Indonesia Diadang Deflasi Beruntun

Sabtu 03-10-2020,10:18 WIB
Reporter : bayong
Editor : bayong

Kepala Ekonom BCA, David Sumual mengatakan, deflasi mencerminkan aktivitas ekonomi yang melemah. Di satu sisi, deflasi meringankan beban masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan. Namun, di sisi lain, deflasi mencerminkan daya beli yang masih lemah. “Kondisi deflasi saat ini belum terlalu mengkhawatirkan. Ini cerminan dari resesi yang sedang terjadi saat ini,” ujar David.

Meski resesi ekonomi diprediksi lebih dalam dari perkiraan awal, menurut David, kondisi ekonomi domestik masih jauh dari depresi. Ekonomi suatu negara baru dapat dikatakan mengalami depresi jika terjadi resesi berkepanjangan lebih dari satu tahun.

“Kita dalam sejarah belum pernah mengalami. Salah satunya karena negara berkembang. Depresi ekonomi banyak terjadi pada negara maju. Misalnya Jepang,” katanya. 

Namun demikian, jika permintaan lemah, maka konsumsi rumah tangga akan sulit tumbuh. Padahal, konsumsi rumah tangga memberikan sumbangan paling besar pada perekonomian. Pelemahan daya beli saat ini terutama disebabkan oleh sikap golongan menengah atas yang memilih untuk menahan belanja akibat ketidakpastian pandemi COVID-19.

Dengan demikian, langkah terpenting untuk memulihkan daya beli ekonomi adalah memastikan penanganan kesehatan. Presiden Joko Widodo sebelumnya mengingatkan kedisiplinan menjadi cara paling ampuh untuk mencegah penyebaran COVID-19 sebelum vaksin tersedia. Masyarakat harus disiplin menerapkan gerakan 3M: menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.

Pasien positif COVID-19 bertambah 4.284 orang per 30 September 2020. Total Kasus mencapai 287.008 dengan 214.947 pasien dinyatakan sembuh dan 10.740 orang meninggal dunia.

Ekonom Indef Bhima Yudistira menilai, deflasi yang terjadi sebanyak 3 kali bisa membuat ekonomi Indonesia mengalami depresi.

“Situasi deflasi yang berkelanjutan bisa mengarah pada indikasi adanya depresi ekonomi. Kita tidak sedang menghadapi resesi. Tapi depresi,” ujar Bhima, di Jakarta, Kamis (1/10).

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Piter Abdullah juga menyebut deflasi pada September sesuai dengan perkiraan. Karena kondisi daya beli masyarakat yang masih lemah. Hal ini wajar terjadi ketika permintaan di pasar begitu rendah. Sementara pasokan barang cukup tersedia.

“Permintaan yang rendah diakibatkan menurunnya daya beli kelompok masyarakat bawah. Sementara masyarakat kelompok atas masih menahan konsumsi,” katanya. 

Selama wabah masih merebak, menurut Piter, daya beli masyarakat tetap akan lemah dan berpotensi menyebabkan deflasi pada bulan-bulan ke depan.

Permintaan yang lemah pun berdampak pada sektor usaha. Ini sudah ditunjukkan oleh data Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur pada September yang menurun dari 50,8 pada Agustus menjadi 47,2.

Penurunan ini merupakan yang pertama sejak April dan menunjukkan aktivitas manufaktur terkontraksi. Angka PMI di atas 50 menunjukkan ekspansi. Sedangkan di bawah itu menunjukkan kontraksi. 

Ekonom Core Yusuf Rendy Manilet menyebut, permintaan barang dan jasa yang berada di level rendah membuat banyak pabrik mengurangi proses produksi. Padahal, beban perusahaan seperti listrik atau gaji pegawai mesti tetap berjalan.

Hal ini pada banyak kasus akhirnya mendorong terjadinya efisiensi. Salah satunya melalui pemutusan hubungan kerja. Ia memperkirakan pengangguran pada tahun ini bertambah 15 juta orang akibat pandemi COVID-19.

***

Tags :
Kategori :

Terkait