Emiten Telekomunikasi dan Barang Konsumsi Diprediksi Naik

Emiten Telekomunikasi dan Barang Konsumsi Diprediksi Naik

Tingkat konsumsi masyarakat terhadap barang konsumsi meningkat dengan adanya kebijakan WFH. Ditambah akan memasuki Ramadan dan Lebaran. (Dian Adi /Disway Kaltim) Balikpapan, DiswayKaltim.com - Kebijakan social distancing di masa pandemik COVID-19 ini meningkatkan penggunaan trafik data. Hal ini mendorong kinerja positif bagi sejumlah emiten telekomunikasi. Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee menyebut, emiten pada sektor ini bisa menjadi pilihan bagus bagi investor. “Karena demand-nya selalu naik,” terangnya, kepada Disway Kaltim, Selasa (7/4). Saham yang dijagokan untuk sektor ini adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM). TLKM menjadi salah satu emiten yang memiliki rencana aksi pembelian kembali (buyback) saham. Emiten ini menyiapkan anggaran buyback sebanyak-banyaknya Rp 1,50 triliun. Buyback ini sesuai dengan Surat Edaran OJK Nomor 3/SEOJK.04/2020 tentang Kondisi Lain Sebagai Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan Dalam Pelaksanaan Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik. Dari sisi barang konsumsi (consumer goods), Hans menambahkan, ada beberapa saham yang patut dicermati. Tidak hanya dampak kebijakan social distancing dan work from home. Menjelang Ramadan dan Lebaran juga akan meningkatkan konsumsi masyarakat. Berdampak mendongkrak penjualan barang konsumsi di beberapa sub sektor. Seperti produk dari PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP ) dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) pada sub sektor makanan dan minuman. Sementara sub sektor peralatan rumah tangga, emiten PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) diprediksi akan berpotensi memberikan laba. Kondisi berbeda diprediksi menghampiri emiten ritel. Kuartal pertama tahun ini bisa menjadi berat. PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) yang mengalami pertumbuhan laba 16,1% pada kuartal III 2019, akan sulit mencatatkan kinerja serupa. Memasuki Ramadan dan menjelang Lebaran yang biasanya menjadi peluang bagus mencetak laba masih akan diadang kendala. PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) juga diprediksi sulit mencatatkan kinerja laba yang baik. Hans Kwee menyebut ini akan menjadi situasi yang sulit bagi ritel. Mengingat situasi pandemik COVID-19 yang diperkirakan belum akan mereda. “Mungkin agak berat bagi RALS ataupun LPPF. Sebagian mal ditutup. Orang enggak berani belanja. Lebaran tahun ini sepertinya tidak akan seramai biasanya,” ujarnya. Meski akan ada peralihan metode belanja ke platform online, Hans memprediksi juga akan sulit. Kebijakan social dan physical distancing memberi pengaruh cukup besar. Masyarakat cenderung menghindari aktivitas ke luar rumah. Maka dari itu, aktivitas belanja meski lewat online pun diprediksi tidak akan banyak membantu. “Imbauan Lebaran di rumah juga akan memengaruhi belanja masyarakat. Ya, semoga saja saat Lebaran sudah selesai (COVID-19),” sebutnya. FLUKTUASI PASAR Secara global kondisi pasar saat ini memang sangat fluktuatif. Ditambah adanya status lockdown di beberapa negara. Perlambatan ekonomi dunia mutlak terjadi. Oleh karena itu, kata Hans, pasar saham masih akan berfluktuasi. “Apa yang ditunggu pasar? Adalah periode di mana tanda virus akan berlalu,” katanya. Berkurangnya kasus baru COVID-19 di Eropa direspons rebound pasar, Meski kemudian sedikit terkoreksi seiring meningkatnya kasus di Amerika Serikat. Negara dengan jumlah terinfeksi terbanyak saat ini. Meski kenaikan itu membuat pasar koreksi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah melesat naik dari level terendah 3.911 “Saat ini di posisi 4.778,64 (penutupan kemarin). Sudah naik hampir 1.000 basis poin,” sebutnya. Kaltim sebagai daerah penghasil batu bara, menurut Hans masih memiliki gairah di sektor batu bara. Apalagi harga batu bara acuan perlahan merangkak naik. “Kaltim ada geliat naik setelah Tiongkok recovery, karena demand terbesar batu bara di dunia,” terangnya. Sementara kelapa sawit, masih akan tertahan karena India sebagai konsumen terbesar menerapkan kebijakan lockdown. Tapi hal ini tidak berpengaruh besar. Sebabnya, kata dia, Indonesia sebagai konsumen terbesar kedua di dunia sedang menerapkan bahan bakar nabati (BBN) yang membutuhkan suplai bahan cukup besar. “Sawit industri yang harusnya bagus tahun ini karena adanya biofuel,” pungkasnya.  (eny2)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: