Mengurai Kelemahan Program Edi-Rendi (1)

Senin 02-11-2020,08:04 WIB
Oleh: Disway Kaltim Group

Ketiga, Program Kukar Siap Kerja (Pusat Latihan Kerja Idaman Tiga Zona). Karena perkembangan pemikiran masyarakat terkait program-program kampanye di masa pemilu, ada kesan apriori, pesimis, dan respons negatif lainnya. Hal demikian cukup beralasan. Mengingat pengalaman yang telah mengajarkan betapa seringnya mereka kecewa setelah harapan melambung tinggi. Tapi tak pernah terwujud. Sebagian mereka bahkan telah mampu merasionalisasi antara janji kampaye dengan probabilitas (kemungkinan) program itu bisa diwujudkan.

Apa yang ditawarkan pada program kali ini tidak sulit untuk dapat diwujudkan. Ketika targetnya hanya membuat pusat latihan kerja di tiga zona. Tapi terkait dengan output pelatihan tersebut yang diharapkan mampu mencetak SDM siap kerja, sesungguhnya ini merupakan mimpi yang terlalu tinggi.

Dalam teori-teori SDM, para ilmuwan telah menegaskan, sesungguhnya tidak ada output lembaga pendidikan mana pun yang mampu mencetak SDM yang siap kerja. Semua output lembaga pendidikan harus beradaptasi terlebih dahulu. Dengan situasi dan kondisi dunia kerja. Apalagi pada lingkungan di mana mereka bekerja.

Perlu waktu yang memadai bagi siapa pun dan dari jebolan lembaga atau tingkat pendidikan mana pun. Untuk bisa membaur dan menyelaraskan dirinya. Dengan lingkungan. Di mana ia bekerja. Agar produktivitas kerjanya pada level optimal. Kalau pun SDM yang akan dicetak oleh pusat latihan kerja sebagaimana program kampanye paslon ini bisa memenuhi target yang memuaskan, maka pertanyaan utamanya, adakah wadah atau media kerja yang tersedia atau mampu disiapkan oleh daerah untuk menampung mereka?

Kalau sifatnya harus berdikari, maka apakah semuanya sudah memiliki modal? Apakah dukungan sumber daya produksi, baik peralatan, bahan baku sampai pasar komoditi, telah tersedia? Melihat keadaan sekarang ini dan prediksi sampai lima tahun ke depan, rasanya kebutuhan-kebutuhan tersebut menuai persoalan untuk dipenuhi. Bukankah hal seperti ini selalu menjadi masalah sejak dari dulu dan terus berulang? Sudah sekian banyak lembaga pelatihan dibuat oleh pemerintah. Tetapi tidak banyak membantu masyarakat. Karena ketersediaan pekerjaan yang sedikit. Dan faktor-faktor yang mampu menopang kemandirian berusaha bagi masyarakat. Yang tak kunjung dapat disediakan oleh pemerintah daerah. Sehingga program yang sebenarnya ditarget untuk mengatasi pengangguran ini selalu gagal memenuhi harapan.

Keempat, Program Kukar Berkah Rp 100.000.000 Per Pesantren. Mengingat pentingnya peran pesantren bagi upaya meningkatkan kualitas SDM, maka seyogianya semua pihak memberikan perhatian yang serius terhadap pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh pondok-pondok pesantren. Pondok pesantren yang umumnya didirikan dan dikelola oleh pihak-pihak non-pemerintah, banyak sekali menghadapi keterbatasan-keterbatasan. Dari fasilitas bangunan, fasilitas sarana belajar mengajar, sampai keterbatasan biaya operasional yang relatif besar dibandingkan sekolah umum. Karena pemondokan para siswa di asrama-asrama pesantren.

Dengan tawaran program paslon yang akan mengalokasikan dana hanya sebesar Rp 100 juta/tahun/pesantren, maka ini bukan menunjukkan keberpihakan kepada penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Tetapi sebaliknya program ini sesungguhnya cara untuk mengradasi komitmen kepada pesantren. Namun dibahasakan sebagai keberpihakan.

Alokasi anggaran sebesar Rp 4,3 miliar per tahun untuk 43 pondok pesantren di Kukar hanya 0,48 persen dari total anggaran pendidikan yang rata-rata sebesar Rp 900 miliar per tahun. Dengan asumsi APBD rata-rata sebesar Rp 4,5 triliun.

Sekali lagi kita tanyakan, dapatkah 0,48 persen alokasi anggaran untuk pondok pesantren dari total anggaran pendidikan sebagai komitmen keberpihakan? Apakah benar anggaran  Rp 4,3 miliar untuk 43 pondok pesantren dari total anggaran pendidikan sekitar Rp 900 miliar sebagai wujud komitmen? Apakah anggaran Rp 100 juta/pesantren dari total anggaran pendidikan Rp 900 miliar dapat memberi asumsi sebagai keberpihakan yang kuat?

Menyamakan dana yang diberikan untuk setiap pondok pesantren juga merupakan langkah yang tidak adil. Ini merupakan indikasi kuat bahwa program tersebut tidak berdasarkan data yang valid dan akurat. Perbedaan kondisi dan situasi untuk masing-masing pondok pesantren harusnya dapat menjadi tolak ukur. Untuk menentukan perbedaan dana yang dialokasikan untuk setiap pondok pesantren.

Rasanya tak berlebihan jika satu pondok pesantren diberikan dana minimal Rp 1-2 milyar/tahun. Karena hanya mengambil 4-9 persen dari total anggaran pendidikan. Dengan tetap memperhatikan situasi kondisi tiap-tiap pondok pesantren dan menetapkan jumlah dana yang sesuai dengan keadaan masin-masing. Keberanian seperti ini yang dapat disebut sebagai keberpihakan. (*Akademisi dan Politisi Partai Kebangkitan Bangsa)

Tags :
Kategori :

Terkait