Peran Mahasiswa Diuji di Pilkada
Oleh: Mursid Mubarak* Momentum Pilkada 2020 akan menguji mahasiswa. Mahasiswa akan diuji dalam arus politik lokal ini. Apakah akan menjadi pengawal kontestasi demokrasi atau bagian dari persaingan politik para elite lokal yang memperebutkan kursi kepala daerah dan wakil kepala daerah? Inilah ujian lanjutan dari peran-peran sosial-politik mahasiswa. Keikutsertaan mahasiswa mengampanyekan calon tertentu tidak melanggar undang-undang. Justru hal tersebut dilindungi konstitusi negara. Sebagai hak berekspresi dan menyatakan pendapat. Namun pilihan politik untuk terlibat di kubu tertentu, hal itu telah “mengangkangi” idealisme kelompok pemuda terdidik. Kegawatan itu semakin diperparah di saat organisasi mahasiswa disusupi kepentingan partai politik tertentu. Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi turut “mati-matian” membela penguasa atau calon penguasa yang diusung oleh partai. Akibatnya, mahasiswa menjadi acuh memberikan kritik. Walaupun calon yang didukungnya terbukti bersalah. Kritik yang membangun dinilai akan merugikan calon tersebut. Di sisi lain, mahasiswa itu akan aktif menyerang lawan politik dari calon yang diusung partai politik yang didukungnya. Politik praktis erat kaitannya dengan kekuasaan. Apabila kekuasaan telah diperoleh, maka ini yang sering membuat siapa saja lupa diri. Melupakan janjinya. Melupakan tujuannya membantu rakyat. Bahkan tak sedikit kekuasaan menjauhkan seseorang dari Tuhannya. Mahasiswa hendaknya menjadi suluh di tengah arus politik. Mahasiswa tidak dilarang berpolitik. Pada dasarnya, mahasiswa sejak dini telah diajarkan berpolitik di lingkungan kampus melalui organisasi mahasiswa. Namun politik yang digeluti di perguruan tinggi adalah upaya penerapan konsep politik normatif. Tentu saja politik dalam pengertiannya yang ideal. Bukan hal yang busuk. Justru politik adalah sebuah proses suci dengan tujuan yang mulia. Politik adalah jalan untuk mendistribusikan keadilan. Prosesi politik yang tengah berlangsung di Indonesia, nyatanya masih jauh dari konsep politik yang ideal. Politik kita kerap diwarnai gerakan-gerakan seperti kampanye hitam dan money politic. Yang mencederai konsepsi politik. Sudah menjadi rahasia umum, fenomena ini masih mewarnai perpolitikan Indonesia. Jika kondisi demikian terus terjadi dalam dinamika politik bangsa ini, maka tidak mungkin Indonesia mencapai clean government. Pemerintahan yang jauh dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dalam demokrasi, polarisasi di masyarakat sudah lazim terjadi. Namun sangat disayangkan ketika perbedaan pendapat itu menyebabkan permusuhan yang berkelanjutan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Di sinilah peran ideal mahasiswa. Mengingatkan penerapan politik yang normatif dan berkeadilan. Sepanjang sejarah bangsa ini, mahasiswa telah terbukti perannya sebagai agent of control. Aktif mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Tanpa rasa takut, mereka mengkritik penguasa yang menyimpang dari undang-undang dan kepentingan rakyat. Tanpa segan, mahasiswa berteriak lantang di depan penguasa yang zalim. Mahasiswa juga selalu digolongkan sebagai kelompok oposisi penguasa. Hal ini menjadikan mahasiswa sebagai ancaman bagi penguasa yang berlaku sewenang-wenang. Terbukti pada 1998, mahasiwa berhasil memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Independensi mahasiswa diartikan sebagai tidak berpihak kepada siapa pun kecuali pada kebenaran. Dalam politik praktis, kebenaran dan kebohongan menjadi sesuatu yang abu-abu. Sulit dipisahkan. Terikat satu sama lain. Filsuf Italia Antonio Gramsci menyebut mahasiswa sebagai intelectual organism. Pemikirannya dapat berguna di masyarakat. Hal ini bisa diperankan melalui penelitian di masyarakat. Melakukan pengabdian dan menjadi penyambung lidah rakyat kepada penguasa. Inilah yang melatarbelakangi pentingnya mahasiswa menjaga idealisme dan independensinya. Mahasiswa sebagai kelompok terdidik dan kaum intelektual harus mampu melakukan analisa yang dalam, memberikan pertimbangan-pertimbangan ilmiah, dan kajian-kajian akademis. Bukan ikut berkampanye dan mendeklarasikan dukungan yang begitu receh. Jauh dari tradisi akademis. Perlu digarisbawahi bahwa ikut berpartisipasi menggunakan hak pilih adalah keharusan selaku warga negara. Namun mengampanyekan salah satu calon bukanlah ciri mahasiswa. Dengan jargon “Mahasiswa Mengawal Demokrasi”, mahasiswa bisa menjaga idealisme dan independensinya. Mahasiswa tidak terkontaminasi kepentingan partai politik. Agar fungsinya sebagai pengontrol sosial tidak dipreteli. Hal itu jauh lebih baik ketimbang mahasiswa ikut terpolarisasi di kubu di berbagai kubu yang sedang bertarung. Peran-peran itu bisa dijabarkan mahasiswa dalam bentuk mengampanyekan agar masyarakat menggunakan hak pilihnya. Mahasiswa juga dapat berperan dalam mengawasi jalannya Pilkada. Tujuannya agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran. Dengan upaya itu, proses politik kiranya dapat berjalan secara jujur dan adil. Peran mahasiswa secara perlahan dapat mengawal lahirnya pemerintahan bersih yang selalu kita idamkan. (qn/*Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Kukar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: