Oleh: Devi Alamsyah
RASA-rasanya hampir setiap daerah atau provinsi berminat jika menjadi ibu kota negara. Kalau pun ada yang menolak, pasti pertimbangannya sangat kuat sekali. Apapun itu, menjadi warga ibu kota sangat menarik. Selain tambah ramai, juga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar.
Harapan Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi ibu kota sangat terlihat dari beberapa stakeholder daerah yang sudah bergerak untuk suksesi. Mulai gubernur, wali kota hingga kalangan akademisi.
Masjaya, rektor Universitas Mulawarman (Unmul) bersama akademisi dan stakeholder daerah lainnya, sudah membentuk Perkhidmatan Rakyat Kalimantan Timur (PRKT) yang antara lain akan mengkampanyekan bahwa Kaltim daerah yang paling layak untuk menjadi ibu kota negara.
Memang ada suara-suara yang memberikan pertimbangan dan catatan serta konsekuensi menjadi ibu kota. Menyampaikan kerumitan yang akan dihadapi. Namun, suara tersebut seolah kalah dengan harapan warga yang teramat besar.
Saat bertemu M Idris, salah satu teman kongkow di salah satu kafe di kawasan Balikpapan Baru, belum genap sepekan. Beliau adalah seorang senior di industri media cetak. Menurutnya, harapan Kaltim menjadi ibu kota masih sebatas mimpi.
Kenapa mimpi? Harapan yang terlalu besar baginya hanya sebuah mimpi. Dan kenyataannya hingga saat ini memang belum juga ada keputusan pasti apakah Kaltim atau provinsi lain di Kalimantan; Kalteng.
“Mimpi saja dulu kamu,” kata Idris, menceritakan komentarnya kepada sejumlah kalangan yang menyatakan statement-nya di media sosial. “Saya selalu komentari begitu,” tambahnya.
Soal harapan itu, memang beberapa informasi menguatkan Kaltim yang akan dipilih menggantikan Jakarta. Semakin kuat lagi, lantaran baru-baru ini Palangkaraya, Kalteng, tengah diselimuti asap tebal dari kebakaran lahan gambut. Dan tampaknya masih jadi peristiwa rutin tahunan.
GM Angkasa Pura I Bandara SAMS Sepinggan Farid Indra Nugraha saat ditemui tim Disway Kaltim beberapa waktu lalu, juga sempat menyampaikan informasi bahwa 90 persen Kaltim yang akan ditunjuk menjadi ibu kota negara. Informasi tersebut dia terima dari rekan-rekannya di Jakarta.
Kemudian, seorang pengusaha tambang di Batuah, Kutai Kartanegara, juga menginformasikan hal yang sama. Menguatkan. Bahkan, kata pengusaha muda itu, dirinya sudah diminta untuk mencarikan sejumlah tanah di kawasan Kutai Pesisir oleh salah seorang staf pemerintahan di Jakarta.
Dan mungkin masih banyak informasi-informasi lain yang berseliweran dan menguatkan. Ada yang menyebutkan lokasinya di Bukit Soeharto (Kukar), ada pula yang menyebutkan lokasinya di Balikpapan.
Informasi tersebut yang mungkin juga yang membuat percaya diri (PD) wali kota Balikpapan Rizal Effendi bersama jajaran Forkopimda. Mereka menggelar nonton bareng (Nobar) pidato kenegaraan Presiden RI Jumat (16/8/2019) lalu. Membentangkan spanduk yang isinya rasa terima kasih kepada Presiden Jokowi yang telah memilih Kaltim sebagai ibu kota.
Nobar itu dilaksanakan karena adanya informasi bahwa pada saat pidato kenegaraan pada 16 Agustus tersebut, Presiden Jokowi akan menyebutkan Kaltim sebagai ibu kota.
Seorang redaktur Disway Kaltim bahkan rela menunggu statement itu live streaming di hadapan laptopnya hingga ketiduran. Dan sempat digoda sama rekan-rekan kerja lainnya. Hanya untuk mendengar kalimat ini: Ibu kota dipidahkan ke Kaltim.
Sayangnya, presiden hingga akhir pidatonya tak kunjung menyebutkan kalimat yang ditunggu-tunggu itu. Kendati tak sepenuhnya “zonk” masih ada harapan. Presiden Jokowi masih menyebutkan kalimat ini: “Mohon izin ibu kota akan dipindah ke Kalimantan”. Ya, lumayan lah..masih ada harapan..
Anggota DPD RI yang berasal dari Kaltim M Idris pun dalam doa penutup pada acara kenegaraan itu turut keceplosan. “Maka mohon ya Rabb, bulatkan tekad pada pemimpin kami....., khususnya untuk memindahkan di Provinsi Kalimantan Timur”. Nah lho...
Memang menunggu ketok palu itu bisa menjadi hal yang merisaukan. Membuat cemas. Apalagi jika disematkan harapan yang besar.
Namun, sebenarnya ada yang lebih cemas lagi pada pekan ini. Ketimbang hanya sekadar menunggu penetapan ibu kota. Yakni menunggu penghulu tak kunjung datang.,,
Bagaimana ceritanya?
Ini kisah seorang teman. Sekaligus sahabat dan rekan kerja. Namanya Hairudin. Melangsungkan akad nikah pada Sabtu (17/8/2019) pagi. Pas berbarengan dengan Hari Kemerdekaan ke-74 RI. Bisa jadi penentuan hari itu, juga sebagai simbol kebebasan.
Merdekaaaa...Sengaja huruf “A” di belakang ditulis panjang untuk menunjukkan penantian yang panjang.
Pagi itu pukul 07.30 Wita, rombongan calon mempelai pria mulai beriringan menuju rumah kediaman calon mempelai perempuan. Berjalan kaki. Rumahnya tak berjauhan. Kurang dari stengah Km perjalanan.
“Ayo buruan, nanti penghulunya keburu datang,” kata para sesepuh yang akan mengiringi calon mempelai pria. Hairudin tampak gagah dengan balutan pakaian berwarna serba putih plus peci putih. Bak pangeran dari Kelantan.
Rencananya memang akad dilangsungkan pada pukul 08.30 Wita. Rombongan yang berjumlah sekitar 50 orang tersebut mulai bergerak.
Sekitar 10 menit kemudian, tibalah di kediaman calon mempelai perempuan; Netty Nurbayani. Rombongan dipersilakan masuk ke ruang tengah yang sudah didekor sedemikian rupa.
Keluarga mempelai termasuk wali dan saksi pun memasuki ruangan dengan luasan sekitar 5 x 4 meter. Terdapat meja kecil untuk prosesi akad.
Waktu menunjukkan pukul 09.30 Wita. Penghulu yang ditunggu itu belum juga tiba. Rombongan dan tuan rumah mulai gelisah. Maka diutuslah sang utusan untuk menjemput penghulu. Informasinya, penghulu sedang menikahkan pasangan lain di hotel yang berada di dekat Bandara SAMS Sepinggan.
Meluncurlah sang utusan. Selang beberapa saat, si utusan pulang dengan “tangan kosong”. Penghulu tak ditemui di hotel tersebut. “Katanya sudah pulang, naik motor. Akadnya sudah selesai,” ujar si utusan itu.
Lalu kemana? Saudara mempelai pria pun mulai geram. Dia bertanya ini dan itu. “Coba telepon, kebisaan memang ini”. “Sudah ditelepon, enggak diangkatnya,” kata utusan itu. Pesan WhatsApp pun tak berbalas.
Sang mempelai pria lebih gelisah lagi. Dari dalam rumah masih bisa mengirim chat ke sang utusan itu. “Kok bisa sih. Padahal jam 08.30 itu omongan dia (penghulu,Red.)” tulis mempelai pria.
Obrolan di luar kediaman mempelai perempuan pun ramai. Ada yang bahas soal ini: “Makin lama makin tegang, lupa nanti bacaan ijab kabulnya”. Juga ada yang ngobrol soal ini: “Ternyata jadwal penghulu padat. Harus antre. Ada lowongan enggak? Profesi yang menjanjikan”. Dan guyonan-guyonan lainnya.
Setelah menunggu dua jam. Pukul 10.05 Wita akhirnya Ustaz Sanjoyo, penghulu itu tiba. Menurut keterangannya, berkas nikah Hairudin dan Netty tertinggal sehingga dia harus balik kantor. Waduh..
Apaun itu, selamat buat Hairudin dan Netty sudah menjadi pasangan suami istri. Semoga langgeng dan jadi keluarga sakinah. (*)