Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Kemungkinan calon tunggal dalam kancah pemilihan kepala daerah di Kota Minyak jadi perhatian.
Pengamat politik dan pakar hukum Balikpapan Agung Sakti Pribadi menyebut, lebih baik kandidat yang maju dalam pesta demokrasi serentak 9 Desember mendatang memilih membuat 'boneka' dari pada melawan kotak kosong.
"Karena ada potensi kotak kosong menang," ujarnya saat ditemui di kantornya, di Universitas Mulia, Selasa (28/7) kemarin.
Meski secara hitung-hitungan jumlah kursi legislatif sudah tidak cukup lagi menghadirkan satu sosok lawan selain kolom kosong, Agung yang merupakan Rektor Universitas Mulia itu tetap memprediksi kemunculan nama baru yang akan menjadi lawan kandidat dari petahana.
Hal ini ditenggarai adanya aturan di PKPU terkait risiko kekalahan melawan kotak kosong. Aturan itu menyebut kekosongan jabatan pemimpin daerah akan diisi oleh pejabat sementara yang ditunjuk oleh gubernur Kaltim sampai lima tahun ke depan.
"Ada dua kemungkinan. Kalau tidak lawan kotak kosong akan muncul boneka," katanya.
Namun fenomena boneka dalam pilkada, kata Agung, pernah terjadi di Balikpapan. Yakni saat pertarungan pilkada di masa Imdaad Hamid melawan Mukmin Faisal.
"Memang saat itu suara untuk Pak Imdaad banyak. Saat itu muncul Pak Jamal Noor untuk memecah suara dukungan Pak Mukmin," ungkapnya.
Meski berbeda waktunya, menurut Agung, pada prinsipnya mekanisme dalam dunia politik tetap sama. Namun terkait kondisi perpolitikan yang sekarang, ia lebih menyarankan adanya lawan sebagai pembanding, dan bukannya kotak kosong.
"Kita masih terbayang kasus di Sulawesi. Kurang hebat apa kandidat di sana? Dukungannya dari Pak JK (Jusuf Kalla)," katanya.
Pria yang pernah menjabat Ketua DPC Partai Demokrat ini juga menekankan, kondisi calon tunggal tidak menyehatkan demokrasi di Kota Minyak. Karena pilihannya hanya satu orang. Sedangkan Balikpapan dihuni banyak tokoh pandai dan cerdas, yang punya potensi memimpin lebih baik.
"Pembandingnya tidak ada. Kita tidak bisa melihat potensi calon kandidat secara maksimal," katanya.
Selain itu, kemungkinan calon tunggal juga membuka wacana baru terkait praktek mahar politik. Meskipun agak susah membuktikan adanya permainan jual beli kursi di partai politik, sebab tidak mungkin ada calon kandidat yang mengakuinya.
"Ada tapi tidak sepenuhnya benar. Karena pengalaman saya dulu waktu menjabat ketua partai, enggak ada mahar politik," ungkapnya.
Dari tujuh kursi Partai Demokrat saat dipimpinnya dulu, kata Agung, semuanya diserahkan kepada pasangan Rizal Effendi dan Heru Bambang.