PDB Dunia Terburuk sejak Depresi Besar

Sabtu 29-08-2020,11:10 WIB
Reporter : Y Samuel Laurens
Editor : Y Samuel Laurens

Saat ini seluruh negara di kolong langit sedang menjalani masa prihatin. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/COVID-19) telah mengobrak-abrik kehidupan umat manusia.

Virus yang awalnya menebar teror di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini menyebar dengan kecepatan yang luar biasa. Dalam sekira tujuh bulan, lebih dari 20 juta orang sudah terjangkit dan ratusan ribu di antaranya meninggal dunia.

Kali terakhir pandemi berskala global terjadi pada awal abad ke-20 dalam wujud flu Spanyol. Seratus tahun kemudian, orang-orang yang kini menjadi para pemimpin dunia tidak punya pengalaman menghadapi wabah semasif ini.

Oleh karena itu, pagebluk virus corona sering disebut unprecedented, belum ada preseden sebelumnya yang bisa dijadikan pembelajaran. Namun yang jelas penyebaran virus corona bisa ditekan dengan cara membatasi interaksi dan kontak-antar manusia.

Seperti influenza, virus corona lebih mudah menyebar ketika berada di lingkungan penuh manusia dalam jarak dekat. Apalagi di ruangan tertutup. Oleh karena itu, kebijakan yang dikedepankan dalam menghadapi pandemi ini adalah pembatasan sosial alias social distancing. Sebisa mungkin warga jangan sampai melakukan kontak jarak dekat. Apalagi membuat kerumunan.

Atas nama pembatasan sosial, warga diminta (bahkan diperintahkan) untuk di rumah. Bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Sebab sekolah, perkantoran, pabrik, rumah ibadah, restoran, pusat perbelanjaan, pintu masuk antar-negara, sampai tempat wisata ditutup.

Situasi ini terjadi selama berbulan-bulan. Dana Moneter Internasional (IMF) punya sebutan untuk kondisi ini: The Great Lockdown. Manusia “terpenjara” di rumah. Pemandangan bak kota mati terjadi di mana-mana.

Mobilitas masyarakat yang turun drastis terlihat dari permintaan bahan bakar. Menurut proyeksi International Energy Agency (IEA) yang berbasis di Paris, permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM) berbagai jenis turun tajam tahun ini.

Pergerakan masyarakat yang terbatas tentu membuat roda ekonomi berputar sangat pelan. Bahkan mungkin berhenti sama sekali. Produksi terhambat karena pabrik-pabrik ditutup. Permintaan pun berkurang. Bagaimana bisa meningkat kalau orang-orang banyak gegoleran di rumah?

Produksi dan permintaan yang turun membuat agregat ekonomi menyusut. Hasilnya dicerminkan oleh angka PDB yang tumbuh negatif. IMF memperkirakan PDB dunia tahun ini terkontraksi minus 4,9 persen. Terendah sejak era Depresi Besar.

Kelesuan produksi dan permintaan menimbulkan masalah lain: tsunami pengangguran. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melanda berbagai negara.

Di negara-negara maju anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), angka pengangguran pada akhir 2020 diperkirakan mencapai hampir 10 persen. Bahkan bisa mencapai lebih dari 12 persen dalam skenario terburuk. Melonjak dibandingkan 2019 yang sebesar 5,3 persen.

Selama virus corona belum bisa ditaklukkan, risiko yang amat besar masih menggelayuti perekonomian dunia. Selain ada risiko pemerintah kembali “mengunci” aktivitas warga, masyarakat tentu khawatir untuk berkegiatan sepanjang masih ada virus mematikan bergentayangan di luar sana. (cnbc/qn)

Tags :
Kategori :

Terkait