Nuri Cahyani: Tulus untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Guru Bahasa Indonesia di SMP dan SMA Al Hasan Balikpapan ini memutuskan pensiun dini demi merawat si buah hati, Rafie Arsyad Rahmatullah (7). Anak semata wayangnya divonis terapi syaraf seumur hidupnya, usai sadar dari koma. Dokter menyatakan Rafie menderita celebral palsy, lumpuh otak, pasca kecelakaan yang hampir merenggut nyawa bocah itu. Nuri tengah memperjuangkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus, memperoleh pendidikan setara. Minggu, 30 Agustus 2014 adalah hari yang sulit dilupakan Nuri Cahyani. Itulah peristiwa ketika dua pengendara motor menabraknya. Si kecil Rafie yang ada dalam gendongan terlepas. Bayi malang itu terpental sejauh 10 meter. Bocah yang baru berusia setahun itu jatuh ke aspal. Lalu tak sadarkan. “Kami langsung membawanya ke Puskesmas Manggar, sebelum akhirnya dirujuk ke RSKD,” kata Nuri mengenang detik-detik kecelakaan parah di Lamaru, Balikpapan Timur itu. Peristiwa nahas terjadi sekitar pukul 10 malam, usai Nuri, suami dan anaknya menghadiri pernikahan keluarga. Hari bahagia seketika berubah petaka, ketika dokter Rumah Sakit Kanudjoso Djatiwibowo (RSKD) menyatakan si kecil Rafie, koma. Selama sepekan, tubuh mungil bocah lucu itu dipasangi berbagai perlengkapan medis penunjang hidup. “Rafie mengalami koma selama tujuh hari,” ungkap perempuan kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah ini. Sedangkan penabraknya, diketahui juga menjalani perawatan, sebelum akhirnya meninggal dunia. Satu pria yang dibonceng ditahan polisi. “Saya dapat informasi, rupanya yang membonceng luka parah di kepala. Yang dibelakang hanya luka ringan. Yang di depan dalam pengaruh alkohol, dan mereka berdua baru ambil obat koplo,” ujar Nuri. Peristiwa itu menjadi salah satu momen bagi Sarjana Pendidikan ini untuk memperjuangkan hak-hak anak berkebutuhan khusus. Seperti yang dialami si buah hati dan ratusan anak lainnya. Karena itulah, hari-hari ini, Nuri disibukkan dengan berbagai kampanye dan gerakan yang menuntut perlakuan setara bagi anak-anak berkebutuhan khusus atau ABK. “Saya ingin pemerintah memberikan perhatian yang sama dan menyediakan fasilitas yang setara bagi para ABK,” kata Nuri. Bukan cuma menuntut pemerintah, mantan guru Bahasa Indonesia ini juga turun tangan membantu para orang tua dan ABK memperoleh pendidikan. Para orang tua dilatih memberikan perawatan yang tepat menangani ABK. Di waktu lain, anak-anak mereka memperoleh pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya. Nuri membentuk komunitas ABK Hebat. “Komunitas ini kami bentuk setelah beberapa kali saya berdiskusi dengan Pak Muhaimin (Kepala Disdikbud Balikpapan), dan para orang tua yang memiliki ABK,” jelasnya. Lantaran tak punya tempat khusus, Nuri menyediakan tempat tinggalnya sebagai lokasi belajar. Anggota komunitas itu, mengaku kesulitan mencari sekolah yang tepat. Nuri misalnya, semula mendaftarkan sang anak ke Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Secara formalitas, ABK bisa diterima, dengan konsekuensi satu kelas berisi banyak siswa. “Saat itu ada 28 siswa waktu itu. Tapi anak saya belum mampu digabung dan bersosialisasi dengan anak sebanyak itu,” ungkapnya. Rafie yang belum dapat berlari atau memanjat akhirnya tak punya teman. “Lantaran sendirian, jadi malas sekolah, dan akhirnya nggak mau sekolah,” tutur Nuri. Akhirnya, dia mencari sekolah lain yang memiliki kelompok belajar lebih kecil. Sekitar 6-7 anak di Kelurahan Damai. Namun, sekolah ini pun tak berlangsung lama. Susah Cari Sekolah Apa yang dirasakan Nuri, ternyata juga dialami banyak orang tua lainnya. “Saya bertemu dengan teman-teman, yang memilki ABK. Kalau sudah mau ajaran baru, sibuk cari sekolah. Ternyata banyak ditolak. Alasannya, anak kami harus masuk SLB (Sekolah Luar Bisa) aja. Ada salah satu teman, punya anak umur 8 tahun daftar di enam sekolah negeri, termasuk (sekolah) inklusi, juga ditolak,” urainya. Persoalan itu, kata Nuri, hanya salah satu contoh. Banyak anak dengan kebutuhan khusus juga “maaf, setengah diejek, karena kondisi tidak sama dengan anak normal,” imbuh dia. Bahkan ada yang sampai bilang, keberadaan ABK bisa mengganggu anak – anak yang bersekolah di tempat itu. Tidak hanya itu, anak-anak berkebutuhan khusus ini juga kerapkali ditolak ketika akan mengikuti berbagai perlombaan. Misalnya lomba menggambar, mewarnai, atau event tertentu di beberapa lokasi mereka tak diizinkan ikut. “Akhirnya kami putuskan untuk bikin acara sendiri. Kalau tunggu orang lain yang bikin kapan? Susah,” ucap Nuri lagi. Belum lama ini, komunitas ABK Hebat belajar mengenal rambu lalu lintas di Taman Lalu Lintas, Sepinggan. Dalam kegiatan itu, anak-anak juga tampil di depan orang tua dan undangan. Mulai dari baca puisi, menyanyi dan menari. Bagi Nuri dan Komunitas ABK Hebat, ia ingin pemerintah memberikan solusi jangka panjang. Para orang tua ingin anaknya pendapat pendidikan yang sesuai kemampuan mereka. “Meskipun tidak muluk muluk. Yang penting anak anak bisa baca tulis dasar. Wawali sudah siap menggaji guru untuk anak-anak kami.” Komunits ini tengah memperjuangkan bantuan lokasi belajar di tempat yang mudah dijangkau. Pertimbangannya, supaya anak-anak bisa belajar dengan fokus. “Kalau jauh, belum sekolah sudah capek di jalan. Mood sudah berubah. Tapi tetap yang utama bagaimana bisa sekolah, bisa dapat pendidikan, dan berharap tidak ada diskriminasi.” Saat ini ada 38 anak yang tercatat sebagai anggota Komunitas ABK Hebat. Mereka adalah anak-anak dengan autis, hiperaktif, down syndrome dan celebral palsy. Menurut Nuri, ABK berbeda dengan disabilitas. Karena itu, kebutuhan dalam proses belajar mengajar, seharusnya juga berbeda. Perbedaan itu, terletak pada fisiknya. ABK, menurut Nuri, secara fisik normal. Mereka hanya mengalami kecerdasan di bawah rata-rata. “Karena itu, kami butuh sekolah untuk anak berkebutuhan khusus. Secara fisik normal, hanya kecerdasannya kurang. Kecerdasan anak kami di bawah anak rata-rata,” ujarnya. Apalagi SLB yang ada saat ini masih menggabungkan siswa dalam proses belajar mengajar. Misalnya penyandang tunarungu menjadi satu dengan penyandang tunanetra. ABK juga tak bisa masuk ke sekolah inklusi, karena terhalang syarat IQ mininamal 80. “Anak kami ndak mampu. Karena rata-rata IQ-nya 20 sampai 50 saja,” imbuh Nuri. Karena itu, ia berharap adanya sekolah khusus yang tanpa syarat, apalagi dengan IQ. Mereka memerlukan sekolah untuk anak bekebutuhan khusus dengan syarat hanya anak usia sekolah. Ia optimis sekolah itu akan ada, meski ia sendiri tak yakin kapan pemerintah akan merealisasikan. 500 Anak Balikpapan Berkebutuhan Khusus Keinginan Nuri Cahyani supaya pemerintah membangun sekolah bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) bukan hanya untuk komunitas ABK Hebat. Dia memperkirakan ada sekitar 500 anak di Balikpapan yang menyandang kondisi ini. Data itu dia himpun dari berbagai lokasi terapi. Di fasilitas Puskesmas Damai tempat anaknya menjalani terapi, ada sekitar 50 anak. Kemudian fasilitas terapi Harapanku, juga skeitar 50 anak, “Belum lagi lokasi terapi di RS Pertamina, RSKD, RS Hermina, ada juga di klinik swasta Calling Star, dan lainnya. Kalau ditotal ada 500 – an lebih,” urainya. Namun dia memperkirakan jumlahnya bisa lebih besar dan tidak terdeteksi karena ada orang tua yang merasa malu. Karena itulah, ia berharap pemerintah secepatnya membuka tempat belajar khusus. Jika dicampur dengan anak yang tidak mengalami gangguan perkembangan, para orang tua khawatir ABK cenderung di-bully. Apalagi penderita down syndrome, yang berbeda dengan yang lain. Selain itu, mereka rawan menerima tindak kekerasan, dijahilin. “Dan ketiga saya khawatir,-- mudah-mudahan tidak sampai terjadi pelecehan seksual, karena anak kami kesulitan bicara, mereka tidak mampu mengungkapkan apa yang dialami.” Hal lain yang juga penting, menurut Nuri, para ABK harus diberi pelatihan untuk bekal kemandiriannnya. Karena jika mengandalkan akademik, berat bagi anak-anak untuk bersaing. Para ABK diharapkan memperoleh pelatihan khusus sesuai bakat minat mereka, supaya bisa mandiri secara finansial kalau sudah dewasa. Supaya rencana itu bisa berjalan, ABK Hebat mengusulkan pemerintah menyediakan guru pendidikan luar biasa. Tetapi faktanya, guru pendidikan luar biasa di Balikpapan sangat jarang dan sangat sedikit. Salah satu solusinya adalah mendatangkan trainer atau pelatih, untuk mengajari Guru Sekolah Dasar dengan pelatihan khusus. “Itu solusi lebih cepat. Sambil menunggu SDM. Saya khawatir tahun ajaran baru terlewat,” ungkap Nuri. Dia dan puluhan orang tua ABK menantikan uluran tangan pemerintah menyediakan tenaga pengajar yang memahami anak-anak khusus itu. Yang Hebat Dari Komunitas ABK Hebat Data teranyar yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia mencapai 1,6 juta orang. Upaya yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk memberikan akses pendidikan kepada mereka adalah membangun unit sekolah baru, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), dan mendorong tumbuhnya Sekolah Inklusi di daerah-daerah. Namun dua sekolah itu dianggap tidak cocok bagi para ABK. “ABK berbeda dengan penyandang disabilitas karena secara fisik mereka normal. Mereka ‘hanya’ mengalami kecerdasan di bawah rata-rata. Makanya, masuk sekolah inklusi juga tidak bisa,” kata Nuri Cahyani, pendiri komunitas ABK Hebat. Pernyataan Nuri sejalan dengan bunyi Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memberikan batasan bahwa, Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. ABK Hebat dibentuk Nuri Cahyani pada November 2019 setelah selama beberapa tahun berjuang mencari sekolah yang tepat bagi sang anak. Ia bersama 38 ibu rumah tangga yang memiliki ABK berupaya menyediakan pendidikan yang sesuai kebutuhan si buah hati. Berbekal pengalaman mengajar Bahasa Indonesia di SMP dan SMA selama 4 tahun, Nuri mengajak berbagai kalangan memberi perhatian bagi perkembangan ABK. Perhatiannya pada ABK bermula ketika Rafie Arsyad Rahmatullah divonis celebral palsy. Penyakit kelumpuhan pada otak ini diderita Rafie sejak kecil. Namun hal itu baru diketahui usai mengalami kecelakaan hebat saat Rafie berumur 1 tahun lebih. “Setelah bangun dari koma selama tujuh hari, doktermengharuskan Rafie menjalani terapi intensif tak boleh putus. Sebelum kecelakaan, dia sudah bisa berdiri dan mulai berjalan sedikit, bahkan bisa ngomong,” kata Nuri. Tapi setelah sadar dari koma dan menjalani perawatan selama 1,5 bulan, “duduk aja nggak bisa.” Dari situlah, Nuri aktif mencari informasi tentang pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, hingga akhirnya berhasil mengggalang orang tua yang memiliki anak serupa untuk belajar bersama. Ia menjadikan rumahnya di Jalan Kamboja, Balikpapan Tengah untuk pertemuan rutin bulanan. Para anggota komunitas ini umumnya mengalami autis, hiperaktif, down syndrome dan celebral palsy. Mereka juga rutin menjalani terapi sesuaikan kondisi anak. Ada yang menjalani 5 jenis terapi, seperti; okupasi, fisioterapi, terapi wicara, sampai brain gym. Komunitas ini juga berbagi informasi dan pengalaman. “Misalnya anak hiperaktif, harus diet ketat tidak boleh tepung terigu, cokelat dan sejenisnya, gula manis, susu sapi dan sejenisnya,” imbuh Nuri. Di Komunitas ABK hebat ada ABK paling kecil berusia 4 tahun, dan paling besar 11 tahun. Ia mengalami retardasi mental. “Bahasa mudahnya, nggak nyambung kalau ngomong,” sambung dia lagi. ABK ini umumnya memiliki IQ antara 25 sampai 50. Makanya tak heran jika mereka tak bisa masuk sekolah inklusi. “Karena syarat dari kementerian minimal IQ 80. Hanya untuk slow linger, lambat belajar.” Komunitas ini melakukan pertemuan rutin sebulan sekali, dengan dukungan dari berbagai pihak. “Karena umumnya para orangtua ini masyarakat biasa. Tidak miskin, tapi cukup,” ungkap Nuri. Pelayanan Balikpapan sendiri telah memberikan layanan ABK sejak tahun 2010. Pelayanan ABK di Puskesmas Damai misalnya, cukup lengkap. Di Puskesmas ini, ada pelayanan assesment fisioterapi, okupasi terapi, sensori integrasi, terapi wicara, terapi perilaku, brain gym, terapi snoeszelen, yang dijalankan 13 pegawai. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: