Menjelang Pilkada “Keluarga” 2020

Rabu 05-08-2020,10:43 WIB
Reporter : Y Samuel Laurens
Editor : Y Samuel Laurens

Penyebab pertama munculnya dinasti politik adalah nilai-nilai feodalisme masih kuat di Indonesia. Karena ada sisa psikologis nilai kerajaan/kesultanan hingga berujung pada personalisasi tokoh. Pada titik tertentu dinasti politik terbangun sejak lama.

Egi mencontohkan Soekarno yang dilanjutkan Megawati. Lalu Puan Maharani. Kemudian Soeharto dilanjut Tutut, Tommy, dan Titiek Soeharto. Namun sebagai catatan, kemunculan Megawati atau anak-anak Soeharto tidak bersifat instan.

Egi menjelaskan, Megawati perlu menghadapi rezim untuk muncul ke tataran politik hingga akhirnya berkuasa. Selanjutnya anak-anak Soeharto menjadi anggota Partai Golkar setelah Soeharto berkuasa sekian lama.

Faktor kedua penyebab dinasti politik adalah demokrasi elektoral dengan sistem pemilu langsung menyandarkan pada popularitas dan politik uang.

Demokrasi elektoral dinilai membuka luas kesempatan setiap orang untuk mencalonkan diri. Namun yang diuntungkan adalah mereka yang sedang atau pernah berkuasa, populer, menguasai kekayaan atau punya basis dukungan yang kuat.

Artinya, desentralisasi dan demokrasi elektoral mempermudah kemunculan elit baru beserta keluarganya dalam politik. Baik di level nasional maupun lokal.

Faktor ketiga adalah pembiaran dari elit politik dan representasi formal serta faktor keempat tidak ada gerakan sosial. Terutama kelas menengah ke bawah yang kuat untuk menolak politik dinasti.

Menurut Egi, dinasti politik ini dapat menimbulkan sejumlah masalah. Pertama, nafsu untuk melanggengkan diri tidak bisa dikendalikan. Sehingga dapat menciptakan korupsi hingga pelanggaran HAM.

Kedua, munculnya orang-orang dalam dinasti politik bukan ingin menjadikan politik sebagai upaya untuk mencapai kebaikan bersama (common good). Tapi bertujuan untuk kepentingan pribadi. Baik dirinya sendiri maupun keluarganya.

Ketiga, tidak menekankan dari kemampuan atau kapasitas individu. Melainkan pada garis kekerabatan. Sehingga merusak sistem meritokrasi.

Terakhir, merusak kesetaraan kesempatan bagi orang-orang yang tidak punya hubungan kekberapatan. Meski punya pengalaman dan kualitas sebagai pemimpin.

“Masalah dinasti politik ini tidak dapat dilihat dari kerangka demokrasi prosedural semata. Memang Indonesia punya kelengkapan alat demokrasi seperti parpol, pemilu, lembaga negara. Tapi dari kerangka substansial nilai dari demokrasi rusak. Karena tidak ada etika publik dan kesempatan warga berdemokrasi pun menjadi semu,” ungkap Egi.

Sedangkan Wakil Direktur Pusat Kajian Riset dan Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriah mengatakan, dinasti politik di Indonesia dapat disebut sebagai neo-patrimonial. Karena proses regenerasi kekuasaan bukan ditunjuk langsung seperti rezim sebelumnya. Tetapi melalui demokrasi prosedural.

Dinasti politik tersebut terjadi di Indonesia karena parpol menjadi bentuk monarki baru di Indonesia. Sebab dimiliki satu orang tokoh yang kekuasaannya turun-temurun. Seperti di PDIP dan Partai Demokrat. Bahkan meluas lewat jalur pemilu dan pilkada. Sehingga melanggengkan kekuasaan dan kekayaan.

Politik kekerabatan pun dapat bertahan karena memiliki akses politik dan pendanaan yang kuat. “Akses politik karena sebagian besar adalah petahana yang tengah menjabat atau menjadi pemimpin partai di daerah. Ditambah kepemimpinan politik di tingkat nasional memberikan kemudahan akses pencalonan,” kata Peneliti CSIS, Arya Fernandes.

Parpol yang bukan “dimiliki” keluarga juga dengan senang hati memilih orang yang punya hubungan kekerabatan dengan penguasa tertentu. Karena waktu pemilihan legislatif yang berjarak dengan pilkada serta faktor personal caleg dalam pileg.

Tags :
Kategori :

Terkait