Sebetulnya, lanjut Noor, kondisi demokrasi yang seperti itu, bukan karena sistem demokrasinya. Melainkan oknum. Misalnya, dalam kontestasi pilkada, terjadinya praktik politik uang, bukan disebabkan demokrasi. Melainkan oknum bacalon, maupun tim pemenangannya.
"Bukan demokrasinya. Tapi oknumnya saja. Umpamanya, katakanlah gubernur. Dipilih oleh rakyat. Oleh masyarakat. Secara teori, dia (gubernur) sudah memenuhi prosedur dan mekanisme (dari rakyat). Bahwa di dalam ada yang menilai berbeda (politik uang), kan bukan masalah demokrasinya," katanya, menegaskan.
Dalam kondisi ini, untuk merubah, butuh kesadaran bersama. Seluruh elemen. Mulai masyarakat biasa, hingga penyelenggara. "Butuh kepemahaman dan kesadaran bersama," tambahnya.
Noor realistis. Dampak dari kondisi demokrasi yang serba uang ini, menyulitkan mereka, yang punya kualitas dan integritas kepemimpinan, cocok menjadi pemimpin namun tak punya modal, menuju pilkada.
"Sekarang, memang seakan-akan begitulah kenyataannya. Karena sehebat apapun orang, kalau tidak didukung amunisi yang kuat, susah untuk tampil," ucapnya.
Bagi Noor, hanya ada satu solusi. Atas persoalan politik uang, dan demokrasi secara umum. Yakni kesadaran masyarakat. Oleh karena itu, sosialisasi perlu dimasifkan. Seluruh elemen masyarakat.
"Yang perlu ditekankan, disampaikan, mereka (masyarakat) sedang menyusun jalan membangun masa depan, bila memilih yang terbaik (tanpa politik uang). Kalau memilih berdasarkan uang, maka mereka hanya akan menjerumuskan diri mereka," tuturnya. (sah/cni/yos)