Korupsi dan Politik Dinasti

OLEH: HERDIANSYAH HAMZAH*
Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), membuka mata kita tentang bagaimana sesungguhnya politik dinasti bekerja. Politik dinasti memiliki daya rusak yang begitu besar dalam sistem pemerintahan. Ia melumpuhkan tugas pengawasan DPRD terhadap pemerintah daerah, yang seharusnya berjalan dalam mekanisme check and balances system.
Dua orang yang ditangkap dan ditetapkan tersangka oleh KPK dalam OTT ini berstatus sebagai suami-istri. Bupati Kutim Ismunandar dan Ketua DPRD Kutim Encek UR Firgasih. Selain keduanya, turut ditetapkan sebagai tersangka tiga orang Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan dua orang lainnya berasal dari pihak swasta.
Bisa ditebak, bagaimana urusan pengelolaan pemerintahan daerah dan pengambilan kebijakan-kebijakan strategis harus dibicarakan dan diputuskan di rumah? Ini menjadi contoh dari model conflict of interest yang paripurna. Hampir dipastikan tidak akan ada pengawasan yang memadai atas kinerja bupati. Jika yang diberikan mandat untuk mengawasinya adalah istri sendiri. Mereka bisa saja berlindung di balik kata “profesionalitas”. Akan tetapi, relasi kekeluargaan di antara keduanya membuat penilaian objektif akan sangat sulit dilakukan. Pendekatan emosional akan jauh lebih dominan dibandingkan penilaian rasional. Lantas apakah memang politik dinasti itu dilarang dalam sistem politik dan pemerintahan kita? Kenapa ia begitu dibenci dan apakah ada pertalian antara korupsi dan politik dinasti? Tulisan ini akan menguraikannya secara sederhana.
POLITIK DINASTI
Politik dinasti bukan hal yang baru dalam negara demokrasi modern. Menurut Dal Bó dkk, di Amerika Serikat (AS), prevalensi dinasti di kalangan legislator memang tinggi ketika dibandingkan dengan pekerjaan lain. Sebuah studi yang dilakukan oleh Farida Jalalzai dan Meg Rincker pada 2018 menemukan fakta bahwa satu dari sepuluh pejabat eksekutif di seluruh dunia merupakan milik keluarga politik (belonging to a political family). Studi ini menganalisis latar belakang dari 1.029 pejabat eksekutif. Terutama presiden dan perdana menteri yang menjabat antara 2000-2017.
Sebanyak 119 orang atau sekitar 12 persen dari total 1.029 pejabat eksekutif tersebut memiliki relasi kekeluargaan dengan klan politik tertentu. Berdasarkan wilayah, Eropa dan Amerika Latin memiliki persentase tertinggi: sekitar 13 persen. Disusul Asia sekitar 11 persen. Dan Afrika sub-Sahara sekitar 9 persen.
Di Indonesia, politik dinasti muncul dan berkembang biak dalam wujud sistem patrimonial: sistem regenerasi politik yang ditentukan berdasarkan garis genealogis atau pewarisan. Dalam sistem patrimonial ini, seseorang ditunjuk menjadi pemimpin hanya atas dasar kekerabatan. Bukan karena kemampuan dan kapabilitasnya berdasarkan mekanisme merit system.
Namun hari ini, sistem patrimonial tersebut mengalami tansformasi yang cenderung beradaptasi dengan perkembangan politik modern. Kalau dulu pewaris ditunjuk secara langsung, maka hari ini proses keterpilihan itu didesain melalui mekanisme legal formal. Baik melalui “partai politik” maupun lembaga-lembaga publik strategis lainnya. Kenapa harus partai politik? Menurut Dal Bó dkk, ketika suatu partai dengan aman mengontrol suatu negara, mereka yang ada di dalamnya akan dengan mudah mengendalikan dan mengontrol dukungan kepada calon yang berhubungan dengan keluarga atau relasi sosialnya.
Dari aspek regulasi, larangan politik dinasti sempat dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Namun pada tahun yang sama, undang-undang tersebut diuji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan diputuskan batal secara hukum. MK melalui putusannya Nomor 33/PUU- XIII/2015 telah memberikan landasan legal formal terhadap keberadaan politik dinasti dalam Pilkada.
Putusan MK ini didasari oleh pertimbangan hukum (ratio decidendi). Demi mencegah terjadinya perlakuan diskriminatif dalam Pilkada. Sebab hak memilih dan dipilih adalah hak konstitusional setiap warga negara. Meski secara normatif tidak dilarang, politik dinasti tetaplah dianggap tidak memenuhi “syarat etik” dalam sistem pemerintahan. Pendekatan berdasarkan politik kekerabatan dalam penentuan jabatan-jabatan publik (official elected) adalah sesuatu yang dianggap penuh dengan aroma konflik kepentingan.
JALAN KORUPSI
Berdasarkan data, tren politik dinasti di tingkat daerah memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dalam kurun waktu 2010-2014, terdapat 61 daerah yang menerapkan praktik politik dinasti. Berdasarkan hasil penelitian terbaru, jumlah daerah yang menerapkan politik dinasti sudah mencapai 117 atau sekitar 21 persen dari jumlah daerah otonom kita. Merujuk data Kementerian Dalam Negeri, politik dinasti ini tersebar merata di seluruh Indonesia. Seperti Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
Salah satu yang fenomenal dan menyita perhatian publik adalah dinasti politik yang dibangun oleh Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Sejumlah jabatan publik di Banten dikuasai oleh keluarga Ratu Atut. Misalnya Wakil Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah, adalah adik Ratu Atut. Adik ipar sang Gubernur, Airin Rachmi Diany merupakan Wali Kota Tangerang Selatan. Heryani, ibu tiri Gubernur Ratu Atut, menjabat sebagai wakil bupati Pandeglang, dan sejumlah jabatan penting lainnya juga dikuasai oleh keluarga Ratu Atut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: