Referendum Kaledonia Baru, Upaya Memisahkan Diri dari Prancis

Senin 05-10-2020,11:01 WIB
Reporter : bayong
Editor : bayong

Dalam analisisnya di The Sydney Morning Herald, Denise Fisher, penulis buku France in the South Pacific: power and politics (2013), menyebutkan bahwa pada 1980-an ketegangan antara penduduk asli suku Kanak dengan para pendatang menguat. Antara 1984 sampai 1985, sekitar 30 orang tewas akibat bentrokan antara kubu pro-kemerdekaan dan pro-Perancis.

Puncaknya, terjadilah Pembantaian Gua Gossanah, sebuah titik balik yang kelak memaksa Perancis mendengarkan aspirasi kelompok pro-kemerdekaan. Di tengah ketegangan itu, pada 13 September 1987 Perancis mengadakan referendum sepihak. The New York Times mencatat, keputusan Perancis diboikot oleh Front Pembebasan Nasional Sosialis Kanak, aktor utama gerakan kemerdekaan Kaledonia Baru. Namun, hasil referendum buatan PM Perancis Jacques Chirac akhirnya menguntungkan Prancis. Sebanyak 98,3 persen dari 50.257 pencoblos memilih untuk tetap bersama Perancis.

Kelompok pro-kemerdekaan yang mayoritas beranggotakan orang-orang Kanak menolak hasil referendum dan mengecamnya sebagai penipuan.

Lewat Persetujuan Matignon 1988, Perancis mengakomodir tuntutan kemerdekaan lewat janji referendum ulang pada 1998. Namun, Kesepakatan Noumea pada 5 Mei 1998 justru menunda pelaksanaan referendum sampai 20 tahun, atau hingga November 2018. Di bawah kesepakatan tersebut, Kaledonia Baru punya otonomi terbatas dalam sistem hukum Perancis. Sebanyak 3 perwakilan Kaledonia Baru pun diutus ke parlemen Perancis. Dengan format seperti ini, pemerintah Prancis mempertahankan otoritas atas pertahanan, keamanan dalam negeri, dan sejumlah urusan vital lainnya.

***

Dalam konteks geopolitik hari ini, penentuan nasib sendiri (self-determination) berkaitan langsung dengan masa depan stabilitas politik di Kawasan Pasifik Selatan. Prancis jelas diuntungkan dengan keberadaan Kaledonia Baru sebagai perwakilannya di kawasan yang sama.

Paris khawatir China akan menggerus pengaruh Perancis di Kaledonia Baru. Hal ini diungkapkan langsung oleh Philippe Gomes, politikus Kaledonia Baru berdarah Prancis dan pendiri Partai Caledonia Together.

“Jika merdeka, Kaledonia Baru terlalu kecil untuk disebut aman. Tempat ini akan jadi koloni China,” ujar Gomes dikutip dari The Telegraph.

China memang sedang memperluas pengaruh di kawasan Pasifik melalui bantuan luar negeri. Vanuatu, negara jiran Kaledonia Baru, telah disuntik dana segar lebih dari 60 juta poundsterling untuk membangun dermaga kapal perangnya. Bahkan China diprediksi akan membangun tangsi militer di Vanuatu. Seperti yang telah dibangun Beijing di Djibouti, Afrika Timur.

Kabar merapatnya Beijing ke Vanuatu disangkal oleh Menteri Luar Negeri Ralph Regenvanu. “Tak seorang pun di pemerintahan ini yang pernah membahas pangkalan militer China di Vanuatu,” tegas Regenvanu sebagaimana dilansir dari BBC. China pun belum mau mengomentari isu pendirian pangkalan militer luar negerinya di kawasan Pasifik.

Selama 6 bulan menjelang referendum pada 2018, hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga Kantor TNS menunjukkan bahwa 58 persen penduduk Kaledonia Baru menolak kemerdekaan. Hanya 12 persen yang mendukungnya. Adapun survei I-Scope memasang angka 66 persen penduduk yang ingin tetap bersama Prancis. Survei-survei tersebut juga menunjukkan aspirasi kemerdekaan hanya besar di pemukiman warga Kanak.

Mengutip data dari CIA World Factbook (2017), sekitar 39,1 persen dari 279.070 penduduk Kaledonia Baru adalah orang Kanak, 27 persen berdarah Eropa, dan sisanya adalah orang-orang Wallis, Futuna, Tahiti, Indonesia, dan Vietnam.

Kaledonia Baru menyimpan seperempat cadangan nikel dunia. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita penduduknya termasuk salah satu yang tertinggi di kawasan Pasifik. (rpk/jb/trt/qn)

Tags :
Kategori :

Terkait