Aroma Korupsi dalam Program Kartu Prakerja
OLEH: HERDIANSYAH HAMZAH* Robert Klitgard (2005) menceritakan bagaimana persekongkolan para kontraktor melalui rapat-rapat yang disebut “dongoes”. Melalui forum itulah mereka menentukan harga yang akan ditawarkan, siapa yang akan menjadi penawar terendah, dan bagaimana keuntungan atas usaha kolusi itu mereka bagi-bagi. Persekongkolan seperti ini juga kerap kali menjadi isu utama dalam pengadaan barang dan jasa di Indonesia. Konon, hal ini lazim terjadi terhadap pengadaan. Baik melalui proses tender maupun penunjukan langsung. Klitgard menjelaskan, salah satu indikator peluang terjadinya suap dalam pengadaan barang dan jasa adalah pemberian kontrak tanpa penawaran. Dalam kasus program kartu prakerja, salah satu kritik tajam publik adalah penunjukan mitra tanpa melalui proses tender. Apakah ini berarti otomatis (ex-officio) telah terjadi transaksi suap dalam proses penunjukan langsung ini? Tentu saja tidak. Namun gejala-gejalanya dapat kita tangkap secara sederhana. Bagaimana mungkin pengadaan barang dan jasa dengan anggaran yang mencapai puluhan triliun itu dilakukan tanpa proses tender? Akhir-akhir ini, program kartu prakerja memang dihujani kritik oleh berbagai kalangan. Bahkan dianggap sebagai program yang rawan korupsi. Tak jarang pula yang menyebut jika program ini semacam parasit yang menjadi penumpang gelap (free rider) di tengah pandemi COVID-19. Anggapan ini bukan tanpa alasan. Sebab beragam kontroversi menyertai kelahiran program andalan Presiden Jokowi ini. Mulai dari isu konflik kepentingan (conflict of interest), kisruh staf khusus milenial presiden, hingga penunjukan perusahaan e-commerce sebagai mitra kerja tanpa melalui proses tender. *** E-commerce adalah bentuk platform yang dipilih oleh pemerintah sebagai mitra untuk menjalankan program kartu prakerja ini. Polemik mitra ini mulai mengemuka dan mendapatkan sorotan publik saat Ruangguru diketahui sebagai salah satu dari delapan perusahaan rintisan (start-up) yang ditetapkan sebagai mitra pelatihan kartu prakerja. Ruangguru adalah perusahaan teknologi berbasis pendidikan yang didirikan oleh staf khusus milineal Presiden Jokowi: Adamas Belva Syah Devara. Diduga terjadi konflik kepentingan antara keterpilihan Ruangguru sebagai salah satu mitra kartu prakerja dengan posisi Belva sebagai staf khusus presiden. Posisi staf khusus presiden tentu sangat memungkinkan untuk memperdagangkan pengaruhnya (trading in influence). Demi mendapatkan keuntungan tertentu. Selain soal keterpilihan Ruangguru sebagai mitra kartu prakerja yang dinilai sarat konflik kepentingan, polemik lain yang mendapat sorotan publik adalah soal penunjukan delapan perusahaan e-commerce sebagai mitra kartu prakerja. Tanpa melalui proses tender. Kebijakan ini dinilai sangat kontroversial. Mengingat tidak dilakukan melalui prosedur atau mekanisme sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Penunjukan tanpa tender ini diakui sendiri oleh pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Alasan utamanya, karena delapan mitra ini yang dianggap sudah siap. Untuk itu, pemerintah tidak melakukan tender dengan platform tersebut. Ketiadaan tender itu karena tidak adanya penyelenggaraan barang atau jasa yang dibayarkan pada perusahaan digital yang menjadi mitra. Pembeliannya kepada content provider. Alasan ini tentu tidak bisa kita terima begitu saja. Sebab otoritas operasional jasa pelatihan daring yang disiapkan dalam kartu prakerja ini tetap berada di tangan delapan perusahaan e-commerce tersebut. Lantas bagaimana mungkin pemerintah menyebut mereka tidak menyelenggarakan usaha yang menyediakan jasa? Di samping itu, penunjukan hanya dengan alasan “kesiapan” cenderung sangat subjektif dan sarat dengan kepentingan. Jadi rasanya sulit untuk tidak mengatakan, jika penunjukan tanpa tender ini adalah kebijakan yang beraroma korupsi. *** Aroma korupsi tidak hanya tercium dari proses penunjukan mitra kartu prakerja tanpa melalui proses tender itu. Namun bau menyengat itu juga tercium dari ketidakwajaran kalkulasi anggaran untuk kartu prakerja ini. Dalam program kartu prakerja, pemerintah memberikan biaya sebesar 3,55 juta untuk membayar biaya pelatihan (kursus) dan insentif bagi pesertanya. Pagu untuk membayar pelatihan melalui sistem daring ditetapkan sebesar Rp 1 juta. Sementara untuk insentif terdiri dari dua bagian: insentif pasca penuntasan pelatihan pertama sebesar 600 ribu per bulan selama empat bulan dan insentif pasca pengisian survei evaluasi sebesar Rp 50 ribu per survei untuk tiga kali survei. Pelatihan kartu prakerja ini menargetkan 5,6 juta peserta. Jika masing-masing peserta diberikan dana sebesar Rp 1 juta untuk pelatihan berbasis daring, maka akan menghabiskan anggaran sebanyak Rp 5,6 trilun. Pertanyaannya, apa mungkin anggaran Rp 5,6 trilun ini habis hanya untuk pelatihan daring saja? Ini tentu saja tidak wajar. Bagaimana mungkin program yang seharusnya bisa diakses bahkan dengan gratis justru menghabiskan anggaran hingga triliunan rupiah? Bahkan banyak kalangan menyebut, terdapat penetapan harga yang tidak wajar dalam program pelatihan daring ini. Harga pelatihan masing-masing delapan mitra berada di kisaran antara Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta. Bandingkan dengan tutorial gratis yang bisa didapatkan dari YouTube dan Google. Salah satu cara untuk menilai suatu tindakan penggunaan anggaran itu berpotensi korupsi atau tidak adalah dengan memotret kesesuaian antara besaran dana dengan wujud kegiatannya. Jika kegiatan yang dilakukan tidak sebanding dengan dana yang harus dikeluarkan, maka tentu ada problematik di sana. Hal inilah yang bisa kita tangkap sebagai pertanda kuatnya aroma korupsi dalam program kartu prakerja. (*Dosen dan Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: