Imbas Disahkannya UU HKPD: Kukar Uraa..Uraa, Bontang Kecipratan DBH
Samarinda, nomorsatukaltim.com – Disahkannya Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) akhir tahun lalu, memiliki efek berantai. Potensi terburuknya adalah mengecilnya bantuan keuangan dari provinsi ke kabupaten/kota.
Salah satu yang diatur dalam UU 1/2022 tentang HKPD adalah dana bagi hasil (DBH) migas. Persentse 15,5 persen bagi provinsi penghasil tidak berubah. Tapi pembagian bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota lain yang disoal. “Ada penambahan satu persen bagi daerah pengolah dalam hal ini Bontang. Berarti Bontang nanti berhak mendapat suntikan dana APBN satu persen dari DBH itu,” jelas pengamat ekonomi Fekon Unmul, Aji Sofyan Effendi. Diketahui, persentase pembagian DBH migas semula diatur dalam UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Yakni 15,5 persen untuk daerah penghasil dan 84,5 persen untuk pemerintah pusat. Nilai itu dibagi lagi. Di mana 3 persen dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 6 persen kabupaten/kota penghasil, 6 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan, dan sisanya sebesar 0, persen dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Di UU HKPD justru berubah. Khususnya pada pasal 117. DBH minyak bumi yang dihasilkan dari jarak 4 mil dari lepas pantai tetap diberikan sebesar 15,5 persen bagi daerah penghasil. Namun pembagiannya yang diubah. Yakni pemprov mendapat dua persen, kabupaten/kota penghasil sebesar 6,5 persen, kabupaten/kota yang berbatasan dengan daerah penghasil 3 persen, kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan sebesar 3 persen, dan kabupaten/kota pengolah sebesar 1 persen. Artinya jatah provinsi berkurang satu persen di UU HKPD ini. Potensi terburuknya kata Aji Sofyan, APBD Kaltim bisa menyusut. Pemprov harus memutar otak agar mampu menutup kekurangan dari DBH itu. Yakni melalui Pendapatan Asli Derah (PAD). “Ini ibarat balon, kempis di sebelah kanan tapi mengembang di sebelah kiri. Namanya vertical imbalance,” imbuhnya. Yang ditakutkan berkurangnya nilai itu, angka belanja pemprov juga ikut berkurang. Pembangunan pun jadi terhambat. Itu belum seberapa. Kemungkinan terburuk lain adalah bantuan keuangan (bankeu) dari provinsi kepada kabupaten/kota juga berpotensi mengecil. Tapi jika mengacu pada UU, kabupaten/kota penghasil berhak menerima jatah 6,5 persen. Atau naik 0,5 persen. Dalam kasus ini kabupaten/kota yang menerima keistimewaan itu adalah Kukar. Akan lebih bagus, kata Aji, kalau penentuan di daerah diberikan saja kepada gubernur. Yang dianggap lebih mengetahui kondisi di daerah. Kalau toh porsi Kukar lebih besar, maka Aji menyarankan saat pemberian bankeu dari provinsi jatahnya disesuaikan. Bila perlu Kukar angkanya paling kecil. Lantaran sudah mendapat jatah kue 6,5 persen dari DBH migas. “Kemungkinan terburuk APBD berkurang, belanja pembangunan juga ikut. Akselerasi terhadap pembangunan di daerah ikut kena dampak karena minimnya dana transfer provinsi”. Menurutnya, daerah yang terlalu banyak disusui oleh dana transfer menunjukkan APBD-nya tidak sehat. Beruntungnya Kaltim tidak demikian. Bahkan termasuk tiga besar nasional dengan postur APBD yang sehat. Setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Jakarta mendapatkan banyak pemasukan dari sektor jasa dan manufaktur. Sementara Jawa Timur dari sektor industri. “Kalau kita dari PAD. Dana transfer sekitar 52 persen, sisanya dari PAD sendiri. Untungnya kita ini masih cukup sehat,” imbuh Aji. (boy/dah)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: