Ombudsman: Tujuh Kampus Negeri di Kaltim Lakukan Maladministrasi

Ombudsman: Tujuh Kampus Negeri di Kaltim Lakukan Maladministrasi

Nomorsatukaltim.com - Ombudsman RI Perwakilan Kaltim menemukan tujuh kampus negeri di propinsi ini melakukan maladministrasi. Meski begitu, pungli bukan dianggap sebagai bentuk pidana. Hanya maladministrasi. Demikian disampaikan Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Timur, Dwi Farisa Putra Wibowo. Temuan Ombudsman Kaltim tahun 2020-2022, mencatat ada 298 laporan. Terbanyak, laporan soal tidak memberi pelayanan, yakni sebanyak 124 laporan. Sisanya, penundaan berlarut (109), penyimpangan prosedur (46), permintaan imbalan (8), tidak kompeten (7), penyalah gunaan dan tidak patut masing-masing dua laporan. Kampus dinilainya sebagai penyelenggara pelayanan pendidikan. Praktik pungli, katanya, perbuatan tidak patut, khususnya dalam pelayanan publik. Biasanya pelaku pungli akan menunda-nunda pelayanan. Feri, sapaannya, juga menambahkan Ombudsman sudah pernah melakukan rapid assessment ke tujuh Perguruan Tinggi di Kaltim pada tahun 2018. Di antaranya: Unmul, Institut Teknologi Kalimantan (ITK), Polteknik Negeri Samarinda (Polnes), UIN sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, Politeknik Balikpapan, Politeknik Pertanin Samarinda dan Politeknik Kesehatan Kemenkes. Ada tiga item standar pelayanan public yang di assessment. Yakni tahap penyusunan, penetapan hingga penerapan standar pelayanan. Dari tiga item itu terbagi lagi menjadi tujuh sub. Seperti komponen standar pelayanan, partisipasi civitas akademika, berita acara pembahasan standar pelayanan, penetapan standar pelayanan, pentapan maklumat, evaluasi kinerja dan evaluasi standar pelayanan. Hasilnya mencengangkan. Hanya Polnes dan Politeknik Pertanian Samarinda yang telah melakukan seluruh standar pelayanan itu. Lima kampus lainnya belum melaksanakan standar pelayanan sesuai UU 25/2019 tentang Pelayanan Publik. Apakah ini berbahaya? “Asumsi kami ini berpotensi terjadi pelanggaran pelayanan publik pada perguruan tinggi yang tidak terapkan standar hukum itu,” tegas Feri. Tapi, ia kurang sependapat jika penindakan praktik pungli masuk dalam ranah pidana. Biaya proses hukumnya tidak sebanding dengan jumlah yang diminta. “Harus bayar jaksa berapa cuma untuk tangani kasus pungli Rp 3.000, terus orang itu harus kehilangan pekerjaan karena uang kecil. Jadi harus dibedakan pungli yang diselesaikan pidana dan administrasi,” tegas alumnus Fisip Unmul itu. Terkecuali jika nilai pungli tersebut mencapai puluhan atau ratusan juta, maka bisa masuk dalam ranah pidana hukum.  (boy)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: