Jakarta, nomorsatukaltim.com - Pemerintah tetap memutuskan Pilkada 2020 diselenggarakan walaupun kasus COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda dan vaksin belum ditemukan. Keputusan ini didukung oleh mayoritas anggota legislatif.
Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia mengatakan, Pilkada 2020 yang hari pencoblosannya direncanakan pada 9 Desember akan tetap dilaksanakan karena “seluruh tahapan yang sudah dan sedang berlangsung masih sesuai yang telah direncanakan dan situasi masih terkendali.”
Maksud “situasi masih terkendali” tidak tampak ketika melihat perkembangan harian kasus corona. Penambahan kasusnya konsisten di angka lebih dari 4.000 sejak beberapa hari terakhir.
Pada 26 September lalu, kasus bertambah sebanyak 4.494. Lebih rendah dari data sehari sebelumnya yang mencapai 4.823—penambahan terbanyak sejak Maret. Banyak pihak mendesak agar Pilkada 2020 sebaiknya ditunda. Mulai dari PBNU, Muhammadiyah, MUI, hingga beberapa organisasi kepemiluan. Dengan pertimbangan kesehatan.
Lebih jauh dari itu, sebagai bentuk lain penolakan, muncul lagi gerakan yang ramai digaungkan tiap kali pemilihan umum: golongan putih alias golput. Kampanye golput pada Pilkada 2020 pertama kali datang dari Azyumardi Azra, intelektual muslim dan guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, lewat Twitter. Ia mendeklarasikan diri akan golput sebagai bentuk solidaritas kepada para korban COVID-19 dan tenaga kesehatan yang bertugas.
“Pilkada di masa pandemi yang terus meningkat sekarang tanpa ada tanda pelandaian juga sangat membahayakan kesehatan pemilih. Di tengah kerumunan massa yang bisa meningkatkan jumlah warga terinfeksi dan meninggal dunia. Apalagi saya dan banyak senior citizen (manula) lain punya morbiditas tertentu yang rawan dan rentan,” kata Azra.
Pemerintah memang telah meniadakan kampanye yang mengandalkan kerumunan massa. Untuk mencegah penyebaran corona dan menghindari Pilkada 2020 menjadi klaster baru. Masalahnya potensi penularan tidak hanya dari sana. Tapi juga ketika perlengkapan pemilu didistribusikan.
Pengacara sekaligus mantan Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa mengatakan, golput adalah pilihan yang paling rasional ketika keselamatan publik terancam atau terdapat sistem politik yang keliru dijalankan oleh kekuasaan. Karena itu, ia mendukung kampanye golput.
“Jika ada imbauan untuk golput, maka hal tersebut harus dihormati dan didukung. Keselamatan publik harus diutamakan,” kata Alghif.
Sebaliknya, pihak-pihak yang tetap mendorong masyarakat untuk berkampanye dan masuk ke bilik suara di tengah pandemi seharusnya bisa dianggap sebagai bentuk kejahatan. “Sayangnya undang-undang kita tidak mengatur demikian,” ujarnya.
Salah satu yang melakukan itu adalah Polresta Malang. Mereka bahkan mengimbau warga tidak golput lewat Twitter. Alghif mewanti-mewanti bahwa “tidak ada larangan untuk golput atau mengajak golput.”
Kegiatan yang bisa dipidana adalah “menghalangi orang untuk memilih atau menyebabkan orang kehilangan hak pilihnya.” Ia menyinggung Wiranto yang pada Pilpres 2019 lalu, saat itu ia menjabat sebagai Menkopolhukam, memandang pihak-pihak yang mengajak tidak ke TPS (golput) sama dengan terorisme dan bisa dipidana.
Ada beberapa negara yang seperti Indonesia: ngotot menjalankan pemilihan umum di tengah pandemi. Gerakan golput pun muncul. Hal tersebut dipaparkan oleh Wakil Presiden periode 2004-2009 dan 2014-2019 Jusuf Kalla dalam opini berjudul Pilihan Menyelamatkan Rakyat di Kompas, Senin lalu. Ia mengambil contoh Queensland, Australia, yang menyelenggarakan pemilu pada 28 Maret lalu. Jumlah pemilih turun dari 83 persen menjadi 77,3 persen.
“Di Australia, memilih itu sifatnya wajib dan bagi yang tidak melakukannya akan diberi sanksi denda. Orang Australia lebih memilih kena denda daripada terinfeksi COVID-19,” tulis JK.
Pemilihan lokal di Perancis pada Maret lalu juga demikian. Jumlah pemilih hanya 44,7 persen dari sebelumnya 63 persen. Contoh lain, “Di awal penyebaran COVID-19, diselenggarakan pemilu di Iran, jumlah pemilih hanya 40 persen, terendah sejak Revolusi Iran tahun 1979.”