Pentingnya Pembinaan dan Kejamnya Stigma Masyarakat

Senin 24-08-2020,22:07 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Fenomena warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang kembali berulah cukup sering terjadi. Seolah tak jera masuk bui. Mereka yang disebut residivis seakan tak takut kembali ditangkap polisi.

---------------------

Warga binaan yang menerima program asimilasi salah satu yang terjangkit fenomena ini. Meski tidak banyak. Sama hal dengan warga binaan yang bebas setelah menjalani masa hukuman penuh. 

Namun penyakit masyarakat kambuhan ini cukup meresahkan. Tetapi, apa sebenarnya alasan di balik itu. Mengapa mereka kembali berulah ketika kembali di tengah masyarakat.

Kepala Balai Permasyarakatan (Bapas) Samarinda, Herry Muhammad Ramdan mencoba menyampaikan analisanya ketika diwawancara Disway Kaltim, Kamis (20/8) siang pekan lalu melalui sambungan seluler.

Pria akrab disapa Herry ini menyebutkan, Bapas Samarinda mencatat dari 900 warga binaan yang menerima program asimilasi, delapan di antaranya kembali berulah dan meresahkan masyarakat. Sedangkan yang bebas integritas, lebih sedikit untuk kembali berulah.

"Dari laporan yang ada dan sudah diproses, yang kembali melakukan pelanggaran-pelanggaran lagi, itu ada sekitar delapan orang. Itu dari jumlah 900 se-Kaltim yang ada di tujuh kabupaten/kota," ungkapnya.

Rata-rata perkaranya adalah kasus pencurian dan peredaran narkoba. Dikarenakan faktor ekonomi. Tidak adanya pekerjaan paling utama menjadi alasan. "Sementara untuk kasus-kasus seperti penganiayaan dan lainnya itu jarang terjadi. Mereka (residivis pencurian dan narkoba) mau cari jalan cepat untuk mendapatkan uang. Akhirnya mencuri dan menjual narkoba. Kalau narkoba ini kan karena tergiur uangnya yang lumayan. Seperti jadi kurir begitu," ucapnya.

Ada beberapa kemungkinan alasan kembali berulah dan memilih untuk dibui. Kemungkinan pertama adalah faktor hukuman yang diberikan malah justru tidak membuat jera.

Hukuman pada dasarnya, kata dia, dipakai untuk membuat pelaku atau pelanggar hukum mengalami pengucilan. Represif bukan restitutif. Represif artinya ditekan, dikucilkan, dan dijauhkan dari keluarga, teman-temannya, serta dunia luar supaya dia jera. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi mereka. "Karena ada kemungkinan ketika dia di dalam Lapas, misalnya ada ketemu teman-teman yang cocok dan akhirnya membuat kelompok," katanya.

Ketika menjadi warga binaan, ada yang membuat alasan mereka menjadi betah. Selain bisa bergaul dengan baik. Mereka juga mendapatkan makan secara rutin dan hal-hal lain yang justru memudahkan hidupnya. Sehingga betah di penjara dan tidak merasa jera. "Mereka jadi merasa lebih nyaman hidup di lapas. Ketimbang di luar dan merasa penghidupannya ditanggung oleh negara. Sehingga ada yang akhirnya memilih untuk kembali ke dalam lapas," katanya.

Kemungkinan kedua menurut Herry adalah karena tidak adanya persiapan untuk bertahan hidup di dunia luar. Biasanya sebelum dibebaskan, ada proses moderasi untuk menyiapkan diri beradaptasi. Sehingga harus mengikuti norma-norma yang ada di masyarakat. Proses tersebut dimediasi saat menjadi warga binaan. “Yang berfungsi untuk melatih orang, tidak hanya sekadar mengucilkan. Dan tidak sekadar represif. Namun juga melatih agar siap ketika kembali ke masyarakat,”.

Ada persiapan dari segi hukum, budaya, ekonomi. Serta termasuk bagaimana mencari pekerjaan, mental, dan spiritual. Ketika para warga binaan bebas dengan persiapan yang belum tuntas, akibatnya tidak mengalami kepatuhan di tengah kehidupan bermasyarakat.

Tags :
Kategori :

Terkait