Pilihannya Tergantung Konsumen, Mau Rapid Test Sesuai Tarif Edaran Atau Tidak
Samarinda, nomorsatukaltim.com - Menindaklanjuti surat edaran (SE) Kemenkes soal tarif rapid test, Dinas Kesehatan (Diskes) Kota Samarinda juga membuat edaran yang sama. Disampaikan kepada fasilitas kesehatan (faskes) yang melayani jasa tersebut. Plt. Kepala Diskes Samarinda Ismid Kusasih mengaku edaran sudah diterbitkan pada 9 Juli 2020.
"Sudah (ditindaklanjuti). Yang paling penting bagi Diskes, adalah pelaporan. Berapa orang yang dirapid. Di mana alamatnya. Itu," katanya ketika ditemui Disway Kaltim di kantornya, Jalan Milono, Senin (13/7).
Namun Ismid tak menyebut berapa jumlah faskes yang menyediakan jasa rapid test untuk kategori mandiri. "Intinya, jumlahnya itu kan semua, yang mempunyai kompetensi dan mempunyai izin operasional. Yang penting kan dia (faskes) punya kompetensi. Kompetensi itu jelas, laboratorium, klinik dan rumah sakit," ungkapnya.
Sementara soal pengawasan di lapangan, berkaitan siapa saja faskes yang menjalankan surat edaran tersebut, menurut Ismid kurang penting. Yang lebih penting, bagaimana upaya dalam memutus mata rantai virus corona.
"Saya enggak mau berpolemik. Kalau soal tarif, enggak usah khawatir. Kan sudah ada surat edarannya dari pusat (Kementerian Kesehatan). Nah, mudah-mudahan itu dipatuhi. Saya enggak mau terjebak. Karena lelah kita kalau urusin itu. Yang keluarkan regulasi bukan kita. Yang keluarkan kementerian. Soal COVID-19 ini, yang paling penting, memutus mata rantai. Kalau kita terlalu banyak fokus ke lain, kita jadi enggak fokus," katanya.
Menurut Ismid juga tidak perlu membuka aduan masyarakat terhadap faskes dengan menerapkan tarif di atas Rp 150 ribu. "Masyarakat kan sudah tahu. Masyarakat Samarinda itu pintar. Kalau dia (masyarakat) tahu harganya Rp 150 ribu, pasti dia cari yang Rp 150 ribu," pungkasnya.
Diketahui, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor: HK.02.02/1/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi. Berisikan beberapa hal. Yaitu, batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan rapid test antibodi adalah Rp 150.000.
Sementara itu, Plt. Kepala Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim, Andi M. Ishak mengatakan, aturan tersebut tak mudah diterapkan. Butuh waktu. Termasuk di Kaltim. Pertama, karena beberapa penyedia faskes telah melakukan pengadaan alat jauh sebelum surat edaran itu diterbitkan.
"Karena harus dipahami, bahwa mereka (penyedia faskes) banyak yang membeli di atas harga itu (Rp 150.000). Jadi ini tidak bisa serta merta berlangsung (diterapkan)" kata Andi, Senin (13/7).
Berita Terkait:
- Berhitung Untung dari Rapid Tes
- Tarif Rapid Test Akumulasi dari Layanan, Perlu Diatur Juga Distributor
- Alat Rapid Test Paling Murah Rp 95 Ribu Plus Ongkir
Harga alat rapid test beragam. Mulai dari Rp 100 ribuan hingga ratusan ribu. Andi berasumsi, rata-rata penyedia faskes telah membeli alat rapid test di atas Rp 200 ribuan. Sehingga agak sedikit sulit bila menetapkan standar harga itu. "Kalau Rp 150.000, berarti cari alat yang di bawah harga itu. Dan swasta itu tidak mau rugi. Ketika sudah memesan barang, (sudah) ada investasi di situ," imbuhnya.
Diakuinya, ada alat rapid test yang harganya di bawah Rp 150 ribu. Ini berdasarkan pengalaman Diskes Kaltim dalam pengadaan alat, beberapa waktu lalu. Namun ketersediaan jumlahnya terbatas. Bila semua penyedia faskes beralih ke alat yang harganya di bawah Rp 150 ribu, bisa terjadi kelangkaan. Karena jumlah alatnya yang terbatas.
"Ada yang harganya di bawah Rp 150 ribu. Yaitu Rp 123 ribu. Tapi jumlahnya enggak banyak. Karena itu kan rebutan, se-Indonesia. Justru yang banyak itu yang Rp 200 ribuan," ujarnya.
Namun Andi memuji. Edaran itu bertujuan baik. Meminimalisasi komersialisasi. Meski susah, tapi ia berharap agar itu diterapkan sepenuhnya oleh penyedia faskes. Hanya kesadaran masyarakat yang bisa menentukan. (sah/dah)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: