Jangan Sampai Turun Lagi

Jangan Sampai Turun Lagi

Nomorsatukaltim.com - Sektor tambang batu bara di Kalimantan Timur, khususnya di Berau masih menjadi penopang tertinggi perekonomian. Kontribusi pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) juga dominan. Jika anjlok, tentu berdampak besar di berbagai sektor.
DI Berau kontribusi PDRB sudah cukup lama lebih dari 50-60 persen setiap tahunnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir naik turun, sejak pandemik COVID-19. Di tambah harga batu bara yang juga naik turun.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga batu bara acuan sejak September 2022 hingga Juli 2023, terus mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dari 319,22 USD/Ton hingga 191,6 USD/ton pada Juli 2023. Bahkan di harga batu bara acuan 1, sudah mencapai 109,27 USD/Ton (selengkapnya lihat grafis)
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Perwakilan Kaltim, Ahmad Helmy, berpendapat, bahwa batu bara ada momentumnya. Penurunan harga, menurutnya, pengaruh dari negara-negara yakni Tiongkok, kemudian India, Korea dan Jepang mengurangi impor batu bara. “Tiongkok itu terbesar impor, kemudian India kedua,” imbuhnya.
Pengurangan impor batu bara di beberapa negara, dikarenakan beberapa faktor, seperti halnya di Tiongkok yang saat ini berencana akan menambang batu bara sendiri, termasuk pengaruh bencana dan lain hal. Kemudian India yang juga memangkas, kemungkinan karena faktor ekonomi lesu, ataupun inflasi yang tinggi.
“Penggunaan energi juga berkurang, banyak bencana di beberapa negara tujuan ekspor,” ungkapnya.
Selain itu, kata Ahmad, musim dingin juga akan berakhir sehingga tren penggunaan listrik juga akan turun, diikuti dengan penggunaan batu bara untuk pembangkit yang juga akan turun.
Penurunan yang terjadi saat ini diakuinya cukup drastis, dan tentu berdampak pada banyak sektor. Secara langsung juga berdampak pada penerimaan negara termasuk ke daerah yang akan turun.
Menurutnya penurunan yang terjadi saat ini belum separah, sebelum perang Ukraina sekira tahun 2016-2018, dan prediksinya tidak akan mencapai di bawah 100 USD/Ton.
“Semoga membaik dalam beberapa bulan ke depan, jika terus turun di bawah 100 dolar, tentu akan berpengaruh pada penghematan perusahaan untuk menurunkan biaya produksi, salah satunya dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan,” pungkasnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Berau, sejak 2018 kontribusi pertambangan dan penggalian rata-rata mencapai 60 persen, terkecuali pada tahun 2020-2021 di atas 50 persen, kemudian di tahun 2022 meningkat hingga 66 persen. Namun, laju pertumbuhannya justru tak sebanding dengan kontribusi. Di tahun 2021 laju pertumbuhan mencapai 7 persen, sementara di 2022 turun signifikan di angka 3 persen. (selengkapnya lihat grafis)
Diakui Ketua Tim Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Berau, Lita Januarti Hakim, kontribusi terhadap PDRB untuk pertambangan dan penggalian memang masih besar. Itu dilihat dari harga dan produksi. Sementara terkait laju pertumbuhan yang melambat, biasanya diakibatkan pada laju produksi yang kurang dibandingkan pada tahun sebelumnya.
“Dalam artian (kontribusi) tetap meningkat, kecepatan produksinya saja tidak sama dengan tahun sebelumnya,” ujarnya kepada Disway Kaltim. Senin (7/8).
Lanjutnya, saat ini belum ada yang dapat menggantikan sektor tersebut dalam pembentuk struktur perekonomian, meski pada produk perkebunan seperti Crude Palm Oil (CPO) sudah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, apalagi ditambah sudah banyaknya pabrik. Tapi, harga CPO memang tidak setinggi batu bara.
“CPO itu sudah cukup besar produksinya, cuman dari sisi harga kalah jauh sama batu bara. Jadi komposisinya masih besar di batu bara,” tegasnya.
Jadi, multiplier effect dari sektor pertambangan, diungkapkan Lita, sangat besar, terlebih bagi daerah yang hanya bergantung pada sektot tersebut. Misalnya, jika harga batu bara bagus, dampaknya bisa pada jasa perusahaan atau lapangan pekerjaan luas, perdagangan meningkat, perputaran uang yang lebih banyak, akomodasi, hingga penyediaan makanan dan lain-lain meningkat.
“Banyaklah pokoknya dampaknya,” imbuh Lita.

Namun sebaliknya, jika harga batu bara turun, banyak juga dampaknya. Misalnya pengurangan tenaga kerja, perdagangan dan ekspor turun, perhotelan, restoran jadi sepi, masyarakat jadi lebih berhemat, mengurangi belanja, hingga indekos maupun rumah sewa bisa terdampak. Ujungnya, pasti akan berpengaruh juga pada inflasi.
Menurutnya, Bumi Batiwakkal saat ini sudah mulai tidak bergantung pada sektor batu bara, dengan meningkatnya produksi CPO. Hanya saja kontribusinya yang belum bisa sebesar batu bara.
Ditanya kondisi harga batu bara yang mengalami penurunan, terhadap PDRB di 2023, Lita menyebut data saat ini belum keluar dan sedang dalam perhitungan.
“Sekarang PDRB sudah dihitung per bulan ada datanya, bisa jadi pertumbuhannya negatif,” ujarnya.
Melambatnya pertumbuhan, lebih kepada produksi yang tak sebesar triwulan 4. Karena biasanya pada triwulan 1, 2 dan 3 tidak sebesar dii triwulan 4. Perusahaan akan menggenjot produksi di akhir tahun jika belum tercapai target.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: