NCW Temukan 7 Kejanggalan Proyek Rempang

NCW Temukan 7 Kejanggalan Proyek Rempang

Master plan Rempang Eco City.--tangkapan layar

NOMORSATUKALTIM - Nasional Corruption Watch atau NCW, mengungkap hasil penyelidikan dan penelusuran informasi ihwal sengkarut relokasi lahan masyarakat Pulau Rempang. Sekaligus adanya indikasi korupsi dan pengaturan nilai investasi pada Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City.

Ketua DPP NCW, Hanifa Sutrisna membeber, sedikitnya ada tujuh temuan yang didapati pihaknya dalam polemik Rempang Eco-City.

Pertama, rekam jejak kegagalan Xinyi melanjutkan komitmen investasi di Gresik dan Bangka Selatan.

“Dari data yang NCW temukan, sebelum Pulau Rempang, ternyata Xinyi Glass pernah membuat MoU yang sama dengan Kawasan Industri Sadai tahun 2020 di Bangka dengan janji akan menyiapkan US$ 6-7 miliar,” jelasnya dalam konferensi pers di Kantor DPP NCW, Jakarta, kemarin.

Ia memaparkan, Investasi Xinyi di Belitung Belitung saat itu untuk menggarap pengolahan mineral tambang pasir kuarsa. Rencana investasi itu disampaikan General Manager International Business Development Xinyi Group Cheng Gang pada Pj Gubernur Provinsi Bangka Belitung, Ridwan Djamaluddin di Pangkalpinang, November 2022.

Tapi, saat akan dilanjutkan proses MoA (Memorandum of Agreement), Xinyi Glass seperti raib dan hilang tanpa kabar berita.

“Dan beredar alasan belum dilanjutkan proyek industri kaca terbesar di ASEAN oleh Xinyi Glass karena tidak tersedianya gas di kawasan Bangka Belitung Industrial Estate, Sadai Bangka Selatan,” jelasnya.

Hanifa juga menyinggung komitmen investasi Xinyi Glass bernilai US$ 700 juta di Gresik, Jawa Timur tahun 2022. Ketika itu Xinyi masuk dengan menggaet mitra lokal PT Berkah Kawasan Manyar Sejahtera) untuk membeli lahan yang digunakan untuk pembangunan pabrik kaca.

“Berdasar perjanjian tersebut, BKMS telah setuju menjual lahan dan Xinyi telah setuju membeli lahan yang luas untuk pembangunan pabrik produksi Kaca Xinyi di Kawasan Ekonomi Khusus JIIPE,” ungkapnya. Progres investasi di Gresik, jelas Hanifa, juga tidak jelas ujungnya.

Hal ini diduga karena rendahnya kemampuan keuangan Xinyi. Dugaan rendahnya kemampuan keuangan Xinyi Glass ini tercermin dalam laporan keuangan konsolidasi Xinyi Glass Holdings Limited tahun 2022, yang diaudit EY Ernst & Young's.

“Hasil laporan keuangan E&Y ini membantah jika disebut Xinyi Group perusahaan berkelas dunia dengan jangkauan pasar global yang dominan. Faktanya, 68 persen penjualan Xinyi Glass di pasar lokal China, bukan dunia,” ungkapnya.

Hanifa juga mengungkap hasil audit itu menunjukkan nilai property plant equipment Xinyi Group hanya US$2,2 miliar dan sales revenue sebesar US$3,4 miliar. Sedangkan consolidate net cash flow hanya US$41 juta.

“Lalu bagaimana mungkin Xinyi Group bisa investasi hingga US$11,5 miliar? Apakah hanya untuk menggoreng saham Xinyi Glass Holding Limited agar naik dan menguntungkan pihak-pihak yang terlibat dalam persekongkolan jahat ‘investasi bodong’ perusahaan pabrik kaca asal Tiongkok tersebut?” tegas Hanifa.

Setelah mencuatnya bentrokan masyarakat Pulau Rempang dengan Aparat, Hanifa menilai Xinyi akhirnya kena batunya. Insiden itu diduga membuat saham mereka turun hingga 20% pada 26 September 2023.

Adapun kenaikan saham Xinyi pada 29 September 2023, menurutnya tak lepas usai adanya upaya dari Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang menegaskan investasi Rempang Eco City tetap akan dilanjutkan dengan 4 poin petunjuk dari Jokowi.

“Ini sangat terencana dan tertata rapi bahwa Xinyi ini akan dinaikkan namanya, dibuat seolah-olah ini perusahan besar, yang dikatakan target berikutnya membangun pabrik kaca terbesar, sehingga investor akan memperebutkan membeli sahamnya,” papar Hanifa.

NCW juga menyoroti studi Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) Proyek Eco City Rempang yang belum dituntaskan.

Menurut NCW, hal itu terindikasi dari undangan Kepala Pusat Perencanaan Program Strategis BP Batam, Nomor B-4392/A2.1/PT.02/09/2023 tentang Konsultasi Publik Penyusunan Dokumen AMDAL Kawasan Rempang Eco City.

 “Ini menjadi pertanyaan publik selanjutnya, apakah mega proyek bisa dilaksanakan dan dianggap sudah melewati proses kajian yang komprehensif sehingga layak untuk diteruskan?” tutur Hanifa.

Lantas, Hanifa melanjutkan, NCW juga menyoroti pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang mengeklaim hanya 20% masyarakat Pulau Rempang yang tidak setuju untuk dipindahkan dan sebagian besar menolak karena tidak memiliki alas hak atas tanahnya.

“Namun rakyat di lapangan, menurut hasil penyelidikan dan pengumpulan data informasi dari sumber terpercaya dan pengaduan masyarakat ke DPP NCW, 80% masyarakat Pulau Rempang yang memiliki alas hak SHM, menolak dipindahkan atau direlokasi ke lokasi baru,” paparnya.

Temuan keempat, jelas Hanifa, pembiayaan relokasi dan penggusuran tanah masyarakat Pulau Rempang belum dialokasikan oleh pemerintah pusat atau pun BP Batam.

“Kondisi ketidaksiapan anggaran ini menimbulkan tanda tanya besar kepada publik, kenapa masyarakat dipaksa segera pindah jika anggaran relokasi belum tersedia?” lanjutnya.

Temuan kelima, awal mula Konflik lahan di Pulau Rempang terjadi pada tahun 2001 berawal dari diterbitkannya HPL (Hak Pengelolaan Lahan) oleh pemerintah pusat dan BP Batam. 

HPL itu diterbitkan untuk perusahaan swasta, yang kemudian HPL tersebut berpindah tangan ke PT. Makmur Elok Graha.

Hanifa menegaskan bahwa hak guna usaha yang telah diterbitkan tersebut tidak digunakan atau lahan yang telah ditetapkan itu tidak dikelola oleh yang bersangkutan. Karena itu, tahun 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati.

“Apakah setelah sekian lama tidak dikelola PT MEG, lahan yang jadi sengketa saat ini masih punya alas hukum yang kuat untuk diteruskan?” lanjutnya.

Temuan keenam, Hanifa menjelaskan, DPP NCW menemukan masih terus dilakukannya intimidasi oleh oknum APH dan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang meminta masyarakat terdampak relokasi di Pulau Rempang untuk segera menyetujui rencana relokasi ke lokasi baru yang belum tersedia hingga saat ini.

Temuan ketujuh, NCW mempertanyakan pernyataan Kepala BP Batam ihwal setoran uang wajib tahunan yang meminta dana APBN, padahal konsesi sudah diserahkan kepada pihak swasta PT MEG.

“Hitungan UWT dimaksud apakah 7000 rupiah dikalikan 17.600 hektare baru menjadi Rp1,2 triliun atau 7000 an hektare dikalikan tarif UWT Rp 21.428/m2 menjadi Rp1,5 triliun?” tegas Hanifa.

“Namun jika MEG dapat pengalokasian awal sejak 2001 seluas 16.583 hektare, maka UWT yang harus dibayar adalah Rp3,6 triliun (tarif Rp 21.750/m2), jadi sisa kewajiban UWT bagaimana ceritanya?” tandas Hanifa. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: disway.id