Pokmas Pokir

Pokmas Pokir

Nama Pokmas (Kelompok Masyarakat) hilang. Muncul nama baru: Pokir (Pokok Pikiran). Intinya sama: tiap satu anggota DPRD Jatim mendapat ''jatah'' Rp 8 miliar dari APBD provinsi.

Tahun lalu prosesnya lewat usulan kelompok masyarakat. Usulan itu lahir dari kunjungan reses anggota DPRD ke daerah pemilihan (dapil). Di dapil itu anggota DPRD menerima aspirasi masyarakat: perlu ini, perlu itu.

Lalu sang anggota DPRD minta ke kelompok masyarakat tersebut untuk menuliskannya dalam sebuah usulan proyek. Proposal itu dikirim ke sang anggota. Anggota mengumpulkannya ke fraksi.

Dalam praktik, nama kelompok masyarakat itu hanya formalitas. Proposal Pokmas bisa dibuatkan. Kontraktor yang mengerjakan proyek pun sudah ada. Bahkan si kontraktor sanggup memberikan dana ijon sebagai komisi kepada anggota DPRD tersebut.

Praktik seperti itulah yang menyeret Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak dari Golkar. KPK menangkapnya. Diadili. Jumat lalu proses peradilannya sampai ke tahap penuntutan.

Sahat dituntut hukuman penjara 12 tahun, mengembalikan uang yang dikorupsi Rp 39,5 miliar dan dicabut hak politiknya selama 5 tahun.

Sahat sebenarnya tidak sendirian. Ia menyebut 12 orang lain lagi. Baik di tingkat pimpinan maupun di beberapa fraksi. Yang 12 orang itu beruntung. Sampai melewati tenggat waktu pendaftaran calon anggota DPR/DPRD tidak ada yang jadi tersangka. Mereka aman untuk kembali menjadi caleg. Bahkan ada yang nyaleg untuk DPR.

Kasus besar tersebut tidak membuat anggaran ''jatah'' DPRD tersebut hilang. Namanya saja yang diubah. Dari pokmas ke pokir.

Dengan nama pokir, legalitasnya ada. Mendagri memang memperbolehkan proyek APBD dipakai untuk proyek seperti pokir. Dan lagi di pokir pelaksananya adalah instansi di Pemda. Tidak lagi tiap anggota DPRD bisa menentukan sendiri siapa pelaksana proyeknya.

Untuk proyek pokir, anggota DPRD sendiri yang membuat usulan. Bukan lagi kelompok masyarakat. Dasarnya sama: hasil kunjungan ke dapil di saat reses.

Proposal itu juga dikumpulkan di fraksi. Lantas dikirim ke Pemda. Dinas-dinas di Pemda melakukan pengkajian atas usulan itu. Lalu melaksanakannya, lewat pengadaan elektronik melalui e-katalog.

Satu anggota DPRD bisa membuat beberapa proposal. Yakni untuk beberapa lokasi di dapilnya. Tiap proyek dapat plafon anggaran antara Rp 200 juta sampai Rp 500 juta. Total dapat ''jatah'' Rp 8 miliar/anggota. Untuk satu tahun.

"Sebenarnya yang seperti itu dihapus saja. Rawan korupsi," ujar Basuki, mantan anggota DPRD Jatim yang pernah terkena masalah serupa.

"Lebih baik gaji anggota DPRD saja dinaikkan. Lebih resmi. Tidak perlu korupsi," ujarnya. Basuki usul gaji mereka dinaikkan di atas Rp 100 juta/bulan.

"Tidak bisa begitu," ujar Heru Satriyo, yang sudah 11 tahun menjabat ketua MAKI (Masyarakat Anti Korupsi) Jatim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: