya Maharani memberikan keterangannya.
Lanjut Aditya Maharani, awalnya ia mengaku tak mengetahui uang yang diberikan secara bertahap kepada Musyaffa itu untuk Ismunandar. Dia baru mengetahui belakangan, setelah beberapa kali meminta pembayaran utang kepada Musyaffa.
"Jadi beberapa kali saya minta, tapi tidak dibayar-bayar. Baru pak Musyaffa bilang untuk minta langsung ke Pak Ismu (Ismunandar), baru tahunya itu. Saya kemudian meminta ke pak Ismu, saya bilang, utang bapak masih sisa Rp 2,5 miliar sama saya," terangnya.
Tujuan Aditya Maharani memberikan uang dengan jumlah besar itu, diakuinya guna membangun kepercayaan agar mendapatkan sejumlah proyek pengerjaan di lingkungan Pemkab Kutim.
"Saya pikir dengan jabatan pak Musyaffa sebagai Kepala Bapenda, pastinya dia akan membayar utang itu. Selebihnya agar membangun kepercayaan, karena tahunya dia bisa membantu soal proyek pengerjaan," ucapnya.
Aditya Maharani juga mengakui telah memberikan uang tunjangan hari raya (THR) dengan besaran Rp 100 juta kepada Ismunandar, Musyaffa, dan Suriansyah, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).
"Saya ditanya, adakah THR-nya? Kemudian saya kirimkan. Iya masing-masing segitu (Rp 100 juta). Dan ada juga saya berikan THR ke pegawai lainnya," katanya.
Sementara itu, disinggung terkait temuan berupa paket sembako di rumah pemenangan Ismunandar. Diakuinya paket itu adalah miliknya. Namun bukan untuk membantu kampanye Ismunandar, melainkan guna membantu warga di tengah pandemi.
"Saya memang mau bagi-bagi tepung dan mentega itu ke warga. Saya dihubungi pak Ismu, diajak barengan bagi-bagi sembako. Jadi saya titip di sana," ucapnya.
Imbalan dari keloyalannya, Aditya Maharani mendapatkan berbagai pengerjaan proyek infrastruktur di lingkungan Pemkab Kutim. Sedikitnya ada 19 proyek penunjukan langsung (PL) dan 6 proyek lelang di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Pemkab Kutim.
Hasil dari pengaturan Musyaffa. Enam paket proyek itu terbagi dari pengerjaan pembangunan embung di Desa Maloy senilai Rp 8,3 miliar, pembangunan rumah tahanan Polres Kutim Rp 1,7 miliar, dan pembangunan Jalan Poros di Kecamatan Rantau Rp 9,6 miliar.
Kemudian, pembangunan Kantor Polsek Kecamatan Teluk Pandan senilai Rp 1,8 miliar, optimalisasi pipa air bersih senilai Rp 5,1 miliar, serta pengadaan dan pemasangan lampu penerangan jalan umum (LPJU) di Jalan APT Pranoto Sangata senilai Rp 1,9 miliar. Untuk enam paket pengerjaan proyek ini, totalnya senilai Rp 15 miliar.
Pada 7 Juni 2020, Aditya Maharani yang menggarap enam proyek mendapatkan termin pencairan. Yang kemudian dihubungi oleh Musyaffa hasil perintah dari Ismunandar. Kepadanya, Musyaffa meminta sejumlah uang, yang disebut sebagai biaya operasional sebesar Rp 650 juta.
Permintaan Ismunandar melalui Musyaffa itu baru bisa dipenuhi Aditya Maharani pada 12 Juni 2020. Dengan baru bisa menyanggupi memberikan uang sebesar Rp 550 juta. Uang tersebut ditransfer ke Suriansyah, Kepala BPKAD melalui stafnya.
Uang yang telah diterima, selanjutnya diserahkan Suriansyah kepada Ismunandar. Sementara sisa uang RP 100 juta, ditransfernya melalui ajudan Bupati Kutim.
Di hadapan majelis hakim, Aditya Maharani kembali menjawab pertanyaan dari JPU. Hal ini terkait berapa keuntungan yang diterimanya hasil mengerjakan proyek Pemkab Kutim. Ia mengaku, dari sekian banyak PL yang dikerjakan olehnya, hanya sekitar 35-40 persen yang baru dicairkan pembayarannya.
Terdakwa pun sempat ngedumel, lantaran belum selesai dibayar hasil pengerjaan sebelumnya, namun sudah muncul lagi proyek baru. Ditambah ketika dilanda pandemi COVID-19. membuat semua anggaran tertahan, sehingga tak bisa cair.
"Banyak PL yang dikerjakan, cuman saya tidak detail menghafalkannya. Dari sebanyak itu baru 35-40 persen yang cair, terus muncul lagi proyek baru," ungkapnya.
Singkatnya, Aditya Maharani lebih kooperatif membenarkan perihal dugaan suap sesuai yang telah didakwakan.
Sidang pun kemudian dilanjutkan dengan menghadirkan terdakwa kedua, Deki Aryanto selaku Direktur CV Nulaza Karya. Sejak dibukanya sidang perkara Deki Aryanto, JPU segera mempertanyakan terkait pemberian uang sebesar Rp 5 milar kepada Musyaffa sesuai permintaan Ismunandar.
Diketahui, permintaan uang itu untuk biaya kampanye Pilkada. Pemberian uang sebesar itu berawal dari telepon dari Musyaffa yang meminta bantuan kepadanya. Namun Deki hanya mampu menyanggupinya sebesar Rp 3 miliar.
"Di sini (keterangan dalam BAP) terdakwa menjelaskan ya, sesuai dengan permintaan Musyaffa, terdakwa mempersiapkan uang tunai sebesar Rp 3 miliar dibagi menjadi dua. Sebesar Rp 2 miliar dikemas dan disimpan didalam tas. kemudian uang tersebut diserahkannya kepada Musyaffa di kediamannya," tanya JPU.
"Benar, Bu," jawab Deki.
Setelah memberikan uang sebesar Rp 2 miliar di kediaman Musyaffa, selanjutnya Deki kembali menyerahkan uang sebesar Rp 1 miliar.
"Untuk uang sebesar Rp 1 miliar ini juga ditaruh ke dalam tas berbeda ya, kemudian saudara serahkan secara langsung di kantornya. Benar seperti itu?" tanya JPU lagi.
"Benar Bu. Pak Musyaffa memang beberap kali minta. Saya awalnya enggak mau, tapi ya saya sanggupi. Katanya uangnya digunakan berkaitan dengan pilkada," timpalnya.
Setelah menerima uang dari Deki Aryanto, Musyaffa memerintahkan stafnya untuk menyetorkan uang ke lima rekeningnya. dengan masing-masing sebesar Rp 200 juta. Uang tersebut kemudian diberikan kepada Ismunandar.
Selanjutnya, terdakwa Deki juga memberikan sejumlah barang mewah hingga uang kepada istri Ismunandar, Encek UR Firgasih, yang juga Ketua DPRD Kutim.
"Saudara terdakwa ada diminta menyediakan motor jenis Honda ya sama Bu encek. Itu uangnya hasil mana? Apakah fee pengerjaan atau gimana?" tanya JPU.
"Saya lupa uangnya dari mana, cuman memang kalau ada uang saya penuhi," jawabnya lagi.
Deki pun membantah terkait selalu menyediakan apa yang menjadi permintaan dari Ketua DPRD Kutim tersebut.
"Apa yang diminta Bu Encek, saudara selalu penuhi ya," ucap JPU.
"Tidak semua, saya juga ada menolak, kalau ada uang saja," ungkapnya.
Seperti diketahui, kepada Deki, Istri Bupati Kutim itu meminta dibelikan satu unit motor CFR-150 seharga Rp 35 juta. Motor itu untuk keponakannya. Permintaan pembelian satu unit motor mewah ini, berlangsung via pesan WhatsApp. Yang kemudian disanggupi oleh terdakwa Deki Arianto, dengan membayar setengah harga dari motor tersebut.
Kepada majelis hakim, Encek yang sebelumnya dihadirkan sebagai saksi di persidangan, menyampaikan alasannya meminta dibelikan motor tersebut kepada Deki. Lantaran merasa sudah memberikan pekerjaan berupa paket PL. Atas dasar itu Encek merasa memiliki hak, untuk meminta bantuan kepada terdakwa Deki.
Sejak di awal permintaan itulah, Encek mengaku kerap meminta bantuan hal-hal tak terduga kepada Deki. Tepatnya pada 15 Mei 2020. Encek lagi-lagi meminta sejumlah uang dengan besaran Rp 60 juta. Uang itu digunakan untuk membeli satu unit mobil merek Daihatsu seharga Rp 180 juta.
Selain itu, ia juga meminta dibiayai disejumlah kegiatan yang diselenggarakan oleh Encek. Contohnya seperti memfasilitasi kegiatan olahraga di lingkungan Pemkab Kutim dan membantu warga yang memerlukan.
Selain itu, Deki juga men-transfer uang sebesar Rp 200 juta melalui rekening Irawansyah. Uang tersebut digunakan untuk keperluan kegiatan Encek. Uang itu kemudian digunakan untuk kegiatan HUT RI di desa dan kecamatan di Kutim.
Adapun timbal balik yang didapatkan dari memberikan uang dan barang kepada Encek, Deki menerima pengerjaan berupa proyek PL di Dinas pendidikan sebesar Rp 45 milliar. Proyek itu lebih dulu diatur antara Encek dan Musyaffa serta Suriansyah.
"Dari beberapa proyek yang saya kerjakan, soal fee ke Bu Encek, enggak ada komitmen," terang Deki.
Lanjut Deki mengatakan, ada sebanyak 407 paket PL yang ia kerjakan dari proyek di Dinas Pendidikan Pemkab Kutim untuk anggaran tahun 2020.
"Kalau soal keuntungan, paling banyak bisa 15 persen, per kontrak yang rasionya Rp 150 juta per kegiatan," imbuhnya.
PL sebanyak itu dikerjakan oleh terdakwa dengan menggunakan bendera perusahaan berbeda-beda. Hal ini dikarenakan setiap satu perusahaan kontraktor hanya diperbolehkan memegang lima proyek.
"Semua saya kelola sendiri. Hanya pinjam bendera sehingga semua saya yang atur," terangnya lagi.
Kendati banyaknya PL yang dikerjakan Deki, namun keuntungan yang diterimanya sangatlah sedikit.
"Kenapa berani memberi orang, sementara yang didapat sedikit saja dari proyeknya," Tanya JPU.
"Saya gak enakan orgnya pak," ungkapnya.
Setelah menyampaikan keterangannya, majelis hakim kemudian menutup persidangan dan akan dilanjutkan pada Senin (16/11) mendatang.
"Agenda selanjutnya dengan agenda bacaan tuntutan dari JPU. Terima kasih atas kelancarannya, dengan ini sidang ditunda dan dilanjutkan pada pekan depan," tutup Agung Sulistiyono sembari mengetuk palu persidangan. (aaa/zul)