Jakarta, nomorsatukaltim.com - Politik hari ini lekat maknanya dengan urusan pemerintahan dan kenegaraan. Soal para pejabat, birokrasi, partai, dan sebagainya.
Kondisinya sangat cair dan dinamis. Namun, politik bisa saja berubah dengan begitu cepat. Tergantung dengan situasi dan kepentingan ketika itu.
Indonesia menganut sistem politik demokratis. Di mana pemerintahan diyakini dari, oleh, dan untuk rakyat. Namun, ditilik dari kacamata sosiologi, ada “sistem” tak tertulis lain yang sesungguhnya sedang berjalan saat ini. Namanya politik kebangsawanan atau royal politics.
Pandangan ini disampaikan oleh sosiolog dari Universitas Negeri Surakarta (UNS), Drajat Tri Kartono. “Kondisi perkembangan politik Indonesia sekarang itu namanya adalah royal politic. Politik kelompok bangsawan,” kata Drajat baru-baru ini.
Ada 2 ciri yang bisa dilihat dari politik kebangsawanan: pertama, posisi politik yang diduduki oleh para elite dan kalangan berada secara ekonomi.
“Yang bermain di politik itu adalah kelas atas. Enggak bisa dimasuki oleh ekonomi kelas bawah. Karena ada biaya politik yang mahal. Biaya kampanye, untuk bayar partai politik, dan sebagainya. Yang ini biasa juga disebut plutokrasi,” jelas Drajat.
Kedua, kondisi politik di mana kehormatan lebih diutamakan daripada kompetensi. “Cirinya adalah sangat menjaga dan menghormati kehormatan. Representasinya, kehadirannya merupakan sesuatu yang sangat dihormati banyak orang. Jadi kehormatan jauh lebih penting dari kompetensi,” papar dia.
Drajat menyebut, di kondisi perpolitikan yang semacam itu, pencitraan dan kebaikan reputasi dinomorsatukan. Seorang pejabat atau pemimpin penting untuk terlihat peduli dan mengerti pada permasalahan rakyatnya. Meski pada praktiknya tidak demikian. Itu tidak menjadi soal. Karena orang sudah menghormati sosoknya.
Jika sudah begini, maka posisi elite sulit digoyahkan secara sistematis. “Ya mau ganti apa? Wong yang di bawah tidak punya apa-apa (ekonomi dan kewibawaan). Tidak bisa diganti,” ujar Drajat.
“Maka untuk bisa menggantikan orang yang kaya dan sudah dihormati banyak orang tadi yaitu satu, bukan melalui jalan politik, demokrasi, karena nanti pasti akan kalah. Tetapi melalui menjelekkan nama baik,” lanjutnya.
Bahasa sosiologi menyebutnya sebagai kekakuan struktural dalam sirkulasi elite politik. Ada hambatan struktural yang terjadi sehingga para elite sulit dijatuhkan.
“Puan Maharani misalnya. Itu kan enggak bisa digulingkan. Karena dia orang yang kaya dan sudah banyak dihormati oleh orang PDI. Ya tidak bisa diturunkan. Maka untuk menghancurkan dia ya (melalui menjatuhkan) reputasi nama baik,” jelas Drajat.
Begitu pula dengan Megawati yang menjadi pimpinan tertinggi partai tersebut. Status kehormatannya sudah begitu tinggi. Jika ia digoyang, otomatis siapa pun yang ada di bawahnya akan terdampak. Siapa saja akan mengalami proses ini dalam politik kebangsawanan.
Drajat kembali mencontohkan Presiden Joko Widodo. Sosoknya sudah sangat dihormati oleh rakyat Indonesia. Ia tidak bisa dikalahkan melalui jalur demokrasi. Misalnya pemilu. Maka, banyak orang akan mencoba menggoncangnya dari sisi identitas. Banyak celah digunakan untuk melakukan serangan.
Sayangnya, serangan ini tidak selalu pada kinerjanya. Namun juga pada sosoknya. Pribadinya. “Politik kebangsawanan ini sedang terjadi di Indonesia,” ucap dia.