Merdeka Anggaran

Rabu 19-08-2020,11:45 WIB
Reporter : bayong
Editor : bayong

Oleh: Baharunsyah*

MERDEKA itu banyak definisinya. Banyak harapannya. Tapi banyak juga sakit hatinya. Kalau ditelisik lebih jauh. Setiap orang bebas mendefinisikan arti kemerdekaannya sendiri. Merdeka atau terbebas dari sakit hati terhadap mantan kekasih itu juga merdeka. Kemudian melampiaskan kekesalan dengan menghibur diri yang nota bene butuh duit lebih. Uang habis, tidak jadi merdeka rasanya. Yang ada malah menyesal.

Bicara soal merdeka saya mau sedikit cerita berdasar hasil berkisah dengan salah satu kawan aktivis. Biasa. Namanya aktivis nalar kritisnya tidak pernah habis. Selalu ada bahan untuk disajikan. Singkat cerita, ia bilang, kita belum sepenuhnya merdeka. Bukan merdeka dari rasa kemiskinan dan kebodohan. Yang selalu jadi jargon setiap calon apapun itu. Yang hendak maju perhelatan politik lima tahunan. Tapi lebih spesifik. Kita belum merdeka menentukan nasib kita sendiri. Melaui uang.

Uang? Iya. Uang APBD contohnya. Kenapa harus nyambung ke situ pikir saya. Ditarik ulur ternyata ada kaitannya. Hampir semua kebutuhan rakyat, kebutuhan kita, ada disitu. Nasib kita ditentukan melalui rangkaian angka-angka tersebut. Dimana angka-angka itu dibahas oleh perwakilan kita. Di eksekutif oleh pemerintahan. Di legislatif oleh DPRD. Oke, ribet. Orang awam tidak akan mengerti. Tidak mau tahu.

Apa kaitannya dengan APBD? Toh yang rakyat biasa pikir adalah besok harus makan apa. Tidak salah jika banyak orang awam memilih apatis dengan ini. Tapi sadar atau tidak, nasab hidupnya, uang susu anaknya, jalan yang hari-hari ia lalui diatur terikat dalam rangkaian angka-angka ini. Angka-angka yang tersadur dengan rapi. Dalam buku berjudul APBD.

Kenapa ini begitu penting. Ini katanya. Kita, pasti punya kebutuhan dasar. Pengusaha kecil pasti butuh bantuan usaha dari pemerintah. Yang mengeluh jalannya rusak pasti minta segera diperbaiki. Kebutuhan yang banyak itu lalu disampaikan ke kelurahan atau desa. Sebagai kepanjangan tangan pemerintah.

Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) kecamatan. Lalu usulan itu dijadikan satu, diimpun, dikumpul dan diserahkan lagi ke kabupatan/kota. Jadilah namanya musrenbang kota. Sayangnya disini titik masalahnya. Musrenbang yang terjadi justru tidak menyentuh substansi. Malah musrenbang lebih mirip seminar pembangunan. Dimana akademisi seakan-akan mengkritisi usulan. Padahal, itu tetap tidak akan berubah juga. Cuma formalitas kata teman saya itu. Agar dianggap mengikuti prosedur saja.

Belum selesai ini. Usulan musrenbang itu ditampung lagi oleh pemerintah. Dipilah, mana yang prioritas. Lalu dibuatlah kisaran anggarannya. Nah, program-program itu kemudian diserahkan ke instansi-instansi teknis. Misalkan usulan pembuatan parit akan diserahkan ke dinas PU. Usulan mengembangkan usaha kecil diserahkan ke dinas perdagangan. Begitu seterusnya. Mereka yang terlibat dalam hal ini dikoordinasi lagi oleh tim bernama Tim Anggaran Pendapatan Daerah (TAPD). Gimana? Ribet kan. Ini belum seberapa ribet. Setelah itu TAPD akan membahas lagi bersama DPRD. Lalu usulan-usulan itu masuk dalam Rancangan Kebijakan Anggaran serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara. Atau KUA-PPAS. Lagi-lagi disini titik poinnya. Yang harusnya mengetes nalar kritis kita.

Tags :
Kategori :

Terkait